[Review Buku] Rectoverso: 11 Hibrida Cerpen dan Lagu dari Dee Lestari

Judul: Rectoverso
Penulis: Dee/Dewi Lestari
Bahasa: Indonesia
Format: hardcover, 148 hal.
Penerbit: Goodfaith (2008)
Genre: kumpulan cerita pendek, romance

rectoverso
Rectoverse © Goodfaith

Level of Interest

💗💗💗💗

Review

Karena ini adalah buku pengarang favorit saya, jadi mohon maaf kalau review-nya jadi super panjang dan terlalu personal.

Rectoverso: Dua Sisi Mata Uang

Rectoverso. Kata ini diperkenalkan oleh Dee dalam Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Dee yang saat itu tampaknya masih dalam tahap belajar merangkai sains dan filosofi dalam sastra menjelaskan rectoverso dalam bahasa yang susah dimengerti orang dengan IQ jongkok seperti saya.

Padahal maknanya sederhana saja: dua sisi mata uang dalam segala hal. Kedua sisi tersebut bertolak belakang, tapi tak dapat dipisahkan. Saling melengkapi. Yang satu tak akan pernah ada tanpa keberadaan yang lain. Seperti ‘terang’ yang tak akan pernah terdefinisikan jika tak ada ‘gelap’ sebagai pembandingnya. Seperti halnya orang yang tidak akan bisa menyebut diri bahagia jika belum tahu rasanya susah.

Rectoverso yang dimaksud dalam buku ini jauh lebih sederhana lagi. Hibrida antara fiksi dalam tulisan dan fiksi dalam musik, kalau meminjam kata-kata Dee sendiri.

Sebelas kisah dalam buku ini disampaikan dalam bentuk cerpen dan lagu. Beberapa di antaranya dalam bahasa Inggris.

Saya tidak mendengarkan lagu-lagunya (karena buku ini dipinjamkan si empu tanpa disertai CD musiknya). Saya cuma pernah dengar “Firasat (salah satu lagu Indonesia dengan lirik terbaik, kalau menurut saya) dan “Malaikat Juga Tahu“.

Tapi tanpa mendengarkan lagu-lagunya pun, buku ini tetap mudah dinikmati.

Dari halaman pertama, di bagian tempat si pemilik buku menandai namanya, saya sudah jatuh cinta pada buku ini. Di tengah halaman tertulis ‘Sebelah sisi Rectoverso ini dimiliki oleh:…’.

Cover-nya cantik, dominan hijau dan kuning. Di dalamnya banyak foto dan ilustrasi yang menyertai tiap cerita.

Kebanyakan cerita dalam buku ini menurutku serupa dengan potongan adegan. Seperti satu scene yang diambil dari bagian awal, tengah, atau akhir sebuah film. Judul yang benar-benar seperti cerita utuh mungkin hanya “Malaikat Juga Tahu” dan “Firasat“.

Gaya penulisan Dee di Rectoverso masih seindah biasa. Kalimat-kalimatnya nyaris berima, tapi sama sekali tidak terkesan gombal. Tapi dari sebelas cerita di dalamnya, tidak semua mampu membuat saya terkesan.

Malaikat Juga Tahu sepertinya adalah favorit semua pembaca. Dan menurut saya, ceritanya memang bagus. Berikut ini beberapa judul yang menjadi favorit saya.

Curhat Buat Sahabat

Photo by Wallpaperscraft.com
ilustrasi anggur putih © wallpaperscraft.com

Tipikal cerita bertema friendzone. Lagunya diceritakan melalui POV seorang perempuan. Dia menceritakan tentang patah hatinya pada sahabatnya.

Dia menyampaikan impiannya akan sebuah cinta yang sederhana, yang dia analogikan sebagai seseorang yang mau mengambilkan segelas air putih kapanpun dia butuh.

Kemudian, cerpennya diceritakan dari sudut pandang si sahabat, lelaki yang sedang mendengarkan curhatan galau si perempuan yang sudah lama dia cintai diam-diam.

Si lelaki adalah sahabat sekaligus pencinta yang sangat berdedikasi. Jenis sahabat yang tak pernah absen muncul saat dibutuhkan, mau tengah malam atau pagi buta.

Rasanya miris sekali membaca inner dialogue si pria yang makan hati menyaksikan sahabatnya patah hati dan tidak pernah menyadari perasaan si pria.

Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping. Entah anggur ini terlalu tua bagi lidahku atau cinta ini terlalu tua bagi hatiku.

Sebotol anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tidak pernah tahu. Kamu terus menanti. Segelas air putih.

“Curhat Buat Sahabat” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Segelas air putih dan sebotol anggur putih. Benar-benar tepat menggambarkan situasi di antara sepasang sahabat itu.

Si perempuan telah mencintai lelaki yang salah selama bertahun-tahun. Dan sekarang, dia cuma memelihara impian kecil tentang cinta yang biasa-biasa saja. Padahal selama ini ada si pria yang mencintainya tanpa batas dan tanpa syarat. Tapi perempuan itu tidak pernah tahu. Atau lebih tepatnya memilih untuk tidak tahu, karena si pria bukanlah yang dia cari.

