Judul: Gelap-Terang Hidup Kartini (bagian dari Seri Buku Tempo: Perempuan-Perempuan Perkasa)
Penulis: TEMPO
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 148 hal.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (2018, cetakan kelima)
Bisa dibaca/didapatkan di: Gramedia Digital, offline stores Gramedia, online store penerbit Mizan
Genre: nonfiksi, sejarah
Sinopsis
disadur dari laman Mizanstore:
Hidup Kartini begitu singkat, 25 tahun. Namun gagasan-gagasan progresifnya tak lekang oleh zaman. Tulisannya menggambarkan perjuangan panjang di “ruang dalam” yang belum selesai sekalipun kemerdekaan di “ruang luar” sudah tercapai.
Kartini adalah kontradiksi: ia cerdas sekaligus lemah hati. Ia menyerap ide masyarakat Barat, tapi takluk pada adat. Ia membawa perjuangan perempuan pada fase yang baru, tidak sekadar menuntut pengakuan tapi juga mengklaim keberadaannya dalam kehidupan bangsa.
Kisah tentang Kartini adalah jilid perdana seri “Perempuan-Perempuan Perkasa” yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, April 2013. Serial ini mengangkat, mengupas, dan mengisahkan sisi lain kehidupan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki peran besar pada setiap zamannya.
Level of Interest
❤️❤️❤️❤️
Review
“Ibu kita Kartini, pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka…
Ibu kita kartini, putri jauh hari
penggalan lirik lagu “Ibu Kita Kartini” karya W.R. Soepratman
Putri yang berjasa se-Indonesia“
Bait di atas merupakan penggalan lirik salah satu lagu paling populer di Indonesia. Setidaknya setahun sekali, lagu ini akan dikumandangkan di stasiun televisi dan media massa lainnya.
Liriknya menunjukkan betapa besar jasa Kartini sebagai pahlawan nasional. Bahkan guru SD saya pun menggambarkan Kartini sebagai sosok yang luar biasa. “Kalau bukan karena Kartini, perempuan zaman sekarang nggak bisa sekolah,” katanya.
Pikir saya waktu itu, “Wah, hebat banget Bu Kartini.” Lalu, saya pun menanti penjelasan panjang Pak Guru soal Bu Kartini. Namun sampai bab tentang Kartini rampung dibahas di kelas, saya tidak menemukan sesuatu yang menjadikan Bu Kartini layak disebut “pendekar bangsa” atau “berjasa se-Indonesia”.
Jadi, Kartini kepingin perempuan bisa mengenyam pendidikan, tapi dia harus rela dipingit dan dinikahkan. Lalu langkah nyatanya apa?
Guru saya nggak memberikan penjelasan lebih detail. Saya pun kurang kritis sebagai murid. Jadilah Kartini pahlawan emansipasi wanita yang nggak jelas kiprahnya di kepala saya… selama puluhan tahun.
Nah, buku Gelap-Terang Hidup Kartini ini telah memberikan penjelasan yang jauh lebih layak atas kisah hidup dan jasa-jasa Kartini.
Gelap-Terang Hidup Kartini merupakan bagian dari Seri Buku Tempo: Perempuan-Perempuan Perkasa. Buku ini membahas hidup Kartini sejak anak-anak sampai meninggal dunia dengan runut.
Selain mengikuti riwayat Kartini, pembaca juga diajak untuk menyelami pemikiran-pemikirannya yang terangkum dalam rangkaian surat, kemudian dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang dan On Feminism and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903.
Lebih jauh, buku ini juga mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan banyak orang, termasuk saya. Kenapa harus Kartini yang dinobatkan sebagai ikon emansipasi? Kenapa bukan Dewi Sartika atau malah Malahayati yang menghalau armada Portugis dan Belanda dari perairan Aceh?
Buku ini juga membahas kepopuleran Kartini di Belanda, salah satu alasan dia lebih dikenal daripada tokoh-tokoh perempuan yang lain.
Kartini, Putri Bangsawan yang Lahir dari Rahim Perempuan “Jelata“
Kartini lahir dengan nama gadis Raden Ajeng Kartini. Dia adalah anak kelima sekaligus anak perempuan kedua Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Dia punya sepuluh saudara kandung.
Ayah Kartini menjabat sebagai bupati Jepara pada masa kolonial Hindia-Belanda. Ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah dan baru berusia 14 tahun saat dinikahi sang ayah.

