

Judul: Questioning Everything! Kreativitas Di Dunia Yang Tidak Baik-baik Saja
Penulis: Tomi Wibisono & Soni Triantoro (editor)
Bahasa: Indonesia
Format: Paperback 358 hal.
Penerbit: Warning Books, INSISTPress, & Pojok Cerpen (2016)
“Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan hasil rakitan dari rangkaian wawancara awak majalah WARN!NG dengan 27 tokoh, yang oleh buku ini dijuluki “insan-insan kreatif.” Para tokoh itu berasal dari medan kreativitas yang beragam: lima penulis; enam belas musisi; empat sutradara film; dan dua perupa. Pendeknya, mereka yang sehari-hari bergumul dengan kreativitas atau proses penciptaan. Mereka juga berasal dari kota yang berbeda, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan sebagainya. Bahkan, beberapa narasumber berasal dari dari mancanegara: Inggris, Perancis dan Amerika. Pilihan para narasumber itu tak bisa dilepaskan dari karakter WARN!NG yang banyak mengulas soal musik, film, buku dan isu sosial serta politik.
-Dr. Budi Irawanto, Dosen Ilmu Komunikasi UGM & Direktur Jogja Asian-Netpac Film Festival (JAFF)
Level of Interest
My Review
Buku ini berisi kumpulan wawancara terbaik yang terbit di majalah Warning! Obrolan-obrolan mencengangkan, membuka mata, sampai yang menginspirasi ada di sini. Saya belum pernah baca satu edisi pun Warning! (kudet memang), jadi lumayan kaget saat membaca bagaimana blak-blakannya hasil wawancara yang diramu dua editornya di buku ini.
Kumpulan wawancara ini menampilkan para seniman yang terkenal kontroversial, anti-mainstream, dan kritis macam Remy Silado, Nia DiNata, Puthut EA, dan Jerinx SID. Sedikit aneh bagi saya adalah nama Sheila On 7 yang terselip di antara band-band seperti Begundal Lowokwaru dan Banda Neira. Pikir saya, apanya Sheila yang anti-mainstream? Belakangan saya baru tahu kalau band ini sudah hijrah ke jalur indie. Wawancara dengan Adam, personel sekaligus manajer Sheila On 7 ini malah jadi salah satu yang paling berkesan buat saya di buku ini. Begitu blak-blakan, tanpa polesan seperti wawancara televisi dan majalah pada umumnya.
Tapi kebanyakan hasil wawancara yang dituangkan ke dalam buku ini memang seperti itu. Blak-blakan. Kadang narasumber tak sungkan menunjukkan arogansi saat menjawab pertanyaan yang diajukan. Tapi kalau saya boleh komentar sih, sah-sah saja mereka merasa berhak buat bersikap arogan. Toh mereka memang punya karya, sukses pula. Toh mereka tetap jujur dengan pemikiran dan kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
Saya akan mengutip sedikit hasil wawancara yang paling mengena buat saya, supaya kalian nggak bertanya-tanya seperti apa serunya membaca buku ini.
“Sudah mahasiswa, kok, bacanya teenlit. Mbok yang rada berbobot…Ternyata kita ini memang masih terbelakang. Kita ini ternyata baru bebas buta huruf, belum bebas membaca. Dikasih bacaan yang berat masih tidak kuat.”
-Remy Silado
“Jaman sekarang banyak banget anak SD yang skill bermusiknya jauh di atas kami. Apakah itu menjamin mereka semua bisa sebesar SID?”
“Yang namanya punk rocker kalau ke mana-mana tebar senyum, sopan, rajin ke salon dan ramah, ya lebih baik jadi pemain sinetron aja, mas. Punk supposed to be a threat!”
“Jangan perlakukan SID seperti Noah atau apalah. Yang kami jual bukan tampang tapi hal-hal yang lebih besar dari itu. Saya terus terang muak melihat fans SID yang menyukai SID karena alasan-alasan superfisial (ganteng, macho, dll.) tapi nggak paham lirik atau perjuangan SID. We are much fukkin bigger than tattoos and pretty fukkin faces!”
-Jerinx, drummer Superman Is Dead
“Dulu yang Sheila On 7 diajak koar-kora anti pembajakan itu kan cuma kepentingan semua. Kita ini dimanfaatkan untuk sesuatu yang nggak mampu dilakukan.”
-Adam, Sheila On 7
Salah satu poin menarik adalah pendapat Remy Silado sebagai saksi zaman-zaman PKI yang berbeda 180 derajat dari Joshua Oppenheimer, sutradara Senyap dan Jagal. Terlepas dari kenyataan bahwa PKI dijadikan kambing hitam semasa orde baru, Remy ingin masyarakat melihat ‘prolog dari seluruh rangkaian peristiwa G 30S’, alasan kenapa partai komunis ini lantas jadi musuh negara nomor satu. Intinya, Remy yang mengaku sempat menjadi korban ‘kebringasan’ PKI tidak bersimpati terhadap partai tersebut.