Buku ini saya baca pertama kali dalam bentuk ARC (advanced reader copy) dari Netgalley. Ceritanya coba-coba jadi beta reader novel yang baru terbit.
Pendapat saya tentang buku ini pada waktu itu dan sekarang ternyata cukup berbeda. Baca buku sambil diburu-buru kewajiban untuk memberi ulasan dan baca dengan pace yang kita tentukan sendiri itu ternyata memang lain sensasinya.
Jadi, saat ini Anda sedang membaca updated version dari original review saya. Sila disimak kalau lagi gabut kayak saya saat ini.

Judul: Born To Be Wilde (The Wildes of Lindow Castle #3)
Penulis: Eloisa James
Bahasa: Indonesia
Format: ebook, 384 hal.
Penerbit: Avon (2018)
Genre: fiksi, historical romance, drama
Cerita
Dikutip dari Gramedia.com:
Bagi si cantik dan cerdik Lavinia Gray, hanya ada satu hal yang lebih buruk daripada harus meminta Parth Sterling menikahinya: ditolak pria itu.
Dikenal sebagai bujangan terkaya di Inggris, Parth tidak mau menikahi wanita yang begitu sembrono dan sangat terobsesi pada mode seperti Lavinia; dia menginginkan pengantin yang lebih sesuai.
Tapi ketika Parth mengetahui kondisi Lavinia, ia menawari gadis itu untuk mencarikan suami baginya. Bahkan ia akan mencarikan pangeran.
Seperti biasa, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan Parth. Tapi semakin banyak waktu yang dihabiskan nya dengan Lavinia yang memikat, semakin dirinya bertanya-tanya. Kenapa wanita yang begitu salah itu terasa begitu pas di pelukannya?
2 Points:
โ Story
โ Setting
โ Characterization
โ Writing style
โ Moral/interesting trivia
Level of Interest
๐๐๐๐๐
Review
Sebenarnya saya paling malas sama sampul buku bergambar mas-mas “sumuk” begini. Awalnya, saya sengaja pasang cover Indonesia-nya sebagai featured image di postingan ini biar nggak terlalu rikuh. Tapi, ARC yang saya baca memang versi yang ini.
Berikut ini adalah pendapat awal saya di original post.
Secara keseluruhan, saya anggap buku masih enak dinikmati. Bisa dibaca sekali jalan, karena alurnya tidak terlalu lambat juga. Tetapi tidak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan. Bisa dikatakan, Born To Be Wilde ini tertolong karena chemistry di antara Lavinia dan Parth. Sementara kisah Betsy dan Jeremy justru lebih sukses dalam menarik minat saya untuk membaca buku selanjutnya.
Nah, selanjutnya adalah pendapat saya tentang Born to Be Wilde saat ini.
Born To Be Wilde menceritakan Parth, karakter yang kurang lebih mirip dengan Lucius Felton di Much Ado About You (Essex Sisters #1), Tom Severin di Chasing Cassandra (The Ravenels #6), atau Harry Rutledge di Tempt Me at Twilight (The Hathaways #3).
Belio ini bukan seorang bangsawan, tetapi berhasil meraih status sebagai pria terhormat lewat kekayaan yang dikumpulkan dari nol. Lagipula, status sebagai anak angkat Duke of Lindow bikin kaum bangsawan Inggris segan kepadanya.
Meskipun ganteng dan tajirnya level sultan, Parth punya sisi inferior karena merasa bukan bagian dari Lindow.
Sementara itu, Lavinia Gray, si female lead adalah sohib dua tokoh utama di buku pertama dan kedua. Dia punya rasa percaya diri yang tinggi karena berstatus bangsawan, jelita, dan banyak pengagumnya. Namun, harga dirinya runtuh ketika dia kehilangan seluruh harta keluarga dan harus menggaet pria kaya sesegera mungkin.
Harga diri Lavinia makin anjlok saat Parth menolak “lamarannya”. Soalnya, pada novel-novel sebelumnya, Lavinia sering mengejek Parth dengan julukan-julukan kekanakan macam “Appalling Parth”.
Cerita selanjutnya bisa ditebak. Lavinia mulai menyimpan perasaan pada Parth, sementara Parth ternyata sudah lama naksir duluan.
Pendapat saya tentang tidak adanya hal baru yang ditawarkan Born to Be Wilde masih sama. Historical romance seperti ini memang formulaic. Tapi kalau chemistry dua tokoh utamanya bagus, keseluruhan cerita bisa bikin baper.
Nah, model tokoh utama seperti Parth dan Lavinia ini memang favorit saya. Kalau dulu agak malas bacanya, sekarang saya demen banget sama judul ini. Saya bahkan sudah re-read Born to Be Wilde ini beberapa kali.
Sebagai tokoh utama, Lavinia mengalami perkembangan karakter yang cukup besar. Awalnya cuma mbak-mbak sosialita tukang belanja yang dangkal, perlahan-lahan dia berubah jadi fashion designer yang ulet dan passionate terhadap profesinya.
Dia juga banyak introspeksi atas perilakunya yang kurang terpuji terhadap Parth selama bertahun-tahun. Dia mengakui kesalahan-kesalahannya dengan sentuhan self-mocking pula.
