

Judul: Memoirs of a Geisha, Memoar Seorang Geisha
Pengarang: Arthur Golden
Format: Paperback, 489 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2002)
First Published: 1997 (AS)
Genre: Historical romance, drama
Latar Tempat: Yoroido, Senzuru, Kyoto, Amami, New York
Sinopsis
Kisah Sayuri bermula di desa nelayan miskin pada tahun 1929, ketika sebagai anak perempuan berusia sembilan tahun, dengan mata biru kelabu yang luar biasa, dia dijual ke sebuah rumah geisha terkenal. Tidak tahan dengan kehidupan di rumah itu, dia mencoba melarikan diri. Tindakan itu membuat dia terancam menjadi pelayan seumur hidup.
Saat meratapi nasibnya di tepi Sungai Shirakawa, dia bertemu Iwamura Ken. Di luar kebiasaan, pria terhormat ini mendekati dan menghiburnya. Saat itu Sayuri bertekad akan menjadi geisha, hanya demi mendapat kesempatan bisa bertemu lagi dengan pria itu, suatu hari nanti.
Melalui Sayuri, kita menyaksikan suka duka wanita yang mempelajari seni geisha yang berat; menari dan menyanyi; memakai kimono, makeup tebal, dan dandanan rambut yang rumit; menuang sake dengan cara sesensual mungkin; bersaing dengan sesama geisha memperebutkan pria-pria dan kekayaan mereka.
Namun ketika Perang Dunia II meletus, dan rumah-rumah geisha terpaksa tertutup, Sayuri, dengan sedikit uang, dan lebih sedikit lagi makanan, harus mulai lagi dari awal untuk menemukan kebebasan yang langka dengan cara-caranya sendiri.
Para Tokoh
Nitta Sayuri

played by: Zhang Ziyi (Crouching Tiger Hidden Dragon, House of Fying Daggers)
Gadis cantik bermata biru-kelabu yang dijual oleh ayahnya dan terpaksa menjalani kehidupan berat dalam sebuah okiya di Kyoto. Sayuri berusaha merintis jalannya sebagai geisha demi bertemu dengan seorang lelaki yang pernah ditemuinya.
Mameha

played by: Michelle Yeoh (Crouching Tiger Hidden Dragon, Tomorrow Never Dies)
Geisha populer namun baik hati yang membimbing Sayuri. Mameha terkenal karena kecerdasan dan kecantikannya yang elegan. Ia terus bersahabat dengan Sayuri sampai keduanya lanjut usia.
Hatsumomo

played by: Gong Li (Hannibal Rising, Miami Vice)
Dianggap sebagai salah satu geisha paling jelita di Gion. Perempuan mungil ini dikagumi sekaligus dibenci karena perangainya yang kejam dan kekanakan. Ia sering menjahati Sayuri karena merasa terintimidasi oleh potensi Sayuri.
Ketua Iwamura Ken

played by: Watanabe Ken (The Last Samurai, Letters From Iwo Jima)
Pengusaha karismatik yang ditemui Sayuri pada masa kanak-kanaknya. Pria berumur empatpuluhan ini berpembawaan menyenangkan dan tenang.
Presiden Toshikazu Nobu

played by: Yakusho Koji (13 Assassins, Shall We Dance?)
Nobu adalah partner bisnis sekaligus sahabat Ketua. Wajahnya cacat dan salah satu lengannya hilang sewaktu perang. Perangainya sangat buruk, tapi hatinya baik. Ia bersahabat dengan Mameha dan sangat mencintai Sayuri.
Hatsumiyo/Labu

played by: Kudo Yuki (Rush Hour 3, Blood: The Last Vampire)
Gadis yang meniti karier sebagai geisha bersama Sayuri. Gadis yang sangat polos dan baik hati. Karena ia belajar di bawah didikan Hatsumomo, Labu harus mengorbankan persahabatannya dengan Sayuri.
4 poin untuk:
Additional information/message
Interest Level
Review
Ide cerita Memoirs of a Geisha sebenarnya sederhana, bahkan cenderung klise. Tentang perempuan muda yang mengalami berbagai rintangan dan cobaan sebelum menemukan kebahagiaan. Sayuri si tokoh utama digambarkan memiliki kecantikan tak biasa dan berbagai kelebihan, dilengkapi kelemahan khas Cinderella. Tokoh-tokoh antagonis digambarkan seantagonis mungkin. Ibu dan Nenek dengan mulut tajam dan fisik buruk, sementara Hatsumomo yang cantik memiliki sifat jahat berlebihan ala sinetron Indonesia.
Tapi bukan berarti tak layak dibaca. Ini cerita historical fiction yang indah. Saya sendiri sudah membacanya ratusan kali (mungkin) sejak tahun 2005. Mengikuti perjalanan hidup Sayuri sebagai gadis kecil dari desa nelayan sampai menjadi perempuan bebas yang berhasil meraih cintanya sama sekali tak membosankan, karena ide cerita yang sederhana tersebut dipadukan dengan detil-detil ‘cantik’ yang memanjakan imajinasi. Latar budaya Jepang zaman dulu, atau lebih spesifik lagi budaya geisha yang gemerlapan sekaligus dramatis.