Saya paling merasa relate dengan cerita ini, karena…yeah, I’d been there. I know how it feels. Dan mungkin saya sendiri juga pernah menempatkan orang lain dalam situasi yang dialami si pria ini. Situasi membingungkan, melibatkan berbagai emosi yang terjalin rumit.

Malaikat Juga Tahu

Cerita “Malaikat Juga Tahu” bertutur tentang seorang pemuda autis yang jatuh cinta kepada seorang perempuan, tetapi perempuan itu malah berpacaran dengan adiknya.

Kalimat yang dipakai Dee untuk menggambarkan cinta murni si pemuda yang dipanggil Abang ini juga menyentuh sekali.

Secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas bukan sekedar hobi, melainkan eksistensi.

“Malaikat Juga Tahu” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Ini mengingatkan saya pada The Madness of Lord Ian MacKenzie, saat Ian yang menyandang asperger syndrome jatuh cinta pada Beth tapi tidak mampu memahami dan mengelola perasaannya sendiri.

Namun, bagian yang paling menyentuh tentu saja adalah cinta Bunda yang luar biasa kepada anaknya, Abang.

Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.

Tak perlu ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.

“Malaikat Juga Tahu” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Selamat Ulang Tahun

539396
ilustrasi cupcake untuk kue ulang tahun © Goodfon.com

Lagunya bercerita tentang seseorang yang merasa menyesal, karena ia terlambat mengucapkan selamat ulang tahun pada kekasihnya.

Sementara itu, cerpennya menceritakan ucapan selamat yang terlambat itu dari sudut pandang si kekasih yang sedang berulangtahun.

Dari penuturan si birthday boy/girl, saya bisa melihat kalau dia adalah orang yang sinis (mungkin lelaki) dan kekasihnyalah yang romantis (mungkin perempuan). Tapi dia sudah begitu terbiasa dengan romantisnya sang kekasih yang selama ini tak pernah lupa mengucapkan selamat, entah itu selamat Valentine, ulang tahun, atau hari jadi. Dan saat cerita berlangsung, dia sedang sebal menanti ucapan yang terlambat beberapa jam itu.

Ini adalah kisah sederhana tentang manusia lempeng yang sedang dalam tahap bucin.

Nuansanya hampir sama dengan “Sikat Gigi” dari antologi Filosofi Kopi yang juga saya favoritkan. Saya suka banget karakter fiksi model-model tsundere yang lagi bucin gini.

Hanya Isyarat

Ini juga bagus. Tentang seseorang dengan cinta bertepuk sebelah tangan.

Ia kembali menjadi sebentuk punggung yang sanggup kuhayati, yang kuisyarati halus melalui udara, langit, sinar bulan, atau gelembung bir.

“Hanya Isyarat” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Jadi, ini intinya adalah orang yang memilih untuk mengagumi dari jauh. Mencintai tanpa perlu menyampaikannya.

Kadang kita memang merasakan hal seperti ini, kan? Merasa lebih baik mencintai dalam diam, karena mengungkapkannya kadang justru membuat segalanya jadi runyam dan akhirnya kita justru kehilangan orang itu.

Kadang lebih baik membiarkan segalanya tak pernah dimulai, karena jika tak bermula maka juga tak akan berakhir. Cinta yang pengecut memang. But it’s less painful.

“Grow a Day Older”

Kali ini bercerita tentang seorang perempuan yang berselingkuh dengan lelaki yang sudah memiliki kekasih.

Si perempuan ini sendiri sudah berencana menikah dengan kekasihnya. Dia sangat mencintai selingkuhannya ini, tapi hubungan mereka jelas tak mungkin berlanjut.

Dia ingin mengakhiri affair mereka, tapi pada akhirnya dia tak mampu mengucapkan kata ‘putus’.

And I realized how I was constantly swaying from one side to the other. I wanted to stop. I wanted to decide. But some stupid philosopher kept telling us to go with the flow, to drift with the river of life.

What flow? This is not a flow. It’s a predictable swing that goes back and forth without ever moving elsewhere. We should’ve known better. Maybe we had, but pretended not to know because this chocolate bar was just too tasty to pass over

I grow a day older as a cosmic joker. This has been such a long long way to say ‘I don’t know what to do.’ Another day as a sentimental fool. Another sway, another swing.

I’d like to find the guy who invented the proverb ‘go with the flow’ and lead him to an ocean full of hungry sharks. And see how he would flow. I’d really like to know.

“Grow a Day Older” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Saya tidak pernah menghadapi situasi seperti perempuan di cerpen ini (Nggak pernah slengki, sih, ya!). Tapi sayalah penganut fanatik prinsip “go with the flow”.

Just go with the flow and see where it will bring us. Tapi saat keadaan berubah menjadi buruk, tak ayal kita merutuki diri sendiri karena sudah mengikuti dorongan hati tanpa berpikir panjang.

Rasanya, saya paham sekali perasaan si perempuan saat mengatakan dia ingin menemukan orang yang menciptakan istilah “go with the flow”, melemparkannya ke samudera penuh hiu lapar, dan melihat sendiri bagaimana dia membiarkan dirinya mengikuti arus.

