
Judul: Subject: Re
Penulis: Novita Estiti
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 292 hal.
Penerbit: Gagas Media (2007)
First Published: 2004
Genre: romance
Cerita
Nina dan Yudha. Dua orang yang senantiasa galau dalam kebosanan menjalani hidup. Mereka menemukan soul mate dalam diri satu sama lain, justru di saat masing-masing sudah terikat.
Perjalanan cinta mereka terangkum dalam rangkaian email dan chatting. Di antara depresi dan keputusasaan, mereka berusaha menemukan kebahagiaan bersama.
2 Points for:
Level of Interest
My Review
It’s a depressing book. Membaca buku ini barangkali sensasinya sama seperti membaca Norwegian Wood (katanya pak RT GRI Malang, Alex Wildan, hakakakak). Ceritanya menyebalkan dan kedua tokoh utamanya sangat, sangat menyebalkan. Lalu kenapa aku memberi buku ini lima hati? Dan masih aku baca berulang-ulang selama delapan tahun ini.
Pertama: Karena penyampaiannya sangat unik, melalui rangkaian email dan chatting di YM. Jauh sebelum Ika Natassa muncul dengan Twivortiare yang ditulis lewat rangkaian tweets, Novita Estiti sudah membuat gebrakan ini. Dan cara ini memang membuat cerita Yudha dan Nina mengalir.

Konflik yang terjalin pun bersumber dari hal-hal kecil, dan dalam kehidupan sehari-hari memang seperti itu. Orang pacaran bertengkar seringkali karena perkara-perkara sepele. Bukan karena tragedi ala drama seperti perselingkuhan.
Kedua: Karena menurutku Nina dan Yudha adalah karakter yang terasa nyata. Mereka memang tokoh yang sangat negatif. Dua orang ini sinis (dalam artian suka ngatain orang), senantiasa mengeluh, tidak pernah mensyukuri kehidupan mereka yang sebenarnya cukup sempurna. Punya bakat dan prestasi di bidang seni, punya pekerjaan bagus, pasangan yang baik banget dan mencintai mereka.

Tetapi apa yang mereka keluhkan kadang mudah kita mengerti. Ucapan dua tokoh ini berkali-kali membuatku berkata “Ah, aku juga gitu.”
Ketiga: Dalam buku ini banyak terdapat quote-quote bagus. Misalnya: “Mungkin manusia memang tak berhak atas segala yang ia inginkan, karena itu ia selalu dikelilingi oleh hal-hal yang tak diinginkannya.” atau “The best part of breaking up is when we’re making up.” atau “Bahagia itu apa? Aku tidak tahu bahagia. Kalaupun nanti datang di dalam hidupku, aku juga takkan mengenalinya karena tak pernah tahu.”


Keempat: Guilty pleasure. Yup, membaca pemikiran-pemikiran gelap Nina dan Yudha terasa seperti guilty pleasure, di mana aku bisa membebaskan diri sejenak untuk negative thinking dan menjadi picik.

Pandangan mereka tentang bunuh diri, seks, relationship, pekerjaan, dan segala hal lainnya terasa jujur, meskipun memang ‘sadis’. Kita semua pasti punya pemikiran seperti itu, kan. Hanya saja kita menekan pemikiran negatif itu habis-habisan karena tahu itu bukan hal yang baik.
Kelima: Nambah pengetahuan. Percakapan Nina dan Yudha yang ngalor ngidul itu membuat aku kenalan dengan berbagai hal baru. Buku, musik, film, bahkan makanan.

Aku kenal The Magnetic Fields, The Year of Living Dangerously, Satanic Bible, Sylvia Plath, dan Djenar Maesa Ayu dari sini. (Maklum bacanya pas baru masuk kuliah)
Intinya novel ini menyuguhkan jalan cerita sangat biasa tapi menampilkan dialog-dialog yang ‘nendang’. Novita is great with words. Sayang sekali aku tidak menemukan novel karangannya yang lain. Dan aku habis kepoin blog-nya Novita Estiti, ternyata dia memang sudah nggak berminat nulis novel lagi. But she’s a happy housewife, now. Not a depressed woman anymore. Good for her.
Trivia:
- Dengar-dengar penulisnya sempat protes novelnya dilabeli chicklit oleh Gagas Media.
- Yang ini sebenarnya bukan trivia. Aku cuma berpikir kalau novel ini kisah nyata, gara-gara halaman Thanks to: paling depan yang dipersembahkan kepada orang-orang bernama sama dengan tokoh di dalam buku. Dan tokoh Nina ini mirip sekali dengan Novita (Gosip ajah 😀 Hasil dari kepoin blog-nya)