Ngasirah adalah istri pertama Sosroningrat, tapi statusnya hanya garwo ampil alias selir. Ia melahirkan delapan anak untuk sang bupati.
Meskipun orang tuanya adalah kiai, Ngasirah tidak punya darah bangsawan. Karena itulah, Kartini tidak diperkenankan memanggilnya Ibu. Panggilan itu hanya bisa dia gunakan untuk istri sah Sosroningrat.
Ngasirah harus mlaku ndhodhok (berjalan sambil jongkok) jika berhadapan dengan Kartini. Melahirkan anak bangsawan tak membuatnya diperlakukan seperti perempuan terhormat. Tampaknya hal ini membuat Kartini muak. Kelak, dia meminta adik-adiknya untuk menyingkirkan tradisi mlaku ndhodhok jika berhadapan dengannya. Dia juga melarang adik-adiknya menggunakan bahasa krama alus saat berbicara dengannya.
Masa Kecil Kartini yang Tak Banyak Dibahas
Karena jarak umurnya berdekatan, Kartini sangat akrab dengan dua adiknya, Kardinah dan Roekmini. Kartini dan Kardinah dilahirkan oleh Ngasirah, sementara Roekmini adalah putri Raden Ayu Sosroningrat, sang garwa padmi.
Kartini menyebut trio mereka sebagai “het klaverblad” atau ‘daun semanggi’. Mereka adalah gadis-gadis muda yang aktif, sampai dijuluki “jaran kore” atau ‘kuda liar’ saking pecicilannya.

Kartini menganggap hari-hari di masa kecilnya dengan Kardinah dan Roekmini sebagai masa paling bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sebelum berusia 13 tahun, dia sudah masuk masa pingitan. Beberapa tahun kemudian, Roekmini dan Kardinah juga mulai dipingit.
Meskipun sedih tak bisa keluar rumah lagi, masa pingitan tak dirasa begitu berat oleh Kartini karena dijalaninya bersama Kardinah dan Roekmini.
Kartini menularkan hobi membacanya kepada Kardinah dan Roekmini. Surat kabar, majalah, sampai novel mereka “lahap” dengan mudah.
Hasrat membaca mereka selalu dipenuhi sang ayah dengan menyediakan bacaan terkini. Mereka cukup “dimanja”, dalam artian dibebaskan untuk mencicipi pendidikan dan bersenang-senang seperti remaja putri pada umumnya.
Sebenarnya, ayah Kartini tidak terlalu kolot. Dia sempat mengizinkan Kartini sekolah di Europeesche Lagere School, bahkan menginginkan Kartini menjadi guru. Namun, Kartini sendiri jatuh cinta pada sastra. Dia ingin menjadi seorang penulis.
Kartini mengatakan kalau dia hanya mencintai dua laki-laki di dunia ini. Mereka adalah Sosroningrat dan Sosrokartono.
“Hanya mereka yang bisa mengikuti jalan pikiran saya.”
potongan surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kol (1896)
Kartono adalah kakak Kartini yang dua tahun lebih tua. Sama seperti ayahnya, dia juga kerap “menghujani” adik-adiknya dengan bacaan.

Berkat Sosroningrat dan Kartono, Kartini dan adik-adiknya bisa belajar banyak meskipun mereka sudah tidak bisa bersekolah lagi. Mereka membaca berbagai topik, mulai dari sains, lokomotif, sampai politik Prancis.
Kartini sebagai Jurnalis dan Pemikir Feminis
Membaca kutipan-kutipan surat Kartini, terlihat jelas kalau dia adalah perempuan cerdas, berpikiran maju, dan kritis. Pemikiran-pemikirannya dijabarkan dengan runut dalam berbagai tulisan.
Selama dipingit, Kartini mengasah bakat menulisnya. Dia tak hanya getol berkirim surat. Dia juga menulis sejumlah artikel yang kemudian menarik perhatian kaum terpelajar Belanda.
Salah satu tulisan Kartini di usia 16 tahun bahkan diterbitkan di Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania). Saat itu, dia menulis laporan observasi tentang prosesi pernikahan etnis Koja di Jepara. Tentu dia tak bisa menerbitkan tulisan dengan namanya sendiri. Bisa jadi bahan gosip tetangga, dong! Jadi, jurnal tersebut dipublikasikan atas nama Sosroningrat.