Dalam urusan romance, mengingat Sayuri jatuh cinta pada Ketua sejak masih anak-anak seharusnya ada semacam chemistry antara keduanya. Tapi saya justru merasakan chemistry pada Sayuri dan Nobu. Saya merasa sifat keduanya yang bertolak belakang namun saling menyayangi sangat serasi. Dialog mereka berdua selalu saya nanti-nanti. Sayang di filmnya porsi peran Yakusho Koji tak begitu banyak.
Filmya sendiri menyuguhkan sinematografi yang indah dengan para pemeran yang mumpuni. Perlu diketahui, aktor-aktris dalam film ini harus mengucapkan dialog mereka dalam bahasa Inggris berdialek Jepang. Padahal Gong Li dan Zhang Ziyi saat itu bahkan tak fasih berbahasa Inggris, apalagi Jepang. Saya tak paham apakah dialek Kyoto mereka bagus, tapi bagaimanapun saya salut pada upaya mereka. Apalagi mereka memang mempelajari berbagai seni geisha selama beberapa bulan sebelum syuting.

Saya tak bisa mengatakan film ini sempurna. Terlepas dari sinematografinya yang indah, saya masih menemui beberapa keganjilan yang menurut saya sangat ‘barat’. Ini misalnya:
1. Seorang gadis kecil berstatus pelayan pada tahun 1930-an tidak mungkin menunjukkan bibirnya kepada seorang pria terhormat sambil berkata “Now I’m a geisha, too.”

Pada saat itu perilaku tersebut dianggap lancang di belahan bumi timur manapun.
2. Makeup artist Memoirs of a Geisha sengaja mendandani para pemeran Sayuri, Mameha, Hatsumomo, dan Labu dengan tatanan rambut sesuai karakter masing-masing. Sayuri yang cantik alami dengan sanggul sederhana/ikatan rambut biasa, Mameha yang elegan dengan rambut terurai yang disampirkan di bahu, Hatsumomo si pemberontak dengan tatanan rambut yang selalu tampak sedikit berantakan (serta kimono merah untuk menonjolkan kepribadian apinya), dan Labu yang selalu ingin tampak menonjol dengan tatanan rambut rumit serta makeup tebal.

Kenyataannya geisha selalu memakai model sanggul yang sama, bahkan sampai sekarang (setidaknya di film dokumenter tentang geisha yang saya tonton begitu). Lagipula dengan tatanan rambut seperti yang ditampilkan di film, buat apa mereka diharuskan tidur memakai takamakura?
Satu hal yang sangat saya sadari saat membaca novel ini adalah besarnya penghargaan orang Jepang terhadap suatu profesi. Bahkan profesi geisha yang sejatinya hostess pun dijalankan dengan integritas dan profesionalisme tinggi. Perhatikan saja betapa banyaknya kesenian dan ritual yang harus dikuasai seorang geisha. Selain itu para geisha juga memegang teguh kode etik untuk merahasiakan ‘isi dapur’ mereka, persis seperti ucapan Sayuri. Bahkan Iwasaki Mineko, mantan geisha yang menjadi narasumber utama Arthur Golden dalam penulisan novel ini, dikecam habis-habisan karena membocorkan ‘sisi internal’ kehidupan geisha.
Membicarakan Memoirs of a Geisha membuat saya teringat film dokumenter tentang geisha yang dibuat Liza Dalby. Ia adalah antropolog Amerika yang sempat menjadi geisha untuk bahan penelitian dan menjadi content supervisor bagi novel maupun film Memoirs of a Geisha. Film tersebut menampilan kehidupan para geisha modern dan tanggapan masyarakat Jepang terhadap profesi tersebut. Dari sana jelas terlihat kalau orang Jepang memang menganggap dunia geisha itu sekretif dan terpisah. Saat seorang wanita diminta menanggapi kegemaran suaminya mengunjungi distrik geisha, mungkin dia akan menjawab bangga, karena hal tersebut menunjukkan kemampuan finansial dan prestasi tertentu (tak semua laki-laki diizinkan menjadi pelanggan geisha). Mungkin saja sebenarnya ia merasa tak nyaman dengan hal itu (Kudo Yuki, pemeran Labu mengatakan bibinya selalu sakit kepala sejak pamannya memelihara geisha), tapi ia akan menutup mata karena mengunjungi geisha yang prestisius dan elegan tak dapat disamakan dengan berselingkuh.
Saya juga menyadari betapa besarnya komitmen wanita-wanita modern yang memutuskan menjadi geisha. Karena dengan semakin luasnya lapangan pekerjaan bagi wanita, semakin sedikit wanita yang mau menekuni profesi geisha. Tapi ini tak membuat para pemilik okiya menurunkan standar mereka dalam menerima calon geisha. Hanya calon terbaik dan paling berkomitmen yang bisa terpilih menjadi geisha magang. Apalagi para pelamar ini memilih profesi geisha karena panggilan hati, bukan karena kesulitan ekonomi. Bahkan banyak di antaranya yang juga berprofesi sebagai mahasiswa, model, atau penari profesional.
Sejarah Kemunculan Geisha
Geisha berasal dari kata ‘gei’ (seni) dan ‘sha’ (pelaku). Berbeda dari anggapan sebagian besar orang non-Jepang, pada dasarnya geisha adalah seniman merangkap penghibur. Meskipun banyak di antaranya yang memberikan pelayanan seksual, menjadi simpanan, atau memperdagangkan keperawanannya, sebenarnya ini bukanlah inti profesi geisha. Apalagi di zaman modern seperti ini. Seorang geisha mungkin bersedia memberikan layanan lebih atau menjadi simpanan, tapi ini adalah urusan pribadi si geisha yang tak dapat dicampuri oleh pemilik okiya tempatnya berlatih atau geisha senior yang menjadi pembimbingnya. Lagipula, para geisha memang dilatih dengan keras untuk menjadi seniman yang mumpuni.
Geisha pada mulanya adalah pria penghibur. Keberadaan mereka tak lepas dari oiran, aktris panggung merangkap PSK. Peran geisha di sini adalah menyajikan hiburan musik, tarian, atau sekedar membacakan puisi untuk para pria yang sedang menunggu giliran untuk mendapatkan pelayanan oiran.
Kemudian para odoriko (gadis penari berusia belasan tahun, beberapa di antaranya mempraktikkan prostitusi) yang sudah melewati masa remaja mulai menyebut diri mereka geisha. Lalu seorang PSK bernama Kikuya, dengan kepiawaiannya menyanyi dan memainkan shamisen mulai menjalankan tugas menghibur seperti geisha-geisha pria. Sejak itu geisha wanita menjadi semakin populer, membuat keberadaan geisha pria maupun oiran makin tersisih.
Tahapan Menuju Geisha

