Judul: Pesta Jangkrik
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 71 hal.
Penerbit: Grasindo (2001), pertama terbit tahun 1978
Genre: fiksi, sastra, anak-anak, slice of life, drama keluarga
Sinopsis
Karti adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara yang cerdas dan banyak akal.
Meskipun hidup sederhana di desa, hari-harinya sebagai siswi kelas 5 SD selalu diwarnai keceriaan.
Karti sangat menyayangi keempat adik perempuannya yang masih kecil. Walaupun begitu, ada saja masalah kecil yang membuat rumah mereka ramai.
Untungnya, Karti selalu punya akal untuk mendamaikan keadaan.
5 Points for:
☑️ Story
☑️ Setting
☑️Characterization
☑️ Writing style
☑️ Interesting trivia
Level of Interest
💗💗💗💗
Review
Ini buku kesukaan saya waktu SD. Bacanya di perpustakaan sekolah yang koleksi bukunya seadanya.
Buku ini adalah bagian dari seri Sastra Anak-Anak Grasindo. Target umur pembacanya adalah 11–12 tahun, sekitar kelas 5 atau 6 SD.
Selain Pesta Jangkrik, Arswendo juga menulis Keluarga Bahagia, Dewa Mabuk, Kadir, dan Darah Nelayan yang juga masuk dalam seri Sastra Anak-Anak.
Jadi bagaimana kesan saya setelah membaca buku ini di usia 30-an? Ternyata Pesta Jangkrik masih menarik buat saya.
Bukunya jauh lebih tipis dari yang saya ingat. Ceritanya memang sederhana sekali, lebih tepat jika disebut slice of life. Soalnya, permasalahan yang dihadapi Karti, si tokoh utama langsung selesai di akhir setiap bab.
Cerita yang Senuansa dengan Keluarga Cemara
Cerita Pesta Jangkrik cukup mirip dengan Keluarga Cemara yang juga ditulis Arswendo. Latar tempat dan karakter-karakternya juga mirip.
Sebagai anak tertua yang masih sekolah, Karti jadi sering kebagian tugas mengurus adik-adiknya. Dia juga harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Walaupun begitu, Karti tetap tak kehilangan masa anak-anak. Dia masih bisa menikmati kesenangan-kesenangan kecil seperti wisata ke kebun binatang (meskipun harus menabung berbulan-bulan dan wajib mengajak adik-adiknya).
Karena menyoroti cerita ini dari sudut pandang orang dewasa di tahun 2024, saya jadi kasihan sama Karti. Kedua kakak lelakinya tidak pernah diceritakan membantu di rumah dan selalu marah-marah karena mengaku capek kerja. Mungkin mereka ikut menopang keuangan keluarga, tapi, kok, kedengaran egois sekali. Pulang ke rumah langsung tidur dan cuma ngomel kalau adik-adiknya ribut. Bantuin nenangin, kek!
Saya juga agak menyayangkan ayah dan ibu Karti yang ceritanya juga selalu marah-marah. Mungkin mereka punya sumbu pendek karena sudah puyeng mengatur rumah tangga setiap hari. Nah, siapa juga yang nyuruh punya tujuh anak?
Kalau membaca narasi Arswendo, tampaknya keluarga Karti tidak terlalu kesusahan. Mereka menggarap sawah milik sendiri, bisa memelihara banyak ayam, dan potong kambing buat pesta pernikahan (meskipun sesudahnya harus irit habis-habisan). Kayaknya, Karti nggak perlu jadi tukang cuci piring di warung kalau orang tuanya ikutan program KB yang lagi digalakkan Orde Baru saat itu.
Kisah Keluarga Sederhana di Desa pada Tahun 70-an
Kehidupan pedesaan yang ada di cerita ini digambarkan seperti kisah Upin dan Ipin, tapi di era yang jauh berbeda. Pasalnya, buku ini pertama kali terbit di akhir tahun tujuh puluhan. Ada gap pemahaman yang cukup terasa akibat perbedaan era di dalam cerita dan kehidupan nyata di tahun 2024. Tentu saya sulit membayangkan menu lengkap untuk satu keluarga berisi lima orang yang hanya menghabiskan biaya Rp150. Uang Rp50 aja sudah nggak pernah saya lihat.
Salah satu karakter di Pesta Jangkrik diceritakan menjadi pemulung puntung rokok, karena barang bekas ini bisa dijual lagi ke pengepul. Kalau sekarang, sepertinya puntung rokok nggak bakal laku dijual.
Selain karena setting waktunya terlalu lawas, banyak juga bagian cerita di Pesta Jangkrik yang tidak relatable bagi saya karena latar tempatnya di desa. Kalau nggak baca buku ini, saya mana tahu kalau jangkrik bisa dibakar kayak sate. Bapak saya cerita pernah makan ulat pohon jati saat tinggal di desa saja saya bergidik ngeri.
Otak Ayam Spesial yang Misterius
Selain memperkenalkan jangkrik sebagai bahan pangan alternatif, buku ini juga memperkenalkan hidangan otak ayam goreng yang diidam-idamkan dua adik Karti. Keduanya ribut gara-gara yang satu ingin menyembelih ayam peliharaan di rumah biar bisa makan otak goreng, sementara yang satu ngotot ingin ayamnya dipelihara sampai bertelur dulu.
Buat menengahi pertengkaran adik-adiknya, Karti membawa pulang “otak ayam” goreng dari warung. Ternyata, “otak” itu cuma tahu putih yang digoreng pakai minyak bekas ayam.

Jadi, Karti numpang goreng tahu di warung ayam. Adik-adiknya makan dengan lahap karena mereka nggak tahu bentuk otak ayam goreng yang sebenarnya itu seperti apa.
Nah, saya juga nggak paham otak ayam goreng ini hidangan seperti apa. Kalau otak sapi atau kambing mungkin masih bisa diganti tahu, ya. Otak ayam, kan, pasti kecil banget. Otak kalkun pun seharusnya nggak segede tahu kotakan. Dahlah, hal sekecil ini saja sampai saya pikir seharian.
***
Sekian ulasan saya untuk Pesta Jangkrik karya Arswendo Atmowiloto. Intinya, ini adalah cerita sederhana yang mudah dinikmati dan bisa memperkenalkan banyak hal baru kepada anak-anak. Sesuai target umur pembacanyalah.
Asal orang tua mau menjelaskan perbedaan latar tempat dan tahunnya dengan sabar, saya rasa buku ini masih bisa jadi bacaan yang bagus buat anak-anak zaman sekarang.


