[Review Buku & Film] Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa

Saya membaca novel ini sekitar tahun 2003, setahun setelah film Ca-Bau-Kan rilis.

Setelah membacanya, saya langsung berpikir ini adalah novel roman sejarah yang sangat menarik.

Saat itu saya bahkan belum pernah mendengar istilah historical romance karena belum mengenal Lisa Kleypas atau Julia Quinn. Dan kemungkinan besar novel inilah yang menjadi awal kecintaan saya terhadap genre historical romance.

Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (Remy Sylado). © Kepustakaan Populer Gramedia
novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (Remy Sylado). © Kepustakaan Populer Gramedia

Judul: Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa
Penulis: Remy Sylado
Tahun Penerbitan: 1999
Format: paperback
Bahasa: Indonesia
Genre: historical fiction, romance, drama
Latar Tempat:
Batavia, Indonesia
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Thailand
Latar Waktu: 1930—1950

Cerita

Cerita dimulai dari seorang wanita lanjut usia bernama Geraldine yang datang ke Jakarta untuk menelusuri asal-usulnya. Ibunya adalah seorang mantan ca-bau-kan bernama Siti Noerhaijati atau biasa dipanggil Tinung dan ayahnya pengusaha keturunan Tionghoa bernama Tan Peng Liang.

Masalahnya, ada dua orang Tan Peng Liang yang pernah hadir dalam hidup Tinung. Yang seorang berdarah Sunda, juragan kebun pisang, rentenir, dan kakitangan Belanda; sedangkan yang seorang lagi adalah pengusaha tembakau dan candu yang berdarah Jawa-Semarang, dan pendukung kemerdekaan Indonesia.

Geraldine tak tahu yang mana di antara kedua pria tersebut yang menjadi ayahnya.

Lalu cerita berjalan mundur ke kisah hidup Tinung dan Tan Peng Liang. Tinung yang ditinggal suaminya mati dalam kondisi hamil diusir oleh ibu mertua dan keempat istri suaminya. Karena hidup terlunta-lunta Tinung lantas mengikuti sepupunya Saodah untuk belajar menjadi penari cokek dan menjadi ca-bau-kan di Kalijodo.

Sementara itu Tan Peng Liang asal Gang Pinggir, Semarang sedang mengukirkan namanya sebagai pengusaha tembakau dan candu. Ia sengaja memanas-manasi lawan-lawan bisnisnya dengan bersikap royal mulai dari membeli lukisan di pelelangan dengan harga gila-gilaan, sampai membagi-bagikan uang dan candu kepada penduduk secara berlebihan.

Ketika perayaan Cio Ko berlangsung, Tinung dan Tan Peng Liang bertemu. Tan Peng Liang yang langsung tertarik kepada Tinung tak menunggu lama untuk menjadikan Tinung simpanannya. Perlahan hubungan atas dasar kebutuhan badani di antara mereka berkembang menjadi cinta yang mendalam, hingga istri sah Tan Peng Liang yang sudah lama sakit-sakitan meninggal dan ia menikahi Tinung secara resmi.

Tapi pernikahan keduanya masih terus diuji dengan berbagai masalah, mulai dari ketidaksetujuan anak-anak Tan Peng Liang terhadap Tinung, perselisihan Tan Peng Liang dengan para anggota Kongkoan & pemerintah Hindia-Belanda, sampai pendudukan tentara Jepang yang membuat Tinung terjebak menjadi jugun-ianfu.

5 Points:

Story

Setting

Characterization

Writing style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

Review (Buku)

Kenapa Ca-Bau-Kan sangat bagus?

Pertama: karena novel ini bermutu tetapi jauh dari membosankan seperti sastra-sastra berat yang sering membuat saya sakit kepala. Remy Sylado melakukan riset serius sebelum menulis novel ini. Jadi, pembaca bisa membayangkan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat itu secara mendetail sekaligus menemukan berbagai fakta sejarah yang menarik seperti asal-usul julukan pedagang klontong sampai surat vergunning yang sempat diwajibkan pemerintah Hindia-Belanda kepada warga imigran Tionghoa. Lagipula, sebagai orang Indonesia pasti lebih mudah bagi pembaca untuk memahami pola pikir tokoh-tokoh dalam novel ini maupun nilai-nilai kebudayaan pada saat itu.