Kartini—menggunakan nama pena Tiga Saudara—menjadi kolumnis di majalah De Echo yang berbasis di Yogyakarta. Tulisannya banyak dipuji di media massa.
Sembari jadi jurnalis, Kartini makin larut dalam gagasan-gagasan feminis. Pemikirannya makin berkembang sejak bersahabat pena dengan beberapa perempuan Belanda yang berjiwa progresif.
Korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh dari Negeri Kincir dibuka lewat surat kepada Marie Ovink-Soer, istri asisten residen Jepara. Marie adalah penulis novel remaja terkenal. Dia juga termasuk tokoh feminis dan Politik Etis terkemuka.
Saat Marie aktif sebagai penulis, feminisme tengah tumbuh subur di Belanda. Dia mengenalkan Kartini pada sastra feminis Belanda dan seni lukis.
Bisa jadi, pandangan negatif Kartini tentang poligami juga “dipinjam” dari Marie. Soalnya, Marie pernah mencela adat perjodohan dan poligami di Jawa dalam salah satu tulisannya.
Lalu, ada Estelle “Stella” Zeehandelaar, seorang novelis dan aktivis yang menanggapi iklan Kartini di majalah De Hollandsche Lelie. Saat itu, Kartini sedang mencari sahabat pena. Sama seperti Kartini, Stella juga rajin menulis untuk jurnal-jurnal perempuan yang agresif.
Melalui Stella, Kartini mengenal “adeldom verplicht”. Intinya, ini adalah status bangsawan yang disertai tanggung jawab besar. Sama seperti kata om dan tantenya Peter Parker, “With great power, comes great responsibility.”
Kartini berpendapat kalau kaum bangsawan tidak seharusnya ongkang-ongkang kaki di tengah feodalisme. Mereka punya tanggung jawab lebih untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Hal itu bisa dimulai dari pendidikan. Kaum bangsawannya harus terdidik dulu, baru upaya mencerdaskan bangsa bisa dirintis.
Makin banyak masyarakat yang terdidik, nanti bakal makin banyak orang yang sadar kalau perempuan juga perlu dididik. Pada akhirnya, perempuan bisa menjadi bagian dari masyarakat dengan porsi peran yang sama dengan kaum pria.
Hubungan dengan Stella lantas membuka jalan bagi Kartini untuk berkenalan dengan tokoh feminis dan Politik Etis seperti J.H. Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri. Kelak, J.H Abendanon yang menerbitkan buku kumpulan surat Kartini menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dibebaskan dari Pingitan
Aturan pingitan Kartini awalnya begitu ketat. Dia dilarang menginjakkan kaki di teras, apalagi keluar rumah. Menurut tradisi, dia akan terus dipingit sampai ada lelaki yang memboyongnya sebagai istri.
Walaupun begitu, pingitan terhadap Kartini melonggar sejak Soelastri, kakak perempuannya yang kolot ikut suami. Kartini langsung pindah ke kamarnya dan mengajak dua adiknya yang juga sudah masuk masa pingitan untuk tinggal bersama.

Sesekali, Kartini dan dua adiknya diizinkan berkunjung ke kediaman Marie Ovink-Soer. Karena kasihan, suami-istri Ovink-Soer terus membujuk Sosroningrat agar melepaskan ketiga putrinya dari pingitan.
Residen Semarang, Pieter Sijthoff ikut-ikutan membujuk Sosroningrat. Akhirnya sang ayah luluh. Dia mencabut pingitan terhadap Kartini, Kardinah, dan Roekmini pada 2 Mei 1898. Saat itu, Kartini sudah dipingit enam tahun, sementara Kardinah dan Roekmini dua tahun.
Buat merayakan kebebasan mereka, Sosroningrat mengajak ketiga anak gadisnya menghadiri festival Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang.
Jasa Kartini “Menyelamatkan” Industri Ukiran Jepara
Kartini tak cuma omon-omon saat menyebut kaum bangsawan bertanggung jawab atas peningkatan taraf hidup rakyat. Dia benar-benar bergerak untuk membantu perekonomian para pengrajin di Jepara.
Kartini prihatin dengan nasib para pengrajin ukiran di Belakanggunung, kampung yang sering dikunjunginya bersama Kardinah dan Roekmini. Karya mereka dihargai begitu rendah sehingga kondisi perekonomian mereka terpuruk.
