Manga More of a Flower Than a Flower yang saya potret ini hibahan dari Shinta Wahyu Diana. Makasih buat farewell gift-nya, ya!
Judul: More a Flower than a Flower (judul asli: Hana Yori mo Hana no Gotoku)
Penulis: Minako Narita
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 191 hal.
Penerbit: Elex Media Komputindo (2011), Hakusensha (2003)
Genre: manga, fiksi, drama, seinen, budaya
Cerita
Kento sudah menekuni teater Noh sejak usia 3 tahun. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berlatih dan tampil di atas panggung.
Kento memang mencintai Noh. Peran apa pun yang diberikan kepadanya bisa dia mainkan dengan baik. Entah itu peran kesatria, perempuan jelita, atau bahkan dewa naga.
Manga ini bercerita tentang hari-hari Kento sebagai aktor muda yang menemui berbagai tantangan dalam karier dan kehidupan pribadinya.
5 Points for:
☑️ Story
☑️ Setting
☑️ Characterization
☑️ Writing style
☑️ Moral/interesting trivia
Level of Interest
💗💗💗
Review
Kalau kepingin membaca manga yang kental drama profesinya, coba baca More a Flower Than a Flower. Judul yang satu ini punya cerita yang unik karena mengambil latar panggung teater Noh.
Noh adalah seni teater kuno yang sangat dihormati di Jepang. Kesenian ini jauh lebih tua daripada Kabuki.
Katanya, Noh adalah seni teater tertua di Jepang yang masih bertahan hingga saat ini. Nggak heran kalau kesenian ini lebih dihormati daripada bentuk teater tradisional yang lain.
Kento, tokoh utama manga ini adalah seorang shite. Ini adalah sebutan untuk aktor yang memerankan karakter protagonis di Noh. Kento sudah menggeluti profesi sebagai aktor Noh sejak usia 3 tahun, tapi bukan berarti kariernya selalu mulus.
Setahu saya, Noh tidak seperti Kabuki yang seluruh aktornya adalah lelaki. Tapi, shite seperti Kento juga bisa kebagian peran wanita. Kadang dia juga menjadi tsure (karakter pembantu).


Kadang dia mendapatkan peran yang sulit. Beberapa kali dia merasa kesusahan karena harus beradu akting dengan aktor-aktor senior yang tidak dia sukai.
Kento juga menghadapi berbagai kesulitan saat diminta mengajarkan seni Noh kepada seorang pria asing. Pada kesempatan lain, dia merasa terbebani karena harus mewakili Jepang untuk mementaskan Noh di Korea Selatan yang punya sejarah buruk dengan negaranya.
Kento pun sempat kebingungan beradaptasi dengan drama televisi yang dibintanginya (meskipun perannya sebagai aktor Noh juga). Belum lagi persoalan asmaranya dengan Hazuki yang tak kunjung menemukan kejelasan. Pokoknya ada saja masalah-masalah yang harus dihadapi Kento.
Drama Profesi yang Diselingi Roman dan Misteri
Saya suka banget manga yang mengangkat sebuah profesi, karena riset yang dilakukan mangaka-nya untuk cerita seperti ini selalu bagus. Sambil mengikuti cerita, pembaca juga bisa belajar banyak trivia terkait profesi yang dibahas.
Melaui cerita Kento di More a Flower than a Flower, pembaca bisa mempelajari detail seni teater Noh. Ada banyak peran buat seniman Noh. Agar bisa naik kelas ke shite seperti Kento, mereka harus belajar bertahun-tahun.
Masalah-masalah yang dihadapi Kento itu sama seperti orang kebanyakan. Nggak ada yang benar-benar dramatis atau bernuansa tragedi. Karena itulah, saya rasa judul ini lebih cocok dinikmati oleh pembaca dewasa. Soalnya problematika yang dihadapi tokoh-tokohnya terasa dekat dengan orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia kerja.
Buat pembaca muda yang masih getol membaca aksi seru atau percintaan penuh drama, barangkali More a Flower than a Flower bakal terasa membosankan. Bahkan pembaca dewasanya mungkin juga sesekali bosan saat mengikuti kisah Kento. Saya rasa Minako Narita pun menyadari hal itu. Karena itulah dia menyelipkan misteri di beberapa volume.


Saya yang termasuk pembaca dewasa menuju uzur pun kadang kesulitan untuk mengikuti dialog Kento dan tokoh-tokoh lain sesama aktor Noh. Soalnya mereka sering berbicara dengan ungkapan dari bahasa Jepang yang tentunya tidak relatable bagi pembaca dari luar Jepang. Bahkan setelah diberi catatan kaki pun kadang masih tetap kurang mudeng.
Cerita romannya juga ada meskipun tergolong “tipis” banget. Saya sendiri sering merasa Kento dan Hazuki ini nggak ngapa-ngapain kalau bertemu. Kalau begitu terus, ya, kapan mau jadiannya?
Cerita-Cerita Menarik di Balik Panggung Teater Noh
Karena kepingin memperkenalkan seni teater topeng Noh, Minako Narita nggak cuma bercerita soal kesenian ini lewat para tokoh di More a Flower than a Flower. Dia juga kerap menambahkan halaman khusus berisi catatan kecil soal serba-serbi pementasan Noh yang tidak bisa dimasukkan ke dalam cerita.
Lalu, topeng Noh yang selalu dipakai para pemain juga punya cerita tersendiri. Ada sekitar 400 jenis topeng Noh yang tergolong dalam 60 tipe. Setiap jenis topeng punya nama tersendiri.
Topeng ini lubangnya sangat kecil, di bagian pupil mata. Jadi para pemain yang jangkauan pandangnya terbatas harus berlatih berkali-kali agar tidak tersandung properti panggung.
Topeng Noh bisa menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut berlainan. Jadi, aktor Noh juga mesti tahu kapan mereka harus menunduk, tengadah, atau menelengkan kepala agar ekspresi yang hendak disampaikan bisa dilihat penonton.
Topeng Noh dipahat dari kayu pohon hinoki (cypress jepang) yang berusia 30 sampai 60 tahun. Pernisnya dibuat dari campuran lem yang bernama nikawa, air, dan cangkang kerang yang ditumbuk. Kerena dibuat secara khusus, topeng ini harus dirawat dengan hati-hati.

Layaknya benda pusaka, topeng Noh tidak boleh dicuci, cuma boleh dilap dengan washi (kertas Jepang yang dibuat secara tradisional dari kulit kayu), dan harus disimpan di kotak khusus. Aktor yang memakainya pun harus melepaskan topeng ini dengan cara tertentu agar keringat tidak menetes ke permukaannya.
Selain aktor dan properti yang digunakan dalam teater Noh, Minako Narita juga kerap bercerita tentang judul-judul yang dipentaskan Kento. Silakan baca manga-nya kalau ingin tahu lebih banyak. Saya rasa informasinya bakal lebih mudah dinikmati kalau dikemas dengan format manga.