Pendeknya, membaca buku ini seperti belajar sejarah dan bahasa Indonesia klasik dengan cara yang jauh dari membosankan.

Kedua: karena jalan ceritanya begitu tidak biasa untuk sastra Indonesia. Heroine-nya seorang cabo, sedangkan hero-nya pengusaha licik yang suka menghalalkan segala cara.

Kebanyakan sastra Indonesia ber-setting jaman dulu menceritakan perempuan berkepribadian setengah malaikat yang pasrah teraniaya oleh suami lalim sampai ajal menjemput. Lihat saja Belenggu, Azab & Sengsara, Siti Nurbaya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya benar-benar bosan dengan plot seperti itu. Meskipun kenyataannya kebanyakan perempuan Indonesia zaman dahulu memang beranggapan bahwa kodrat mereka adalah sebagai wanita: wani ditata. Makhluk yang sehari-hari cuma berkutat di dapur, sumur, dan kamar tidur. Tunduk dalam kepatuhan buta kepada suami seperti sawah yang menunggu dibajak dan disebari benih oleh petani, persis ungkapan Remy Sylado dalam novel.

Tinung sendiri juga bersikap seperti itu. Tetapi paling tidak si pengarang jujur mengungkapkan betapa pasifnya pemikiran itu dan betapa rendahnya penghargaan masyarakat pada zaman itu terhadap martabat perempuan. Dan ia berusaha menyampaikan bahwa perempuan yang paling hina sekalipun berhak dihargai, bukan hanya wajib pasrah didzalimi seperti Siti Nurbaya dan Mariamin.

Tapi, Remy Sylado juga tidak lupa menyampaikan bahwa segala perbuatan, pilihan hidup memiliki konsekuensi masing-masing yang tidak bisa dihindari.

Lalu ceritanya masih dibumbui intrik antara Tan Peng Liang dan musuh bebuyutannya Thio Boen Hiap dan Oey Eng Goan dalam dunia bisnis. Juga masih diselipi keterlibatan Tan Peng Liang dan rekan-rekannya dalam perjuangan kemerdekaan.

Ketiga: karakternya yang well developed. Tinung mencerminkan karakter perempuan Indonesia dari strata sosial terendah dengan tepat, lengkap dengan kesederhanaan jalan pikiran yang zaman sekarang mungkin disebut ketololan. Sedangkan Tan Peng Liang adalah karakter yang penuh intrik namun tetap karismatik. Ia mengingatkan saya kepada Konstantin Demiris dalam salah satu novel Sidney Sheldon. Karakter-karakter lain seperti Tjia Wan Sen, Tan Soen Bie, Thio Boen Hiap, & Max Awuy juga digarap dengan bagus.

Keempat: unsur romannya. Hubungan Tinung dan Tan Peng Liang tidak digambarkan penuh gairah dan menggebu-gebu. Tan Peng Liang yang digambarkan sebagai lelaki licik dan tak segan menghalalkan segala cara juga tidak pernah mengumbar kata-kata cinta kepada Tinung.

Ia bahkan pernah memukul Tinung sampai pingsan. Tapi, cinta buta Tan Peng Liang kepada Tinung yang polos cenderung dungu itu malah terasa romantis. Dan entah kenapa chemistry di antara keduanya sangat terasa.

Adegan paling menyentuh bagi saya adalah saat Tan Peng Liang marah besar mengetahui anak-anaknya membiarkan Tinung menjadi jugun ianfu. Tapi begitu menjumpai Tinung yang trauma berat dan menderita penyakit seksual di rumah sakit, ia merasa terluka dan menerima Tinung dengan rasa cinta yang sebesar sebelumnya. Menurut saya itu sangat romantis. Kadang-kadang novel roman pun bisa sangat menyentuh walaupun tidak dibumbui sex scene.

Keempat hal di atas menjadikan Ca-Bau-Kan novel historical romance terbaik yang pernah saya baca sampai saat ini. Saya sudah membacanya puluhan kali dan masih membacanya hingga saat ini.