Kartini lantas mengusahakan agar karya para pengrajin itu bisa dipamerkan di Belanda. Dia memanggil para pengrajin dan menugasi mereka untuk membuat berbagai jenis ukiran.
Setelah diperantarai Kartini dan komunitas Oost en West, barang-barang itu laku dengan harga mahal di Semarang, Batavia, dan Belanda. Pesanan membanjir dari berbagai daerah. Setelah dipotong ongkos kirim, uang hasil penjualan langsung diberikan ke pengukir.
Kartini juga membuat motif lung-lungan (rangkaian) bunga dan macan kurung. Niatnya adalah memberikan identitas bagi seni ukir Jepara agar bisa dilakukan branding.
Motif macan ini ternyata sangat diminati di luar Jepara. Desain tersebut populer hingga seabad sejak diperkenalkan.
Sekarang, ukiran macan kurung sudah langka. Pengerjaannya pun hanya dilakukan oleh keturunan Singowirjo, pengukir tenar yang mempelajarinya secara langsung dari Kartini.
Kartini juga memperhatikan nasib pengrajin emas dan tenun. Dia berupaya agar kualitas dan pemasaran produk buatan mereka bisa ditingkatkan.
Tak cukup sampai di situ, Kartini dan adik-adiknya mendirikan sekolah di pendapa belakang rumah. Ini adalah sekolah putri pertama untuk kaum pribumi di Hindia-Belanda. Ketiganya mengajarkan pendidikan dasar, budi pekerti, dan keterampilan seperti memasak.

Menurut pendapat Kartini, pendidikan bisa mencegah kaum pribumi terjerumus dalam kemiskinan dan adiksi terhadap candu (opium) yang diperdagangkan secara legal pada waktu itu.
Bagi Kartini, pendidikan untuk perempuan pribumi bahkan lebih penting lagi. Soalnya, mereka inilah yang memegang keuangan rumah tangga.
“Buat apa mendidik laki-laki jika rumah tangga tak kenal nilai uang?”
potongan surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar (1901)
Keputusan Kartini untuk Menyerah terhadap Nasib
Setelah bebas dari pingitan, tibalah Kartini pada dilema baru. Dia sudah cukup umur untuk menikah. Sejak usia 16, dia sudah diharapkan menikah. Pada tahun segitu, usianya yang sudah 24 tergolong perawan tua akut.
Sosroningrat mungkin sudah terlalu sering jadi bahan omongan karena anak perempuannya itu belum omah-omah, berkeliaran ke sana ke mari, cengengesan, dan punya pikiran aneh-aneh macam perempuan londo.
Singkat kata, Kartini memutuskan untuk menerima lamaran pinangan bupati Rembang, Adipati Djojoadiningrat. Keputusan itu diambilnya demi nama baik keluarga. Kegigihannya sebagai seorang feminis kalah oleh rasa cintanya kepada sang ayah.
Menurut saya, keputusan Kartini sangat bisa dimengerti. Mungkin akan lebih mudah bagi Kartini untuk berontak dari patriarki jika Sosroningrat adalah ayah yang semena-mena. Namun, ini adalah ayah yang telah memberikan begitu banyak kebebasan untuk anak-anak perempuannya, meskipun akibatnya dicibir oleh masyarakat sekitar.
Jadilah Kartini menikah dengan Djojoadiningrat yang 26 tahun lebih tua darinya. Saat itu, sang bupati sudah punya tiga garwa ampil.
Kartini diperistri sebagai garwa padmi, karena istri sah sebelumnya meninggal dunia. Stella tak habis pikir kenapa Kartini yang benci poligami dan perkawinan paksa justru mau jadi istri keempat lelaki tua begitu.
Bagi saya, mungkin bukan cuma Sosroningrat yang jadi alasan Kartini menyerah pada nasib. Djojoadiningrat sebenarnya juga pria bangsawan yang cukup progresif, sama seperti ayahnya.
Tak lama setelah menikah, Kartini hamil anak pertama. Dia cukup bersyukur, karena sang suami mengizinkannya tetap mengurus sekolah putri.
Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan Raden Mas Singgih atau Soesalit. Sang anak tak lama menikmati kasih sayang ibunya, karena Kartini meninggal dunia empat hari kemudian.
Raden Ayu Kartini dimakamkan di desa Bulu, rembang. Setelah kematiannya, adik-adik Kartini melanjutkan cita-citanya dalam mewujudkan pendidikan untuk perempuan.