Tapi, titik perkembangan karakter Lavinia yang paling saya apresiasi adalah saat dia menerima diri sendiri seutuhnya.
Kalau soal Parth, tokoh utama pria yang seperti ini memang favorit saya. Tapi, saya juga cukup puas melihatnya kalang kabut saat Lavinia didekati pria-pria berprospek bagus.
Bagian ketika dia merasa bersalah dan desperate maksimal saat dicuekin Lavinia juga bikin puas.
Intinya, pasangan ini memang cocok untuk satu sama lain. Romansa mereka manis banget buat saya.
Minus Second Couple Trope yang Jadi Ciri Khas Eloisa James
Tidak seperti kebiasaan Eloisa James, Born To Be Wilde ini nggak dibumbui romansa second couple yang sering membuat saya kepingin skip halaman.
Ada dua karakter yang berpotensi sebagai second leads, yaitu Betsy dan Jeremy. Tapi kehadiran mereka cuma buat perkenalan untuk buku selanjutnya, Say No to The Duke.
Satu-satunya kekurangan buku ini cuma dialog Lavinia dan karakter-karakter lain yang cukup dragging di beberapa bab. Bagi saya, Eloisa James memang punya kecenderungan untuk menyelipkan terlalu banyak dialog yang tidak penting untuk perkembangan cerita jika dibandingkan dengan Lisa Kleypas dan Julia Quinn.
Buku Ketiga dari The Wildes of Lindow Castle Series






Born to be Wilde merupakan bagian dari The Wildes of Lindow Castle series-nya Eloisa James. Total ada tujuh buku di series ini, termasuk prekuel yang berjudul My Last Duchess.
Series ini berpusat pada romansa keluarga Duke of Lindow. Nama keluarga mereka adalah Wilde, sesuai dengan reputasi mereka yang juga wild.
Model-modelnya macam keluarga Hathaway-nya Lisa Kleypas yang juga dicap eksentrik dan scandalous oleh kaum bangsawan Inggris. Padahal, aslinya nggak scandalous-scandalous amat. Karakter-karakternya cuma rebel dikit kalau dilihat dari kacamata pembaca zaman sekarang.
The Wildes of Lindow Castle dibuka dengan Wilde in Love yang menyoroti kisah cinta Alaric dan Willa. Sementara Born to Be Wilde ini adalah buku ketiga. Terus, prekuelnya tentang apa?
Buku itu menyoroti kisah cinta Duke of Lindow alias bapaknya Alaric, North, dan Parth.
Trivia
Born to Be Wilde dan semua buku dalam series The Wildes of Lindow Castle berlatar Georgian Era.
Suka bingung dengan era di novel historical romance? Sama, saya juga. Karena itulah, mending kita cari tahu bersama faktanya.
Katanya, Georgian Era itu meliputi masa pemerintahan George I, George II, George III, George IV, sampai William IV (1714–1837).
Ada juga era Edwardian (1901–1910/1919), Medieval (938–1485), Regency (1811โ-1820), Victorian (1832–1901) dan masih banyak lagi. Macam-macam era ini biasanya disebut dalam konteks fashion, politik, atau kesenian.
Latar waktu Born to Be Wilde adalah 1780. Ini masih termasuk awal Georgian Era. Fashion abad 18 ini lebih gaudy, kayak di film The Duchess (2008), Marie Antoinette (2006), atau The Favourite (2018).
Kaum perempuan pakai rok megar dengan petticoat bervolume dan wig yang kayak sarang burung itu. Sementara kaum prianya pakai rambut palsu kayak hakim di film-film barat. Bajunya coat penuh sulaman sepanjang lutut, terus pakai kaos kaki panjang. Jadi, cover bukunya nggak sesuai sama fashion kaum bangsawan yang diceritakan di dalam cerita.
Terus, fashion kayak Bridgerton sama Pride and Prejudice itu dari era yang mana?
Sepertinya, dua judul itu berlatar Regency Era. Sebenarnya, Regency ini memang masih masuk periode Georgian, tapi lebih sering disebut terpisah.
Regency Era berlangsung selama kepemimpinan George IV sebagai Prince Regent.
Masih ingat kisah George III yang menderita gangguan kejiwaan di Bridgerton: Queen Charlotte? Nah, dia ini bapaknya George IV.
Karena George III tidak dapat menjalankan tugas, sang putra mahkota menjadi pemimpin pengganti sampai Raja wafat.
Fashion di era Regency ini cenderung lebih simpel. Para prianya mulai meninggalkan wig dan memilih coat yang modelnya pendek di depan dan panjang di belakang.
Mereka juga biasa pakai sepatu boots dan top hat. Gayanya persis Mr. Darcy dan Mr. Bingley.
Kalau perempuannya lebih suka gaun model yang tidak terlalu mengembang dan high-waisted.
Sekian updated review saya untuk novel Born to Be Wilde. Semoga bermanfaat buat yang baca.
Sumber bacaan:
Edwardian Era. PBS
Historical Romance. Wikipedia
The Georgian Era. Royal Museums Greenwich
The Wildes of Lindow Castle Series by Eloisa James. Goodreads
Wilde Sang Pemikat (Born to be Wilde) Karya Eloisa James. Gramedia