Sepintas tentang Topik Bahasan dalam Buku

Tak banyak yang bisa saya bagikan dalam hal ini, karena Remy Sylado sudah menjelaskan hasil risetnya yang luar biasa itu dalam novel. Tapi ini sedikit informasi tambahan yang saya ketahui.

Surat Vergunning

Vergunning yang dimaksud dalam novel ini kemungkinan berkaitan dengan wijkenstelsel dan passenstelsel (meskipun saya tidak bisa memastikannya) yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda terhadap warga Tionghoa. Wijkenstelsel adalah peraturan yang mengharuskan imigran Tionghoa untuk bermukim di wilayah tersendiri dan dilarang membuka usaha di luar pemukiman mereka. Peraturan ini dihapuskan pada tahun 1917.

Passenstelsel

Sementara itu passenstelsel adalah ketentuan wajib lapor dan meminta izin tertulis dari yang berwenang jika hendak bepergian bagi warga Tionghoa di Hindia-Belanda. Passenstelsel dihapuskan setahun setelah wijkenstelsel dihapuskan.


poster film Ca-Bau-Kan ©2002 Kalyana Shira Films
poster film Ca-Bau-Kan ©2002 Kalyana Shira Films

Judul:Ca-Bau-Kan/The Courtesan
Streaming Platform : Disney + Hotstar
Sutradara : Nia DiNata
Screenplay : Nia DiNata
Tahun Rilis: 2002
Bahasa: Indonesia
Genre: historical romance, drama
Latar Tempat:
Batavia, Indonesia
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Thailand
Latar Waktu: 1930-1950

Karakter

Geraldine Dijkhoff /Giok Lan

Played by: Niniek L. Karim

Istri pria Belanda namun berdarah Betawi-Tionghoa yang datang jauh-jauh dari Belanda untuk menelusuri jejak garis darahnya.

Tan Peng Liang

Played by: Ferry Salim

Pengusaha sukses keturunan Jawa-Tionghoa yang licik dan penuh muslihat, tapi menghargai wanita dan sangat protektif terhadap keluarganya. Ia membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan cara terselubung, meskipun tidak dengan motif yang sepenuhnya murni nasionalis.

Siti Noerhaijati binti Uking/Tinung

Played by: Lola Amaria

Tipikal perempuan Indonesia tempo dulu yang berpikiran sederhana cenderung dangkal, pasif, dan berpendidikan rendah. Kesulitan hidup karena menjanda dalam usia belasan tahun membuat Tinung terpaksa menjual tubuhnya sebagai ca-bau-kan bagi pria-pria Tionghoa di Kalijodo.

Tan soen Bie

Played by: Irgi A. Fahrenzi

Keponakan Tan Peng Liang, bekas berandalan dengan temperamen tinggi dan sifat urakan yang dipercaya oleh pamannya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor.

Thio Boen Hiap

Played by: Robby Tumewu

Salah satu petinggi Kongkoan, perkumpulan pengusaha Tionghoa di Batavia yang menjadi musuh bebuyutan Tan Peng Liang dalam dunia bisnis. Ia melakukan berbagai cara licik untuk menjatuhkan Tan Peng Liang dan keluarganya.

Oey Eng Goan

Played by: Joseph Ginting

Oey Eng Goan juga anggota Kongkoan yang dengki dengan kesuksesan Tan Peng Liang. Ia cenderung mendukung Thio Boen Hiap dalam usahanya menghancurkan Tan Peng Liang.

Mr. RM. Rahardjo Soetardjo

Played by: Alex Komang

Sepupu Tan Peng Liang, tokoh pergerakan nasional dari Partai Nasional Indonesia. Ia aktif dalam usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia dan sering saling membantu dengan sepupunya. Tan Peng Liang sangat menghormatinya.

Max Awuy

Played by: Ananda George

Wartawan Koran Betawi Baroe yang pernah menolak suap dari Tan Peng Liang. Belakangan ia ikut dalam perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo.

