Apa Itu Tsundoku? Asal-Usul Kata, Manfaat, dan Sisi Negatifnya

“It is foolish to think that you have to read all the books you buy, as it is foolish to criticize those who buy more books than they will ever be able to read.

Umberto Eco

Orang-orang yang hobi baca buku mungkin sudah tidak asing dengan istilah “tsundoku”. Ini adalah sebutan untuk kebiasaan menimbun buku tanpa pernah membacanya.

Hobi ini biasanya mengundang cibiran, terutama dari mereka yang memang tidak hobi mengoleksi buku. Katanya buang-buang uanglah, numpuk barang bekaslah, cuma buat pamerlah.

Saya sendiri punya pendapat yang netral soal “tsundoku”. Jujur, saya juga hobi mengoleksi buku. Mungkin ada 1.000-an buku yang sudah saya kumpulkan. Jumlah yang sudah saya baca tak lebih dari 500.

Saya merasa tsundoku adalah hobi yang lebih banyak sisi positifnya. Walaupun begitu, saya juga sering mengingatkan diri untuk tidak membeli buku baru setiap mampir ke Gramedia atau Togamas. Soalnya, kamar saya sudah nggak punya space buat nambah barang lagi.

Jadi, “tsundoku” ini sebenarnya kebiasaan positif atau negatif? Sebelum membahas hal itu, saya mau cari tahu soal asal-usul katanya dulu, deh!

Asal-Usul Kata “Tsundoku”

ilustrasi tumpukan buku © dok. pribadi/Tantri S.
ilustrasi tumpukan buku © dok. pribadi/Tantri S.

“Tsundoku” adalah istilah Jepang yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki banyak literatur yang belum dibaca.

BBC

Praktik membeli banyak buku dan menyimpannya dalam tumpukan karena Anda berniat untuk membacanya tetapi belum melakukannya; juga digunakan untuk merujuk pada tumpukan [buku] itu sendiri.

Cambridge Dictionary

Kata “tsundoku” mungkin bersliweran di media sosial beberapa tahun terakhir, tapi aslinya kata ini sudah ada jauh sebelum itu.

Profesor Andrew Gerstle, pengajar teks Jepang pra-modern di University of London mengatakan kepada BBC kalau kata “tsundoku” pertama kali ditemukan dalam teks pada tahun 1879. Asumsinya, kata ini sudah digunakan jauh sebelum itu.

“Frasa ‘tsundoku sensei’ muncul dalam teks dari tahun 1879 menurut penulis Mori Senzo,” jelas Gerstle. “yang kemungkinan bersifat satir, tentang seorang guru yang memiliki banyak buku, tetapi tidak membacanya.”

Kalau menyimak penjelasan di atas, “tsundoku” terlihat seperti ejekan. Namun, Gerstle menyebut kalau kata itu sendiri sifatnya netral di Jepang.

“Tsundoku” tersusun dari dua kata, yaitu “tsun” dan “doku”. Menurut Gerstle, “tsun” berasal dari “tsumu” yang berarti ‘menumpuk’.

Sementara itu, “doku” merupakan kata kerja yang berarti ‘membaca’. Ketika digabungkan, “tsundoku” bisa berarti ‘membeli bahan bacaan dan menumpuknya’.

Menurut sebuah artikel di situs Open Culture, tsundoku adalah slang, singkatan dari “tsunde-oku” (積んでおく) yang berarti ‘menumpuk barang-barang dan meninggalkannya untuk digunakan nanti’.

Sisi Positif “Tsundoku”

ilustrasi tumpukan buku © dok. pribadi/Tantri S.
ilustrasi tumpukan buku © dok. pribadi/Tantri S.

Kedengarannya, “tsundoku” ini seperti kebiasaan yang nggak produktif, ya? Walaupun begitu, ada beberapa manfaatnya juga, kok!

1. Sebuah studi membuktikan bahwa anak-anak yang tumbuh di rumah dengan dikelilingi 80 sampai 350 buku menunjukkan kemampuan membaca, numerik, dan menggunakan teknologi komunikasi informasi yang lebih baik saat sudah dewasa.

Saya rasa kelebihan-kelebihan ini berkaitan dengan hobi membaca, ya. Walaupun begitu, saya memahami benang merahnya, kok!

Pada akhirnya, jumlah buku tak terbaca yang dimiliki pelaku “tsundoku” memang masih jauh lebih banyak daripada jumlah yang sudah dibaca. Walaupun begitu, mengoleksi buku juga memberikan akses terhadap bacaan yang lebih besar kepada anak.

Anak yang terpapar bacaan sejak dini sudah pasti punya kemungkinan lebih besar untuk mengembangkan hobi membaca daripada mereka yang harus pergi ke perpustakaan kota terlebih dahulu untuk mendapatkan sebuah cergam.

2. Melalui buku larisnya yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, ahli statistik bernama Nassim Nicholas Taleb menyebut orang yang terbiasa dikelilingi buku memiliki hidup yang lebih “kaya”, karena hal itu membuat mereka selalu teringat atas hal-hal yang belum mereka ketahui.

Jadi, maksudnya orang-orang yang merasa sudah berilmu akan cenderung berpuas diri dan merasa tak perlu untuk mempelajari hal baru lagi.

