
Ini mungkin lebih cocok disebut telaah puisi daripada review. Atau lebih tepatnya usaha untuk menelaah oleh saya yang termasuk penikmat puisi level terendah—kalau meminjam istilah Idan, si empunya buku (makasih udah minjemin buku ini).
Judul: Hujan Bulan Juni; Sepilihan Sajak
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Bahasa: Indonesia
Format: hardcover, 560 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013)
First published: Grasindo (1994)
Genre: kumpulan puisi
Hujan Bulan Juni berisi kumpulan sajak yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dari tahun 1959 sampai tahun 1994.
Beberapa di antaranya sudah pernah diterbitkan dalam buku kumpulan puisi yang lain.
Puisi-puisi dalam buku ini juga sudah pernah dimusikalisasi.
Level of Interest

Review
Saya bukan penggemar puisi, meskipun waktu SMP-SMA pernah coba-coba nulis puisi dan punya pengalaman didepak dari pembacaan puisi Hari Kartini di SMP. Saya susah sekali menghayati, apalagi menginterpretasikan puisi. Tapi saya mencoba membaca buku kumpulan puisi yang satu ini karena dengar-dengar di dalamnya banyak sajak yang bertema hujan.
Setelah saya baca keseluruhan sajak, jujur tidak semuanya bisa saya pahami. Kebanyakan yang saya mengerti adalah puisi-puisi yang bertema alam dan cinta. Sedangkan puisi-puisi yang bertema kematian dan yang lainnya agak susah saya cerna.
Sajak-Sajak Halus Bernuansa Musim Hujan
Menurut saya, bahasanya Sapardi Djoko Damono itu lembut. Kaakter puisi-puisinya lembut, cenderung melankolis. Tidak sinis dan vulgar seperti beberapa puisi Rendra, misalnya. Atau puisi-puisi Chairil Anwar yang penuh amarah.
Judul-judul yang paling saya suka adalah yang bertema hujan. Di buku ini banyak sekali puisi yang menyelipkan tema hujan. Bahkan banyak yang menceritakan tentang hujan itu sendiri. Saya suka cara Sapardi Djoko Damono mendeskripsikan hujan. Kelihatannya dia juga penyuka hujan seperti saya.
Dia mampu membahasakan keindahan hujan lewat kata-kata yang jauh lebih cantik daripada saya. Misalnya saja ketika dia menjelaskan tentang gerimis kecil yang biasanya cuma saya sebut ‘hujan lembut’. Sapardi menggunakan kata ‘serbuk-serbuk hujan’ (“Pertemuan”, hal. 32). Dan sebenarnya memang lebih tepat kalau disebut begitu. Hujan lembut itu memang kelihatan seperti bubuk yang tumpah dari langit, kan? Dia juga menggambarkan hujan deras yang menutupi pandangan dengan kata ‘cadar’. (Jadi pingin salaman. Saya nyebut itu ‘tirai air’, Pak :D)
Dalam buku ini saya punya beberapa puisi favorit. Ini salah satunya.
HUJAN BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak rindunya
Yang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arif
—Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (Sapardi Djoko Damono)
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Ini mungkin favorit semua orang yang pernah membaca buku ini. Tapi memang benar isinya menyedihkan sekali. Cinta yang terpendam sekian lama yang membuat si pemilik rasa ragu-ragu untuk mengungkapkan, tapi pada akhirnya ia putuskan untuk dikubur dalam-dalam.
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abuAku ingin mencintaimu dengan sederhana:
—Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (Sapardi Djoko Damono)
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Puisi yang ini adalah satu-satubya puisi kesukaan saya sebelum membaca buku Hujan Bulan Juni. Sepertinya semua orang sudah akrab dengan puisi ini. Hanya saja, dulu saya mengira kalau puisi ini adalah karya Kahlil Gibran. Ceritanya lagi-lagi menyedihkan, tentang cinta yang mennghancurkan.
DI RESTORAN
Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
Ilalang panjang dan bunga rumput –
Kau entah memesan apa. Aku memesan
Batu di tengah sungai terjal yang derasKau entah memesan apa. Tapi kita berdua
—Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (Sapardi Djoko Damono)
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
Memesan rasa lapar yang asing itu.
