Kidung Cinta Buat Pak Guru: Cerita tentang pergaulan remaja & keluarga

kidung

Judul: Kidung Cinta Buat Pak Guru

Penulis: Mira W.

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback, owned, 269 hal.

Penerbit: PT. Gramedia (1985)

Genre: young adults, family drama

Cerita

Setelah ayahnya meninggal dalam peristiwa kebakaran, bugi diadopsi oleh majikan ayahnya, Pak Dadang. Sejak itu kehidupan Bugi menjadi lebih nyaman. Tapi dia sama sekali tidak menemukan kasih sayang keluarga di rumah itu. Bu Narsih, ibu angkat Bugi adalah tipe orang tua yang sangat disiplin dan konservatif, membuatnya sering bersinggungan dengan Bugi yang cenderung pembangkang. Anak-anak lelaki Bu Narsih sering cari perkara dengannya, sehingga Bugi tidak betah di rumah. Di sekolah pun ia sering diejek dan mendapat masalah karena dicap ‘udik’ dan ‘berandalan’ oleh teman-teman barunya.

Kemudian Bugi menemukan sebentuk kasih sayang dari Pak Zein, wali kelasnya yang masih muda dan menjadi idola murid-murid perempuan. Tidak hanya berperan sebagai guru, Pak Zein juga menempatkan dirinya sebagai sahabat dan ayah bagi bugi. Berkat dirinya, Bugi akhirnya bersedia untuk mengurangi sifat pemberontaknya dan beradaptasi dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi Bugi mulai menyimpan perasaan yang lain kepada gurunya itu, dan hubungan mereka pun mulai dipertanyakan oleh pihak sekolah.

Para Tokoh

Bugi Lesmana

Remaja berusia empat belas tahun yang sebatang kara dan berpenampilan mirip lelaki. Punya sifat pemberontak.

Pak Zein

22 tahun, good looking, penyabar, dan simpatik. Tipe guru muda idola. Paling dekat dengan murid-muridnya daripada guru-guru lain. Sering merasa tidak cocok dengan penerapan disiplin yang kaku dan konservatif di sekolah tempatnya mengajar.

Bram Lesmana

Saudara angkat Bugi. Kelas 2 SMP, temperamental, dan suka membuat onar. Didikan orangtua dan guru yang terlampau otoriter membuatnya sengaja mencari petualangan di luar.

Iwan Lesmana

Saudara angkat Bugi yang paling tua. Pendiam dan tertutup. Tuntutan sebagai anak sulung, trauma akibat ibunya yang secara tak langsung menyalahkan dirinya atas kematian ibunya, dan kesulitannya untuk mengekspresikan diri membuatnya merasa rendah diri.

4 Points for:

check signThe story

check signThe characterization

check signThe writing style

check signThe moral and message

Level of Interest

heart rate52

Sebenarnya buku ini memang sudah lawas sekali, ditulis tahun 80-an, dua tahun sebelum aku lahir. Tapi ceritanya masih bisa membuat kita yang besar di tahun 2000-an merasa terhubung. Bisa dibilang ini adalah salah satu karya terbaik Mira W. Disamping Deviasi, Delusi, dan Trauma Masa Lalu yang sama-sama mengetengahkan tema gangguan kejiwaan. Konfliknya cukup dalam, tentang pentingnya hubungan yang berkualitas antara anak dan orangtua, metode pendidikan modern vs konservatif, remaja dalam menghadapi perkembangan seksualitas mereka, dan tentu saja bullying.

Seperti biasa, Mira W. Menyelipkan seorang tokoh dokter (meskipun sebagai tokoh sampingan yang cuma muncul dalam dua scene) dan beberapa penjelasan medis dalam cerita. Di sini disertakan juga sedikit ilmu psikologi yang berguna.

Tokoh utama dalam cerita ini memang Bugi, tapi tokoh yang menarik bagiku justru Bram, Iwan, dan Dios. Mereka semua berusaha mengatasi konflik batin masing-masing dengan perilaku maladaptif, memilih mekanisme penolakan yang akhirnya justru menjadi self destructive. Bram yang berjiwa bebas mengatasi ketidakcocokannya dengan kedisiplinan berlebih di rumah dan sekolah melalui tawuran, dunia malam, dan seks. Bugi menghadapi perasaan tak diterima di antara keluarga dan teman-teman sekolah dengan bersikap menantang, berkelahi dengan siapapun yang mengejeknya.