Tjia Wan Sen

Played by: Billy Glenn

Pedagang kelontong  sekaligus ahli kungfu yang pernah jatuh hati kepada Tinung. Tampaknya nasib sial membuat Wan Sen sering terlibat masalah dengan orang-orang di sekitar Tinung seperti Tan Soen Bie dan suami pertama Tinung, Tan Peng Liang asal Gang Tamim.

Level of Interest

Review (Film)

Mengenai film Ca-Bau-Kan, Biasanya saya kurang terkesan dengan film adaptasi dari novel. Saya tidak terlalu puas dengan The Hunger Games dan benar-benar kecewa dengan Memoirs of a Geisha. Tapi untunglah, film Ca-Bau-Kan tidak membuat saya kecewa. Sinematografinya mungkin tidak seindah imajinasi (dan jujur, poster filmnya jeleee).

Penggarapan film Indonesia saat itu masih belum seartistik sekarang. Ada beberapa adegan yang terlihat kurang natural. tetapi penggambaran Betawi tempo dulu dan kebudayaan Tionghoa-nya cukup bagus.

Pemilihan aktor-aktrisnya juga sangat bagus. Casting Lola Amaria sebagai Tinung memang sesuai, meskipun penilaian saya untuk itu sedikit bias. Sejak sebelum membaca novelnya saya sudah melihat dalam posternya Lola memerankan Tinung. Jadi walaupun belum menonton film Ca-Bau-Kan, ketika membaca novelnya saya langsung membayangkan Lola sebagai Tinung.

adegan Tinung (Lola Amaria) belajar menari cokek di Ca-Bau-Kan © Kalyana Shira Films
adegan Tinung (Lola Amaria) belajar menari cokek di Ca-Bau-Kan © Kalyana Shira Films

Sedangkan untuk Tan Peng Liang, saya memang berpikir peran itu akan sangat pas dengan Ferry Salim. Saya terkesan dengan aktingnya sebagai Loe Fen Koei, seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang culas dan kejam di film Loe Fen Koei. Saya berharap Tan Peng Liang yang diperankannya akan seperti Loe Fen Koei. Dan memang benar, Ferry Salim sebagai Tan Peng Liang menampilkan kesan licik sekaligus flamboyan yang sama dengan Loe Fen Koei.

Karakter-karakter yang lain juga diperankan sama bagusnya. Alex Komang sebagai Mas Tardjo, Robby Tumewu sebagai Thio Boen Hiap, Henky Soelaiman sebagai Mr. Liem Kiem Jang, sampai karakter yang kurang mendominasi cerita seperti Alvin Adam sebagai Timothy Wu, dan Chossy Latu yang  memerankan Njoo Tek Hong.

adegan Tinung (Lola Amaria) menari cokek di Ca-Bau-Kan © Kalyana Shira Films
adegan Tinung (Lola Amaria) menari cokek di Ca-Bau-Kan © Kalyana Shira Films

Casting yang sedikit mengecewakan cuma Tan Soen Bie yang diperankan Irgi A. Fahrezi. Seharusnya, ia jauh lebih garang dan urakan mengingat Tan Soen Bie adalah bekas berandalan dengan temperamen berapi-api.  Lalu, makeup-nya juga agak ganggu. Pasalnya, aktor-aktor yang wajahnya kurang oriental dikasih alis mencuat palsu ala drama wuxia tahun 80-an semua.

Sayang buku ini tidak lebih sering diobrolkan adik-adik penikmat buku. Kalau ngintip litbase, kayaknya yang diomongin kalau nggak Cantik Itu Luka, Bumi Manusia, Pulang, Laskar Pelangi, ya buku-buku Tere Liye. Begitu juga kepopuleran filmnya. Saya yakin pendapatan film yang diputar di Palm Springs International Film Festival ini masih kalah jauh dari film-film horor berjudul konyol kayak Suster Keramas.

Trivial Facts:

  • Remy Sylado adalah nama pena Japi Tambayong. Pengarang yang menulis roman-sejarah seperti Ca-Bau-Kan, Parijs Van Java, dan Kembang Jepun ini memiliki banyak nama samaran dalam aktivitasnya sebagai seniman. Ia juga berprofesi sebagai dosen, kritikus, dan aktor film.

3 thoughts on “[Review Buku & Film] Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.