
Saya baca Ronggeng Dukuh Paruk belasan tahun lalu, kayaknya buat pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diminta untuk membaca beberapa karya sastra dan menemukan pesan moral di baliknya. Namanya juga masih 17 tahun, waktu itu saya gagal menangkap esensi dari bacaan-bacaan tersebut.
Karena sekarang sudah jauh lebih tua—setelah membaca ulang bukunya beberapa tahun lalu—rasanya saya jadi memiliki pemahaman yang sedikit lebih terhadap Ronggeng Dukuh Puruk. Cuma sedikit, ya.
Inilah opini seadanya yang saya rangkum setelah menonton adaptasi layar lebarnya.
Judul: Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis: Ahmad Tohari
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 408 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2011)
Genre: Asian literature, roman sejarah, drama sejarah
Cerita
Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan jadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati 12 tahun lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri.
Srintil pun mendadak amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua orang ingin bersama ronggeng itu. Dari kawula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten.
Sayangnya, malapetaka politik tahun 1965 membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini.
Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannya Srintil masih selamat. Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil menyadari harkatnya sebagai manusia.
Setelah bebas, Srintil berniat memperbaiki citra diri. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah.
Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun.
5 Points for:
☑️ Story
☑️ Setting
☑️ Characterization
☑️ Writing style
☑️ Moral/interesting trivia
Level of Interest

Review (Buku)
Ronggeng Dukuh Paruk adalah trilogi yang pertama kali terbit pada tahun 1982. Judul novelnya secara berurutan adalah Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Edisi yang saya baca ini bersampul poster film Sang Penari dan meliputi keseluruhan trilogi.
Ada banyak hal yang bisa kita bicarakan soal Rongggeng Dukuh Paruk. Judul ini bisa disebut sebagai kisah cinta yang tragis. Ada yang menyebutnya sebagai karya penting tentang periode penting dalam sejarah Indonesia. Namun di atas semuanya, Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah tragedi.
Ronggeng Dukuh Paruk adalah tragedi yang dibalut tradisi unik dari masa lalu dan dilatari kisruh politik tahun 1965. Di tengah semua itu, hadirlah Srintil sebagai pusat cerita. Sosoknya mewakili tradisi yang ‘megap-megap’ untuk bertahan di tengah perubahan zaman.
Srintil bermimpi jadi ronggeng, tradisi yang dianggap sebagai identitas Dukuh Paruk sejak lama. Dengan menjadi ronggeng, dia berharap menebus dosa keluarganya yang telah menewaskan sejumlah warga desa di masa lalu.
[REVIEW BUKU] RARA MENDUT: SEBUAH TRILOGI (TRILOGI RORO MENDUT #1-3)
Ada juga Rasus, pemuda miskin yang boleh dikatakan sebagai simbol dari gerakan untuk meninggalkan tradisi usang. Jika mengikuti fase hidup warga Dukuh Paruk, Rasus akan menghabiskan hidupnya sebagai buruh tani miskin dan buta huruf. Namun dia memilih lepas dari nasib semacam itu. Alih-alih, Rasus justru menapaki tangga karier sebagai tentara di Desa Dawuan yang lebih maju.
Rasus memilih jalan hidup yang umum bagi manusia modern dari kota kecil atau desa. Walaupun begitu, keputusan drastisnya jelas dipicu ‘penobatan’ Srintil sebagai ronggeng. Untuk pertama kalinya, Rasus merasa muak hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan rasa malu.
Sejatinya, Srintil dan Rasus selalu menjadi bagian penting dalam hidup satu sama lain. Namun, jalan hidup yang diambil keduanya membuat mereka tak mungkin bersama.
Ritual Bukak Klambu yang Menggelitik

Salah satu adegan paling menggelitik dari Ronggeng Dukuh Paruk adalah ritual bukak klambu yang harus dijalani Srintil. Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa dan berarti ‘membuka tirai’. Saat menjalani ritual ini, Srintil diharuskan melayani para pria yang sudah membayar untuk menghabiskan malam bersamanya.
Walaupun ronggeng adalah kesenian yang nyata dan digambarkan dengan riil, saya tidak bisa memastikan apakah bukak klambu itu nyata atau hanya rekaan Ahmad Tohari. Saya belum nemu sumber bacaan yang bisa mengkonfirmasi soal ini. Tapi, tradisi seperti ini memang bukan hal baru di kebudayaan Asia.