Sementara itu, orang-orang yang punya banyak buku belum terbaca akan selalu sadar diri kalau mereka belum cukup ilmu dan karenanya akan terus mengejar pengetahuan baru.

3. “Tsundoku” juga bisa mendatangkan kepuasan dari memiliki objek. Mengoleksi buku bisa memberikan rasa bersemangat dan penasaran karena mengetahui ada jutaan pengetahuan dan cerita menarik di luar sana yang menunggu untuk ditemukan.

Menemukan buku dengan cerita bagus itu kadang rasanya kayak nemu harta karun, kan? Mungkin itulah alasan kita semua “kegendam” diskonan buku atau betah berlama-lama di perpustakaan.

Kita ingin mendapatkan“euforia” yang pernah kita rasakan saat nemu cerita bagus. Secara tak langsung, kita lalu mengasosiasikan beli buku dengan sensasi tersebut.

Sisi Negatif “Tsundoku”

ilustrasi tumpukan buku © dok. pribadi/Tantri S.
ilustrasi tumpukan buku © dok. pribadi/Tantri S.

Kalau ada sisi positif, tentu ada juga sisi negatif. Semua hal di dunia ini memang begitu. Nah, berikut ini beberapa sisi negatif “tsundoku”.

1. Membeli banyak buku yang pada akhirnya tidak pernah dibaca merupakan sumber pengeluaran yang tidak perlu. Kebiasaan ini bisa mengarah ke masalah finansial.

Beneran, lho! Mengoleksi buku memang relatif lebih positif daripada buang uang buat rokok atau baju mahal yang cuma dipakai sekali. Walaupun begitu, kebiasaan seperti ini juga perlu dikendalikan.

Keputusan untuk beli buku diskonan perlu dipikirkan matang-matang. Apalagi kalau isi dompet tergolong ngepas. Ada budget-nya atau tidak? Ada kebutuhan yang lebih penting atau tidak? Bakal mengurangi tabungan bulanan atau tidak?

Sama seperti semua hobi lain yang memerlukan uang, “tsundoku” pun bisa bikin miskin kayak judi online kalau sudah menjadi adiksi dan tidak dikontrol.

2. Menimbun buku tanpa pernah dibaca dapat menyebabkan berkurangnya space di rumah. Apalagi kalau bukunya tidak ditata dengan rapi. Kesannya rumah jadi berantakan.

Timbunan buku yang sering berantakan ini juga masih jadi masalah buat saya. Sudah ditata rapi dari siang sampai sore, beberapa hari kemudian dibaca lagi dan lalu malas mengembalikan ke tempat semula. Akhirnya, ya, jadi berantakan lagi.

Saya salut dengan solusi teman-teman kolektor buku untuk mengatasi kurangnya space ini. Jadi, mereka tetap menimbun buku baru, tapi buku yang sudah pernah dibaca langsung dijual lagi biar nggak makan tempat.

3. Melihat timbunan buku yang belum terbaca kadang membuat seseorang merasa tidak produktif. Akhirnya timbul rasa bersalah seperti orang yang memulai sesuatu, lalu berhenti di tengah jalan.

Kalau buat saya, rasa bersalah karena menimbun buku malah jadi kontrol agar tidak beli buku baru dulu. Kalau sudah membaca dua atau tiga buku dari timbunan, biasanya saya baru mengizinkan diri untuk beli buku baru.

Tentu pada akhirnya saya masih punya ratusan buku yang belum dibaca. Namun, saya rasa beli buku empat sampai lima bulan sekali masih lebih baik daripada beli buku tiap bulan.

4. Melihat timbunan buku yang belum dibaca bisa membuat seseorang merasa kewalahan dengan jumlah bahan bacaan yang harus diselesaikan. Pada akhirnya, hal ini bisa mengurangi kenikmatan membaca.

Ini ada benarnya juga. Sama kayak melihat daftar watchlist di Netflix, saking banyaknya pilihan, akhirnya justru membuat kita malas untuk memilih.

Resolusi tahunan buat membaca buku timbunan biasanya gagal total karena alasan ini. Melihat ratusan buku yang menunggu untuk dibaca, lalu ujung-ujungnya malah baca ulang buku favorit kita untuk kesekian kalinya.

Pada akhirnya, sebagian besar dari kita punya kebiasaan yang tidak beda jauh dari “tsundoku”. Meskipun bukan buku, pasti ada saja barang-barang yang kita kumpulkan tanpa dipergunakan semata untuk berjaga-jaga. Entah itu thinware bekas GoFood, “arsip nasional” film yang belum ditonton di Google Drive, atau screenshots yang tak kunjung disapu dari memori smartphone dengan alasan, “Siapa tahu nanti butuh”.

Intinya, semua hobi memang perlu dilakukan dalam batas wajar. Kalau masih wajar, manfaatnya bakal terasa. Kalau sudah berlebihan, efek negatifnya yang bakal kita dapatkan.

Sumber bacaan:

The Japanese Call This Practice Tsundoku, and It May Provide Lasting Benefits. Big Think
Tsundoku: The Art of Buying Books and Never Reading Them. BBC
Tsundoku, the Japanese Word for the New Books That Pile Up on Our Shelves, Should Enter the English Language. Open Culture
Books Are More Valuable to Our Lives than Read Ones. The Marginalian

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.