Kadang kata kiasan memang bisa jadi sangat menyebalkan saat diterapkan dalam kehidupan nyata.

“Cicak di Dinding”

Cerpen ini menceritakan tentang seorang seniman fluorescent painting yang jatuh cinta pada kekasih sahabatnya.

Suatu hari saat pameran tunggalnya berlangsung, sahabatnya memperkenalkan seorang perempuan yang konon mengagumi lukisannya mati-matian. “Jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua, dan seterusnya sampai mati,” perempuan itu dengan lucu dan polos mendeskripsikan kekaguman atas karya-karyanya. Lelaki itu mengulang kalimat persis sama dalam hati. Matanya ingin mengekalkan apa yang dia lihat, hatinya ingin mengkristalkan apa yang ia rasa. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua, dan seterusnya sampai mati.

Tak lama sahabatnya mengaku kalaui perempuan yang dikenalkannya tadi baru saja resmi ia pacari. Pengumuman itu seperti tombol set ulang yang menggagalkan seluruh rangkaian kejadian sebelumnya. Pelukis itu pun patah hati pada pandangan pertama, kedua, seterusnya, dan moga-moga, tidak perlu sampai mati.

“Cicak di Dinding” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Dia mendatangi rumah yang akan ditinggali sahabatnya dan gadis itu untuk membuatkan lukisan glow in the dark sebagai hadiah pernikahan.

Dibuatlah ratusan cicak glow in the dark di seluruh dinding ruangan. Sebelum pergi, dia menyampaikan perasaannya kepada gadis itu sekaligus selamat tinggal.

“Kutitipkan mereka untuk menjaga kamu…mengagumi kamu.”

“Cicak di Dinding” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Dan pelukis itu pun pergi dari hidupnya. Sementara si gadis justru baru memulai cintanya kepada si pelukis detik itu juga.

Akalnya mencerna menit-menit terakhir yang telah mengobrak-abrik hatinya menjadi tempat asing.

Cicak-cicak di dinding. Diam-diam merayap. Hatinyalah nyamuk, yang…Hap! Selamanya tertangkap.

“Cicak di Dinding” dari Rectoverso (Dee Lestari)

Isn’t it ironic? Saya membayangkan si pelukis telah terjebak dalam ribuan pertanyaan ‘what if’ dan ‘if only’ sejak ia mengetahui sahabatnya berpacaran dengan gadis itu.

What if I met her earlier? If only I met her first. What if…If only…What if..If only...

Dan saat akhirnya dia bisa mengikhlaskan cintanya, justru gadis itu yang memulai pertanyaan ‘what if’ dan ‘if only’nya sendiri.

Cinta memang bisa terjadi dengan cara yang salah, dalam waktu yang benar-benar tak tepat.

Walaupun tidak semua ceritanya saya suka, tapi buku ini saya baca berkali-kali sampai sekarang.

Terima kasih buat si empunya buku, Mas Kodok yang sudah minjemin saya buku ini.

Rectoverso: The Movie

rectoverso2
© dok. Keana Production & Communication/Rectoverso

Buku ini baru dibuat filmnya yang rilis pada tanggal 14 Februari 2013 lalu untuk menyambut Valentine’s Day.

Tidak semua cerita diadaptasi ke film. Hanya “Malaikat Juga Tahu” (sutradara: Marcella Zalianty) yang untuk versi filmnya sekali lagi diperankan oleh Lukman Sardi. Tapi, pemeran tokoh utama perempuannya diganti. Kali ini, dia didampingi Prisia Nasution.

“Firasat” (sutradara: Rachel Maryam) dibintangi oleh Asmirandah dan Dwi Sasono.

“Cicak di Dinding” (sutradara: Cathy Sharon) dibintangi Yama Carlos dan Sophia Latjuba, “Curhat buat Sahabat” (sutradara: Olga Lydia).

Sementara itu, “Hanya Isyarat” (sutradara: Happy Salma) dibintangi Amanda Soekasah dan Hamish Daud.

Saya cukup puas dengan film ini, karena kebanyakan yang diadaptasi adalah cerita kesukaan saya dan ceritanya dibuat sedikit lebih mendalam.

Lagipula, saya memang cukup menikmati menonton film-film omnibus seperti New York I Love You dan Paris Je T’aime.

5 thoughts on “[Review Buku] Rectoverso: 11 Hibrida Cerpen dan Lagu dari Dee Lestari

  1. Hmmm…baca reviewmu bikin aku pingin baca lagi buku ini. soalnya dulu waktu baca, kok kesan yang kudapat beneran beda. aku malah agak kecewa sama rectoverso ini, seperti membaca curhatan galau seorang dee yang waktu itu memang lagi disorot akibat kisah kehidupan probadinya. mungkin aku harus baca ulang dengan mood yang lebih netral :))

    Like

    1. Hehehe, aku waktu baca pertama kali juga nggak terkesan, kak. Setelah baca ulang setahun kemudian baru deh dapet feelingnya 😀 Coba aja baca lagi, kak.
      Hoo buku ini dibuat pas jaman2 Dee baru nikah sama si…entah siapa Gunawan itu ya?

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.