Pada zaman sekarang, ritual seperti bukak klambu sudah jelas termasuk prostitusi. Walaupun begitu, warga Dukuh Paruk justru bangga menjadi bagian dari tradisi ini. Pada salah satu adegan, para perempuan saling menyombong. Masing-masing mengatakan suami mereka bakal menjadi pria beruntung yang mengambil keperawanan Srintil. Waktu pertama baca, saya cuma bisa mengernyit.
Rupanya meniduri ronggeng dianggap prestisius. Bahkan membawa berkah. Yah, soalnya profesi ronggeng dan keseluruhan tradisi yang berkaitan dengannya dianggap glamor. Barangkali fenomenanya mirip dengan geisha di Jepang.
Saya jadi teringat docuseries soal geisha yang saya tonton beberapa tahun lalu. Seorang ibu rumah tangga berusia lanjut yang diwawancarai mengaku bangga suaminya bisa ditemani geisha. Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan kalau ditemani geisha berasosiasi dengan sexual pleasure. Lagipula, prostitusi geisha sudah dilarang sejak tahun 1959. Tapi dalam hal ini, kedua profesi tersebut memang punya kemiripan. Alih-alih membeli kenikmatan seksual, membayar untuk ditemani geisha atau ronggeng sama-sama dianggap sebagai bentuk validasi terhadap status finansial si pelanggan. Ini adalah konsep yang ganjil, tapi saya nggak heran. Orang kaya memang suka aneh-aneh, kan?
***
Judul: Sang Penari
Diangkat dari: Ronggeng Dukuh Paruk
Sutradara: Ifa Isfansyah
Bahasa: Indonesia
Tahun rilis: 2011
Produksi: Salto Films
Genre: drama, roman sejarah, drama sejarah
Bisa ditonton di: Netflix, Disney+Hotstar, Vidio
Sinopsis (film)
Sang Penari diadaptasi dari novel trilogi tahun 1982 Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Film ini menceritakan cinta tragis seorang pemuda desa dan ronggeng baru di desa kecilnya yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Latarnya adalah Indonesia pada 1960-an yang penuh gejolak politik.
Srintil (Prisia Nasution) dan Rasus yang sama-sama yatim piatu sangat dekat sejak kecil. Srintil bercita-cita menjadi ronggeng agar Dukuh Paruk tempatnya tinggal bebas dari kelaparan. Ini adalah penebusan atas dosa orangtuanya menewaskan banyak orang dengan tempe bongkrek beracun.
Setelah Srintil menjadi ronggeng, Rasus kerap dicemooh. Ia pun memutuskan pergi dari Dukuh Paruk. Dia berkesempatan mengubah hidup dengan menjadi tentara di Dawuan.
Walaupun hidup mereka telah berubah total, Srintil dan Rasus kembali bertemu. Namun, nasib kembali mempermainkan keduanya. Kemelut politik di 1965 menyeret Dukuh Paruk kepada kehancuran. Srintil tak terkecuali.
Level of Interest

Review (Film)
Sebelum mengulas film adaptasi Ronggeng Dukuh Paruk, saya mau cerita sedikit soal proses produksi dan printilannya. Jadi, film ini butuh riset sampai dua tahun. Soalnya, para filmmaker ingin memasukkan detail dari novelnya yang dipangkas habis-habisan oleh pemerintah Orde Baru.
Rencananya, pemeran Srintil juga orang Banyumas sungguhan. Tapi tak ada aktris berdarah Banyumas yang mengesankan sutradara. Jadi, dipilihlah Prisia Nasution yang saat itu masih tergolong aktris baru. Belum pernah jadi tokoh utama.
Ahmad Tohari yang ngambek dan ogah menonton adaptasi pertamanya di tahun 1983 (gara-gara diubah jadi film erotis) memuji film ini. Meskipun tidak patuh seratus persen terhadap cerita aslinya, dia menyebut film ini lebih emosional. Dia juga mengapresiasi sutradara yang berani menanpilkan pembantaian antikomunis pasca G30/S.
Menurut saya, film Sang Penari lebih bayak bicara tentang kondisi sosial politik pada tahun 1960-an. Tentu Srintil dan Rasus masih menjadi tokoh utama. Namun kisah cinta mereka hanya kepingan besar puzzle dalam gambaran masyarakat yang menjadi korban pergolakan zaman.
