[Review Buku] Laut Bercerita oleh Leila S. Chudori

Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Bahasa: Indonesia
Format: paperback
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (2017)
Genre: fiksi sejarah, drama

sampul buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori ยฉ Kepustakaan Populer Gramedia
sampul buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori ยฉ Kepustakaan Populer Gramedia

Sinopsis

Jakarta, Maret 1998

Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal.

Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998

Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati.

Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000

Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali.

Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

5 Points for:

โœ… Story

โœ… Setting

โœ…Characterization

โœ… Writing style

โœ… Moral/interesting trivia

Level of Interest

๐Ÿ’—๐Ÿ’—๐Ÿ’—๐Ÿ’—

Review

Ini adalah buku Leila S. Chudori pertama yang saya baca. Saya suka judul Inggrisnya yang terdengar puitis banget, The Sea Speaks His Name.

Alkisah, buku ini hype banget di kalangan follower litbase dan reviewers. Karena hype banget itulah, saya sempat malas mau baca. Tapi, akhirnya memutuskan untuk beli juga karena pengin tahu soal periode 1998 dari sudut pandang para aktivis.

Kalau boleh jujur, ceritanya terasa agak dragging di beberapa bab pertama, mungkin karena saya yang sudah terkena short attention span ini sulit fokus dalam membaca. Saya bahkan harus membalik ulang halaman sebelumnya untuk mengingat tokoh mana yang sedang diceritakan oleh Laut. Untunglah, novelnya berhasil saya selesaikan dalam tiga hari.

Laut Bercerita Dituturkan Melalui POV Biru Laut dan Asmara Jati

Jadi, Laut Bercerita dituturkan melalui sudut pandang orang pertama.

Ada dua narator yang “bertugas” menggulirkan cerita, yaitu Biru Laut dan adiknya yang bernama Asmara Jati.

Narasi Laut lebih banyak mundur ke belakang. Dia fokus bercerita tentang awal keterlibatannya dengan para aktivis UGM hingga diculik dan dilenyapkan.

Narasi Asmara fokus pada aftermath effect penghilangan paksa Laut dan teman-temannya.

Bab-bab yang diceritakan Laut memang terasa perih. Tapi bagian paling memilukan justru berada di bab-bab yang diceritakan Asmara.

Saya sampai meneteskan air mata tiga kali. Pertama, saat Asmara menceritakan ayah dan ibunya yang masih berada di tahap denial.

“Setiap Minggu, Ibu dan Bapak seperti mnemasuki sebuah kepompong, dan segala realita hilang ditelan bayang-bayang Mas Laut yang masih berkelebatan di rumah ini. Dan mereka sama sekali tak bersedia keluar dari kepompong itu karena di dalamnya terasa lebih hangat, lebih penuh cinta, dan di sana ada Mas Laut yang masih hidup dan tertawa bersama mereka.”

Asmara Jati di Laut Bercerita (Leila S. Chudori)

Kedua, saat saya diajak untuk menyaksikan luka batin teman-teman Laut yang berhasil selamat. Mereka memang tak ikut kehilangan nyawa, tapi benak mereka masih berada di ruang pengap tempat penyiksaan itu. Jiwa mereka yang dulu sudah hilang bersama Laut, Gala, Sunu, dan Kinanโ€ฆ tak akan pernah kembali lagi.

Ketiga, saya meneteskan air mata untuk terakhir kalinya ketika ibu Asmara akhirnya bisa menerima kenyataan kalau Laut tak akan pernah pulang dan mencicipi tengkleng masakannya lagi.

Barangkali, memang lebih mudah bagi pembaca untuk meresapi kesedihan keluarga yang ditinggalkan daripada putus asanya Laut di dalam sekapan. Atau mungkin narasi tentang kondisi keluarga yang ditinggalkan tadi menjadi pukulan pamungkas setelah pembaca disuguhi bab-bab menyakitkan tentang penyiksaan yang dialami Laut.

Kisah Panjang tentang Penghilangan Orang secara Paksa 1998

trailer film pendek Laut Bercerita (The Sea Speaks His Name)

Laut Bercerita adalah kisah panjang yang berlatar tahun 1991–2007.

Daripada kisah nyata, novel ini lebih cocok disebut “inspired by real events”. Lebih tepatnya, kisah yang terinspirasi dari kasus desaparasidos (penghilangan orang secara paksa) pada tahun 1998.

Biru Laut Wibisana dan teman-temannya adalah karakter fiktif. Namun, cerita ini didasarkan pada wawancara Leila S. Chudori dengan para aktivis 98 seperti Nezar Patria. Wamenkominfo yang sekarang itu, lho!

Karena latar ceritanya berkisar di tahun 1998, tentu penulis harus melakukan riset mendalam untuk menangkap situasi pada masa itu.

Nah, tulisan-tulisan yang dijadikan referensi oleh penulis bisa dilihat di lembar Ucapan Terima Kasih pada halaman belakang Laut Bercerita. Sebagian besar adalah karya para aktivis 98 dan kumpulan berita TEMPO. Kalau berminat mencari tahu tentang kemelut politik tahun 1998, saya rasa bisa dicari dari situ.