Beda Apresiasi terhadap Kartini di Indonesia dan Belanda
Tentu Kartini paling dikenal di Indonesia. Negara sampai menyematkan status sebagai pahlawan nasional pada namanya. Dia bahkan dibuatkan hari nasional setiap 21 April, tanggal lahirnya. Seluruh Indonesia merayakan dirinya setiap tanggal itu, meskipun banyak juga yang menyederhanakan Hari Kartini sebagai “hari pakai baju daerah”.
Kartini ternyata juga cukup dikenal di Belanda. Habis Gelap Terbitlah Terang yang memuat surat-suratnya jadi buku best seller di sana. Rupanya, orang Belanda duluan yang meromantisasi sosok Kartini.
Ratusan surat asli Kartini disimpan rapi di perpustakaan Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Universitas Leiden. Surat-surat Kartini juga diabadikan dalam bentuk mikrofilm.
Pantaskah Kartini Menjadi Pahlawan Nasional?
Walaupun kini sudah diterima luas, ternyata penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional di tahun 1964 sempat menimbulkan kontroversi. Harsja W. Bachtiar, seorang sejarawan termasuk pihak yang kontra. Menurutnya, Kartini tidak lebih berjasa daripada Dewi Sartika atau Rohana Kudus.
Harsja bahkan menyebut Kartini sebagai “pahlawan” yang dibesarkan Belanda. Padahal Kartini tak pernah mengambil beasiswa ke Holland yang diberikan pemerintah Belanda. Kartini juga sering mengkritik pemerintah Belanda dalam surat-suratnya. Sayang, bagian itu dipangkas habis oleh Abendanon di Habis Gelap Terbitlah Terang.
Banyak juga pihak yang menyebut Kartini tak cocok digelari pahlawan karena tindakan-tindakannya tak sesuai dengan pendiriannya. Kartini mencibir praktik poligami, tapi justru mau dipersunting pria yang sudah beristri banyak. Katanya feminis, tapi tidak mencoba berontak dari patriarki.
Saya pun merasa Kartini lebih pas diberi gelar “tokoh emansipasi wanita”. Sebagai pahlawan, bolehlah kalau kita sebut local hero.
Dia pernah mengambil tindakan konkret untuk mengusahakan pendidikan bagi anak-anak perempuan, meskipun konsistensinya mungkin kalah dengan Dewi Sartika. Dia adalah perempuan muda yang aktif mengupayakan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Peran Kartini yang sebenarnya adalah memperkenalkan gagasan tentang emansipasi wanita di Indonesia yang saat itu sangat tidak berpihak kepada kaum perempuan. Tentu hal ini tak dilakukannya dengan sengaja.
Kartini tidak menyebarkan selebaran berisi gagasan radikal atau berorasi di depan publik seperti aktivis zaman sekarang. Dia tidak berdemo menuntut hak-hak perempuan di depan kantor pemerintahan seperti Alice Paul (Hilary Swank) di film biopik, Iron Jawed Angels.
Saya tidak sepakat dengan kata-kata guru saya yang menyebut perempuan Indonesia di zaman sekarang tidak bakal bisa sekolah kalau tidak ada Kartini. Bukan Kartini yang bikin perempuan sekarang boleh mengenyam pendidikan, tapi awareness tentang hak-hak perempuan yang meluas seiring dengan popularitas dirinya. Kalau bukan Kartini, bakal ada sosok perempuan lainnya yang membuat gagasan tentang emansipasi wanita menggema.
“Perubahan akan datang di Bumiputera. Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara—sudah ditakdirkan.”
penggalan isi surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar (1901)
Kebetulan saja surat-surat Kartini jadi populer di Belanda dan lalu bikin banyak orang Indonesia terpapar gagasan tentang hak perempuan dan kesetaraan gender. Iya, salah satu alasan Kartini begitu terkemuka adalah ia meninggalkan banyak tulisan. Pikiran-pikirannya disampaikan dengan kata-katanya sendiri, bukan dituturkan oleh orang lain seperti kebanyakan pahlawan perempuan pada masanya.
Walaupun begitu, saya juga tidak bermaksud mengecilkan sosok Kartini. Dia tetap perempuan inspiratif yang berjasa besar bagi orang-orang di sekitarnya. Tindakan-tindakan nyatanya terasa begitu berarti karena diambil di tengah keterbatasan sebagai perempuan Jawa pada masa itu.