Dios mengatasi depresi karena menyaksikan kedua orangtuanya yang tewas di tangan perampok saat kecil lewat kegemarannya bermain-main dengan PSK. Iwan yang sejak kecil memang sudah rendah diri akibat hukuman-hukuman ibunya dan marah kepada ayahnya yang ia anggap tak pedulian malah lebih parah lagi. Stres, amarah, trauma, dan rasa bersalah yang menumpuk di alam bawah sadarnya selama bertahun-tahun seolah dimunculkan kembali ke permukaan setelah ia dihukum dengan cara dipermalukan habis-habisan di depan adik-adik dan teman satu kelasnya.

Seperti ini penjelasan psikolog yang menangani Iwan kepada orangtuanya.

…peristiwa meninggalnya Ros sepuluh tahun lalu. Sejak itu sebenarnya Iwan selalu dibebani rasa bersalah…Sebenarnya akibatnya tidak akan sehebat itu jika Iwan memiliki struktur kepribadian yang lebih harmonis. Hubungan interpersonal yang buruk antara dia dengan orantuanya menambah kecemasan yang tidak normal dalam dirinya…Akibat pengalaman emosi dan frustrasi di masa kanak-kanaknya ini Iwan merasa dirinya sebagai anak yang tidak baik…Padahal di bawah sadarnya dia menolak anggapan itu. Kontradiksi ini selalu membangkitkan kecemasan dalam dirinya. Untuk melindungi diri dari impulse yang mengancam ini, untuk melarikan diri dari anxietas yang selalu mengejarnya, timbullah mekanisme penolakan yang disebut waham. Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat dikoreksi lagi, meskipun bagi orang normal kelihatannya tidak logis. Dalam kasus Iwan, mungkin telah timbul waham tuduh diri dalam sepuluh tahun terakhir…Merasa jijik terhadap dirinya sendiri…menuduh dirinya kotor dan penuh dosa karena mencintai seorang gadis.

Gawat sekali ya, akibat hukuman berlebihan yang tidak bersifat mendidik. Dan jenis hukuman yang tidak wajar seperti yang dilakukan Bu Narsih dan guru-guru di sekolah Iwan, Bugi, dan Bram ini menurutku bisa membahayakan perkembangan jiwa anak manapun dengan kepribadian seperti apapun.

Aku setuju dengan didikan yang keras, karena aku sendiri juga dibesarkan dengan cara itu, dan meskipun pada saat masih anak-anak dan remaja didikan semacam itu membuat kita merasa terkungkung, tapi selama kita masih memiliki hubungan yang akrab dengan orangtua saat dewasa kita bisa melihat sisi positif dari didikan keras itu.

Tapi yang perlu diingat, didikan keras bukan berarti kasar. Memberikan efek jera bukan berarti harus memojokkan dan mempermalukan anak, karena kondisi jiwa mereka masih labil untuk dapat mencerna apalagi menanggapi perlakuan seperti itu secara sehat. Toh yang perlu dididik dan ditertibkan cuma anak-anak, bukan sekelompok tentara atau kawanan anjing, jadi orangtua atau guru rasanya tidak perlu menunjukkan otoritasnya secara berlebihan.

Jujur aku benci sekali kalau berdebat dengan orang yang lebih tua dan orang itu memanfaatkan superioritasnya sebagai yang lebih tua dan lebih berpengalaman untuk selalu mendapat pembenaran mutlak. Hanya karena kita lebih muda, belum tentu juga kita yang salah. Dan betapa piciknya kalau umur yang lebih sedikit dijadikan alasan untuk tidak didengar dan dihargai pendapatnya.

Teenagers & Bullying

Remaja dan bullying, atau ‘penggencetan’ istilahnya kalau di tahun 90-an. Sepertinya ini sudah menjadi masalah paling sering ditemui dalam kehidupan sosial remaja sejak jaman baheula. Makin hari kasusnya yang diliput di media massa makin menguatirkan.

