

Judul: The Square Persimmon and Other Stories
Penulis: Takashi Atoda
Bahasa: Inggris
Format: hardcover, 208 hal.
Penerbit: Tuttle Publishing (1990)
Genre: kumpulan cerpen, sastra Jepang, fiksi
Cerita
The Square Persimmon and Other Stories is an introduction to the work of Takashi Atoda, one of Japan’s most popular and versatile writers of fiction.
His themes-first love, lost love, change, fate-are universal ones, but his characters and settings are Japanese.
4 Points for:
☑️ Story
☑️ Setting
☑️ Characterization
☑️ Writing style
❎ Moral/interesting trivia
Level of Interest
❤️❤️❤️❤️
Review
Sebelumnya, harap maklum kalau saya lumayan banyak ngelantur dalam ulasan kali ini. Rasanya susah untuk menahan diri, karena mengulas buku ini turut menghadirkan nostalgia buat saya.
Dalam sejarah baca-membaca saya, The Square Persimmon memiliki nilai penting. Kumpulan cerita pendek ini telah memperkenalkan saya pada keseruan membaca fiksi dalam bahasa Inggris. Buku ini dipinjam dari perpustakaan SMAN 1 Malang, sekolah saya dulu. Kosakata bahasa Inggris saya pada waktu itu masih sangat terbatas. Daripada melakukan perpanjangan peminjaman, saya putuskan buat memfotokopinya. Berkali-kali saya harus membuka kamus dan membuat coretan terjemahan di pinggir halaman. Butuh upaya yang besar memang, tetapi akhirnya saya berhasil menyelesaikan buku tersebut.
Bertahun-tahun kemudian, saya sudah tidak terlalu ingat dengan keseluruhan ceritanya. Tetapi ada tiga cerita yang berkesan meskipun sebagian detailnya sudah saya lupakan. Cerita pertama mengenai seorang wanita dengan mulut besar (harafiah, lho ya) yang terus-menerus merana karena penampilannya. Suami perempuan ini berselingkuh dengan rekan kerja di kantor yang jauh lebih cantik darinya.
Setiap malam, dia memulas lipstik merah terang di bibirnya. Setelah itu dia akan pergi ke pub, sekadar mengobrol dengan para pria untuk mendapatkan rasa percaya dirinya kembali. Tetapi di penghujung hari, dia masih berkutat dengan perasaan rendah dirinya. Dia masih merasa tak diinginkan karena wajahnya yang buruk rupa.

Cerita kedua mengenai seorang ibu rumah tangga dengan kehidupan monoton yang membosankan. Suatu hari dia menemukan seekor ikan shishamo kering di dalam lemari es. Penemuan ikan yang bentuknya ganjil itu seperti sebuah firasat atas serangkaian kejadian aneh yang melibatkan tetangga barunya, kejadian-kejadian aneh yang lantas membuatnya tak lagi bosan.
Cerita terakhir mengenai seorang pria yang tak menua hingga beberapa dekade. Kepada teman-teman lamanya, pria ini mengaku kalau dia telah menemukan ramuan awet muda. Pernyataan ini membuat salah satu sahabatnya bertanya-tanya, terutama karena si pria selalu menghilang setelah menceritakan rahasianya. Belasan tahun kemudian, dia kembali menemui sahabatnya itu, sekadar menanyakan kabar, sebelum menghilang kembali.

Kesan yang saya dapatkan setelah membaca The Square Persimmon adalah kesuraman yang menyelimuti setiap ceritanya. Ada sesuatu yang terasa sedih, misterius, dan muram dalam tulisan Atoda. Namun di saat yang sama cerita-cerita bikinannya juga memikat untuk dibaca. Selain itu, dia selalu menutup ceritanya dengan akhir yang menggantung. Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari ini adalah karakteristik dari sebagian besar karya sastra Jepang yang saya baca.
Sepertinya saya harus membeli buku ini dan membacanya kembali. Mungkin saja sekarang saya bisa menangkap detail-detail kecil yang dulu terlewatkan saat membacanya di bangku SMA.