Puisi-Puisi yang Mengingatkan Pembaca kepada Rectoverso Dewi Lestari
Puisi ini mengingatkan saya kepada cerpen “Curhat Buat Sahabat” di Rectoverso. Dua orang yang duduk berhadapan di restoran. Si pria menyuarakan cinta terpendamnya kepada sang gadis dalam hati. Cintanya terasa menyakitkan, karena ia hanya bisa mendambakan gadis itu dalam diam. Apa yang diceritakan di dalam puisi ini persis sekali dengan “Curhat Buat Sahabat”. Rasanya hampir seperti membaca fanfic “Di Restoran”.
Saya tidak akan heran kalau ternyata Dee memang terinspirasi dari puisi ini saat menulis “Curhat Buat Sahabat”. Sudah bukan rahasia lagi kalau Sapardi Djoko Damono merupakan salah satu influence-nya dalam menulis. Dee juga penggemar berat buku ini. Lihat saja beberapa karyanya yang senuansa dengan puisi-puisi di buku ini.
“Surat yang Tak Pernah Sampai” (Filosofi Kopi) bagi saya mengingatkan pada puisi “Tiga Lembar Kartu Pos” dan “Sajak-Sajak Empat Seuntai”. “Firasat” (Rectoverso) rasanya seperti “Dalam Doaku” yang dicerpenkan. Atau mungkin “Dalam Doaku” yang dijadikan lagu, mengingat lagu “Firasat” rilis lebih dulu daripada Rectoverso.
PADA SUATU PAGI HARI
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil
—Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (Sapardi Djoko Damono)
Berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun
Rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil
Menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
Memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
Menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di
Lorong sepi pada suatu pagi.
Puisi ini menjadi kesukaan saya karena emosi di dalamnya benar-benar mengena. Ada kalanya saya juga seperti itu, ingin hujan-hujanan saat perasaan sedang tidak karuan. Berpikir kalau kadang-kadang bunyi hujan yang berisik itu bisa menjadi semacam privasi. Kalau menangis atau marah-marah di kamar, kan, suaranya jadi tertelan hujan. Jadi bisa menangis puas-puas tanpa ada yang mendengar. Ada juga quote Charlie Chaplin yang mirip seperti puisi ini. Bunyinya “I always like walking in the rain, so no one can see me crying.”
SAJAK-SAJAK EMPAT SEUNTAI
—Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (Sapardi Djoko Damono)
/1/
Kukirim padamu beberapa patah kata
Yang sudah langka–
Jika suatu hari nanti mereka mencapaimu
Rahasiakan, sia-sia saja memahamiku
/2/
Ruangan yang ada dalam sepatah kata
Ternyata mirip rumah kita:
Ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana
Hanya saja kita diharamkan menafsirkannya
/3/
Bagi yang masih percaya pada kata:
Diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya —
Tapi kapan kita pernah memahami laut?
Memahami apa yang tak hendak surut?
/4/
Apakah yang kita dapatkan di luar kata;
Taman bunga? Ruang angkasa?
Di taman, begitu banyak yang tersampaikan
Di angkasa, begitu hakiki makna kehampaan
/5/
Apa lagi yang bisa ditahan? Beberapa kata
Bersikeras menerobos kenyataan –
Setelah mencapai seberang, masihkah bermakna,
Bagimu, segala yang ingin kusampaikan?
/6/
Dalam setiap kata yang kaubca selalu ada
Huruf yang hilang —
Kelak kau pasti akan kembali menemukannya
Di sela-sela kenangan penuh ilalang
Rasanya puisi ini seperti lanjutan dari “Di Restoran” dan “Hujan Bulan Juni”. Cinta yang terpendam, lalu dicoba untuk diikhlaskan, dan saat semuanya sudah tak mungkin diulang lagi, si pria menyampaikan cintanya sebagai kata-kata terakhir. Dia tidak mengharapkan apa pun saat mengungkapkan perasaannya. Hanya ingin jujur, lalu sudah. Tak ada apa-apa lagi. Jadi, beberapa puisi di buku ini rasanya seperti fase cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Meskipun saya tidak bisa memberi lima, enam, apalagi tujuh bintang buat buku ini, tapi harus saya akui puisi-puisi Sapardi Djoko Damono memang indah dan cukup mudah dinikmati.
Jadi makin pengen punya ini x) Rencananya baca buat posbar puisi BBI bulan depan
LikeLike
Aku doain biar dikabulin sama ibu peri deh. Hehehe…
LikeLike
Thanks sudah mau baca n ngereview mbak! 😀
sorry about the bookmark though :p
LikeLike
Hiks…bookmark
LikeLike