Dalam buku ini, Bugi dan Iwan juga digambarkan mengalami bullying. Bugi mengatasinya dengan perlawanan, dan ini mencegahnya dari bullying lebih lanjut. Sementara Iwan yang pada dasarnya punya low self esteem hanya menerima saja ejekan dan hinaan yang dia terima dan ini membuat kondisi kejiwaannya yang labil menjadi semakin buruk. Tindakan orangtua dan guru-gurunya di sekolah pun menurutku sudah bisa dikategorikan sebagai bullying. Kalau dilakukan oleh orang yang lebih tua dan punya otoritas tertentu seperti itu, menurutku efeknya pasti akan lebih parah. Dan memang peristiwa bullying itulah yang akhirnya memicu Iwan untuk melakukan tindakan ekstrim.

Bullying dan pelecehan seksual adalah dua hal yang palig bisa membuat aku naik darah, meskipun tidak ikut menjadi korban. Kenapa? Karena bullying adalah tindakan pengecut yang memanfaatkan kelemahan orang lain dan selalu (selalu, tidak pernah tidak) dilakukan secara kolektif, entah itu di sekolah, lingkungan kerja, atau dunia maya.

Kenapa bullying terasa menyakitkan dan bisa menjadi pengalaman traumatis? Karena beban mental yang ditanggung korban. Bagian terburuk dari menjadi korban bullying bukanlah siksaan fisik, tapi siksaan mental yang justru lebih merasuk ke dalam pikiran daripada lebam di pipi. Bullying membuat si korban merasa terhina, luar biasa malu, dan menyalahkan diri sendiri (karena tidak berani melawan), dan perasaan ini terbawa sampai kapanpun.

Orang-orang yang cukup kuat atau cukup beruntung pada satu titik akan berdamai dengan pengalaman buruk tersebut dan melanjutkan hidup. Tapi beberapa orang tidak seberuntung itu, mereka terus berkutat dengan perasaan rendah diri yang sama selama bertahun-tahun (seperti Go Dok Mi dalam Flower Boys Next Door). Dan sebaik apapun kamu mengatasinya, memakluminya, dan berdamai dengannya, peristiwa itu tidak akan pernah terlupakan. Berbeda dengan para pelakunya, beberapa tahun kemudian mereka cuma akan sesekali teringat pada perbuatan mereka. Aku yakin sebagian besar dari mereka bahkan tidak ingat alasan mereka mem-bully. Mungkin mereka akan merasa bersalah, tapi akan segera memaafkan diri sendiri sambil menghibur diri, “Itu cuma kenakalan jaman anak-anak. I’m a better person, now.” (doesn’t change the fact that you were an asshole :p).

Pokoknya bullying itu hal yang paling nggak penting dan nggak guna di muka bumi. Sama seperti perang, hal paling bodoh yang pernah diciptakan umat manusia.

6 thoughts on “Kidung Cinta Buat Pak Guru: Cerita tentang pergaulan remaja & keluarga

  1. Fiuh~ topiknya bullying..aku enggak mau komentar deh :v
    Tapi Waham itu sepertinya berasal dari bahasa arab Wahm yang artinya khayalan, kata arab banyak yang diserap Indonesia ya *salah fokus

    Like

  2. Novel tahun 80an emang selalu bagus yah! Ga heran kalau hampir semua novel dari tahun itu pasti jadi legenda. Apa lagi karangan Mira W ini. ^^ Jadi inget dulu tiap main ke rumah eyang waktu kecil, selalu baca-baca novel milik bokap waktu muda. Semua diceritain secara gamblang dan blak-blakkan. Nyeleneh dan vulgar, tapi dengan gaya cerita yang luar biasa. 🙂

    Like

  3. saat baca ini, di detik itu juga aku langsung flasback jaman2 sekolah dulu mbak,langsung ke inget temen2 sekolah SMP dan SMA, jaman itu suka ngerasa wajar ya kalo ngeledekin temen2 di kelas yang anaknya pendiem dan ga jarang tmn2 yang pendiem itu suka kita umpankan kalo ada apa2 di kelas buat bahan ledekan,sekarang kalo inget jadi suka ngerasa berdosa (seandainya aku dulu di posisi mereka pasti menyedihkan bgt), dulu blm ngerti kalo bullying itu imbasnya gede banget, hiksss

    Like

    1. Sama, aku juga merasa sempet ikut ngeledek gitu pas SMP. Ga kepikir kalo mungkin sebenarnya dia juga kepingin bisa berbaur sama temen2 yg lain tp malu ato takut 😞

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.