Novel ini juga sarat trivia menarik. Tak cuma membahas pandangan Laut dan teman-teman aktivisnya terhadap pemerintahan Orde Baru, buku ini juga membahas berbagai pemikiran dan situasi politik di negara lain yang menjadi inspirasi utama para tokohnya.

Ada buku-buku yang waktu itu dianggap “kiri” seperti karyanya Ernesto Laclau, Pramoedya Ananta Toer, dan Ralph Miliband.

Karya sastra klasik seperti Mahabharata dan Ramayana diceritakan secara sambil lalu.

Musik-musik yang dianggap kontroversial pada zamannya seperti The Beatles juga kerap dikutip oleh Laut Bercerita.

Laut Bercerita juga tak lupa membahas People’s Power di negara-negara lain yang senapas dengan Reformasi Indonesia. Semuanya dibahas dalam porsi yang pas, tanpa membuat pembaca jenuh atau teralihkan dari cerita.

Novel tentang Orde Baru dari Kacamata Para Aktivis

Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, Laut Bercerita menyampaikan situasi pada pemerintahan Orde Baru dari sudut pandang para aktivis 1998 yang diwakili oleh Laut.

Memang keadaan tahun 1998 itu seperti apa, sih?

Jujur, saya sendiri masih duduk di bangku SD pada periode krisis moneter sampai reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto.

Tentu tak banyak yang bisa saya tangkap waktu itu selain berita demo dan kerusuhan yang jadi makanan sehari-hari di koran dan televisi.

Walaupun begitu, bu guru Bahasa Inggris baru di sekolah saya yang mungkin ijazah S1-nya masih anget cukup memberikan gambaran situasi politik saat itu bagi kami:

  • Demokrasi semu karena ada pemilu, tapi masyarakat “disarankan” memilih satu partai saja, sementara presiden dipilih oleh MPR.
  • Stabilitas semu karena warga memilih bungkam terhadap kekuasaan oligarki daripada dibungkam negara.
  • Krisis moneter yang menyebabkan ekonomi hancur hingga rakyat akhirnya tak bisa diam lagi.
  • Enam tuntutan Reformasi yang disampaikan demonstran dan berujung pada lengsernya Soeharto.

Penjelasan lebih lengkap tentang kondisi waktu itu, ya, saya dapatkan dari kakak sulung saya yang waktu itu sudah mahasiswa dan ikut turun ke jalan, meskipun nggak di Jakarta.

Lalu, sekarang orang-orang dari generasi orangtua saya (untungnya Bapak-Ibu saya nggak gitu) dan segelintir Gen Z malah menggaungkan quote imajiner dari almarhum Soeharto, “Piye, sik enak jamanku, toh?”

Memang beneran mending zaman Soeharto?

Waduh, saya masih lebih suka zaman sekarang. Meskipun harga-harga barang serba mahal, setidaknya kita masih punya “kebebasan” bersuara.

Netizen bisa mengkritik pemerintah di media sosial dengan blak-blakan, itu adalah bukti bahwa kita masih diizinkan berdemokrasi.

Meskipun setiap hari ada ketubiran di antara pejabat hingga netizen, tapi kita juga bisa mengakses informasi sejarah sesuka kita.

Ya, mungkin ada beberapa keyword di media sosial yang mendadak “sulit dicari”, tapi zaman dulu jangan harap kita bisa membaca Ronggeng Dukuh Paruk yang uncensored. Apalagi baca Tetralogi Pulau Buru-nya Pram. Bukunya aja dilarang.

Sekarang, kalau pengin tatoan nggak perlu takut, karena sudah nggak ada petrus (penembak misterius) yang asal tangkap.

Presiden bisa milih sendiri, nggak perlu nunggu dipilihin orang yang itu-itu saja sama MPR.

Menurut saya, justru sebuah kemunduruan kalau kita lebih memilih kembalinya zaman represif demi alasan apa pun.


Yak, sampai di sini dulu ulasan saya tentang Laut Bercerita.

Memang, ini bukan cerita yang berakhir dengan bahagia selama-lamanya seperti kisah dongeng.

Tapi, happy ending di Laut Bercerita adalah saat keluarga para korban bangkit untuk memperjuangkan keadilan.

Mereka telah berdamai dengan kenyataan, tapi bukannya melupakan atau malah membiarkan.

Happy ending di sini adalah ketika keluarga melanjutkan perjuangan Laut dan teman-teman di tengah Indonesia baru yang belum sempat mereka cicipi.

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata Laut yang tampaknya sangat pas dengan situasi Indonesia saat ini.

“Jika jawaban yang kalian cari tak kunjung datang, jangan menganggap bahwa hidup adalah serangkaian kekalahan. Di dalam upaya yang panjang dan berjilid-jilid itu, pasti ada beberapa langkah yang signifikan.”

Biru Laut Wibisana di Laut Bercerita (Leila S. Chudori)

Sumber bacaan:

Penculikan Aktivis 1997/1998. Wikipedia
13 Tahun Mencari 13 Orang Hilang. Kompas.com
Korban Penculikan yang Diyakini Sudah Meninggal. Detik.com

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.