Bisa jadi Kartini tidak akan terlalu bangga dirinya dijadikan simbol emansipasi, apalagi pahlawan nasional. Namun, saya rasa dia bakal bersuka cita melihat perempuan Indonesia di zaman sekarang bisa menikmati hal-hal yang hanya berani dia impikan.
Pada akhirnya, saya paham kenapa W.R. Soepratman menyebut Kartini sebagai seorang “pendekar” dan “pembela”. Dia telah berjuang dan kalah. Kekalahan itu tak lantas menghapuskan upaya-upayanya. Sesuai dengan salah satu quote di buku ini.
“Seorang pendekar adalah pembela yang tak selamanya memenangi perkelahian.”
Gelap-Terang Hidup Kartini (Seri Buku Tempo: Perempuan-Perempuan Perkasa)
Trivia
RM Sosrokartono, Kakak Kartini yang Dikenal sebagai Genius Linguistik
Raden Mas Sosrokartono atau Kartono adalah kakak yang paling disayangi Kartini. Kisah hidupnya bahkan lebih berwarna daripada sang adik. Sebagai anak laki-laki, dia diperbolehkan Sosroningrat menempuh pendidikan sampai ke negeri Belanda.
Pada usia 21 tahun, Kartono menjadi mahasiswa Indonesia pertama di Negeri Kincir. Dia diterima di Sekolah Tinggi Teknik di Universitas Delft, tapi tak betah dan pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.
Kakak lelaki Kartini dikenal sebagai poliglot dan dijuluki “Si Genius” karena menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku Nusantara. Dia pun lulus dengan predikat summa cum laude.
Lulus dari perguruan tinggi, Kartono menjajal profesi wartawan di kantor biro New York Herald (sekarang The New York Herald Tribune) yang berada di Wina, Austria. Dia sempat meliput Perang Dunia I dan digaji besar untuk pekerjaannya.
Setelah perang berakhir, Kartono bekerja sebagai penerjemah di Kedutaan Besar Prancis di Den Haag. Setelah itu, dia menjabat sebagai kepala penerjemah embrio PBB, Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss pada 1919.
Enam tahun kemudian, Kartono pulang ke Hindia-Belanda. Dia menolak jabatan sebagai bupati dan memilih jadi kepala sekolah Perguruan Taman Siswa di Bandung.
Selain aktif mengajar, Kartono dikenal sebagai aktivis kebangkitan bangsa. Pria berjulukan “Ndoro Pangeran Sosro” itu juga mendirikan balai pengobatan alternatif. Meskipun “obat” racikannya cuma segelas air putih yang ditiupkan doa, pasiennya membludak. Kayaknya, orang zaman dulu masih percaya kalau manusia berdarah biru punya karomah.
RM Sosrokartono meninggal pada 8 Februari 1952. Saat itu, usianya 74 tahun. Dia tak meninggalkan istri dan anak.
Sebagai penghormatan terakahir terhadap mantan gurunya itu, presiden Sukarno memerintahkan TNI AD menjemput jenazahnya untuk diterbangkan ke Semarang, sebelum dimakamkan di Kudus.
RM Soesalit, Anak Kartini yang Jadi Jendral Sukarno
Soesalit adalah putra semata wayang Kartini. Piatu sejak bayi merah, dia diasuh oleh Ngasirah, ibu kandung Kartini di Rembang.
Soesalit kehilangan ayahnya pada usia delapan tahun. Sejak itu, dia dirawat ibu dan kakak-kakak tirinya sementara sang nenek kembali ke Jepara.
Kalau Kartini fokus di dunia pendidikan, Soesalit memilih jalan hidup yang berbeda. Dia berkarier sebagai tentara. Ilmu militernya dari Jepang.
Kariernya melejit hingga menjadi jenderal bintang dua. Pasca reorganisasi TNI di tahun 1948, Soesalit harus turun pangkat dari mayor jendral menjadi kolonel. Ada juga yang menyebut pangkatnya diturunkan karena namanya tercantum dalam salah satu dokumen milik PKI.
Soesalit menikah dengan RA Siti Loewijah, keturunan priyayi asal Tegal. Anaknya, Boedi Setya, lahir pada 24 Februari 1933 di Banjarnegara.
Soesalit wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto pada 17 Maret 1962 akibat komplikasi penyakit. Dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Gerilya. Jenazahnya dimakamkan di Bulu, Rembang seperti ibunya.