Dalam novel maupun film, dijelaskan tahap-tahap yang harus dilalui sebelum menjadi geisha. Perlu diingat bahwa Gion, tempat Sayuri dilatih sebagai geisha merupakan distrik geisha kelas satu yang dikenal karena kesempurnaan tradisinya. Jadi tak heran kalau aturan yang diterapkan pada para geishanya juga lebih kaku dibandingkan dengan distrik geisha lain.
Maiko
Maiko adalah sebutan bagi geisha magang di daerah Kyoto dan sekitarnya. Mereka umumnya anak perempuan berusia 3-18 tahun yang menjalani pelatihan sebagai geisha. Tidak semua orang yang ingin menjadi geisha harus memulai sebagai maiko sejak usia balita. Tapi biasanya geisha yang melalui tahap ini dianggap memiliki status yang lebih tinggi karena dengan lamanya pelatihan yang ditempuh diharapkan mereka memiliki kecakapan yang lebih. Maiko memakai kerah merah dan biasanya berdandan dalam warna-warni yang lebih menyolok daripada yang dipakai geisha.
Mizuage
Secara etimologis berarti ‘memasukkan/meletakkan air’. Mizuage adalah tahap memasuki kedewasaan yang dijalani seorang maiko. Sebelum tahun 1959 ketika prostitusi dilarang, ritual mizuage dibiayai oleh seorang sponsor dan selanjutnya sponsor tersebut berhak mengambil keperawanan si maiko. Saat hilangnya keperawanan si maiko inilah yang sesungguhnya disebut mizuage. Ritual mizuage saat ini ditandai dengan pemotongan ujung rambut si maiko saja.
Mengganti Kerah
Setelah melalui mizuage, maiko menjalankan ritual mengganti kerah. Pergantian kerah merah menjadi kerah putih menandakan beralihnya seorang maiko menjadi geisha profesional.
Geisha/Geiko/Geigi
Geisha senior yang sudah diperbolehkan menjalani profesi secara penuh. Geisha dibayar dengan tarif yang jauh lebih tinggi daripada maiko. Mereka diperbolehkan melatih maiko, menghibur tamu tanpa pendamping, dan memiliki danna (penyokong hidup, semacam suami tak resmi). Sebutan geiko berlaku bagi para geisha di daerah barat, terutama Kyoto.
aaa..jd mas golden tu dpt dr narasumbrnya lgsg,geisha asli..hoah..kren
jd tau bnyk ni,mksh yak
LikeLike
Sama2. Makasih udah mampir ya.. 😀
LikeLike
kereeen
LikeLike
terimakasih atas ulasan yang singkat dan sangat membantu saya untuk penyusunan tugas akhir saya
LikeLike
Wah, sama2. Seneng bisa membantu 🙂
LikeLike