Kalau bukunya lebih banyak menceritakan kehidupan Srintil dan Rasus, film ini meniadakan beberapa detail dan mengalihkan fokus cerita ke warga Dukuh Paruk yang ditunggangi partai untuk propaganda hingga menjadi ‘tumbal’ dalam penumpasan komunisme pada masa itu. Cerita mereka tak jauh beda dengan kisah eks tapol yang diangkat di media massa setiap 1 Oktober. Kebanyakan cuma ibu-ibu atau buruh tani yang ikut-ikutan Gerwani atau BTI tanpa benar-benar paham soal komunisme.
Penampilan Natural Prisia Nasution dan Oka Antara
Ngomongin soal aktor-aktrisnya, saya suka Prisia Nasution sebagai Srintil. Seperti biasa, cantiknya natural. Aktingnya di sini juga terlihat natural.
Emosi yang ditunjukkan Prisia dalam setiap dialognya terlihat bagus. Dapetlah. Kalau ada kekurangan, paling cuma di logat Jawa sang aktris yang seringnya kelewat ‘tipis’. Sebenarnya, satu hal yang agak mengganggu kekhusyukan saya nonton Sang Penari adalah logat para aktornya yang beda semua. Masa satu kampung ada yang pakai logat ngapak kental, Jawa ‘suam-suam kuku’, sampai Jawa medok.
Kembali ke Prisia, gerak tubuhnya saat ngeronggeng cukup luwes. Namun jelas menunjukkan kalau dia bukan penari profesional. Tapi tak masalah juga. Daripada gemulai tariannya, pemeran Srintil lebih butuh kualitas akting yang mumpuni. Prisia telah memberikan hal itu.
Oka Antara juga bagus mainnya. Logat ngapaknya lumayan niat. Tak banyak dialog yang dia ucapkan, karena kebutuhan perannya memang lebih ke plonga-plongo khas pemuda desa buta huruf. Namun dalam kediamannya, Rasus yang dia perankan kerap menunjukkan pergulatan batin yang tampak nyata.
[REVIEW BUKU & FILM] CA-BAU-KAN: HANYA SEBUAH DOSA
Menurut saya, damage di bagian ending-nya justru mengena karena mimik muka Rasus. Saya jadi ikutan berkaca-kaca sedikit.
Pada akhirnya, saya anggap film Sang Penari layak mendapatkan segala puja-puji yang dialamatkan kepadanya. Ini memang bukan film Indonesia terbaik yang pernah saya tonton. Tapi dibandingkan Ca-Bau-Kan yang juga dikirim buat seleksi nominasi Oscar, penggarapan film ini jauh lebih bagus. Pantas kalau sampai menang empat piala Citra.
***
Trivia
Tempe Bongkrek

Pada saat Srintil masih kecil, terjadi keracunan massal di Dukuh Paruk. Banyak warga desa yang tewas setelah mengonsumsi tempe bongkrek buatan ayah dan ibu Srintil. Keracunan akibat tempe bongkrek ternyata memang cukup sering terjadi di daerah-daerah pedesaan Banyumas.
Tempe bongkrek dibuat dari ampas kelapa kering. Makanan ini kerap dijadikan lauk murah meriah oleh warga Banyumas dan sekitarnya.
Ampas kelapa dalam proses pembuatan tempe kerap terkontaminasi Burkholderia gladioli (dulu dikenal dengan nama Pseudomonas cocovenenans). Bakteri ini memproduksi asam bongkrek dan racun toxoflavin yang mematikan. Gejala keracunan tempe bongkrek timbul umumnya muncul 12—48 jam setelah konsumsi.
Sebenarnya, tempe bongkrek sudah diimbau untuk tidak diproduksi dan dikonsumsi lagi, karena sering menyebabkan kasus keracunan massal. Tapi beberapa industru rumahan masih memproduksinya. Konon, tempe bongkrek yang beracun adalah yang dilapisi warna kekuningan. Walaupun begitu, tempe bongkrek yang berwarna putih dan tidak berbau asam juga masih berisiko.
Sumber Bacaan:
5 Fakta Menarik Tempeh atau Tempe, Google Doodle Hari Ini. Merdeka.com
Asal-usul Ronggeng, Tari Magis dari Jawa. Kompas
Darah dan Mahkota Ronggeng. Wikipedia
Erotic Triangles: Sundanese Dance and Masculinity in West Java. Henry Spiller
Ronggeng 2.0. The Jakarta Post
Ronggeng Dukuh Paruk. Wikipedia
Ronggeng Dukuh Paruk (Dukuh Paruk #1-3). Goodreads
Sang Penari. Wikipedia
Reviewnya bikin kepengen cepet2 baca novelnya. Saya dah punya novel ini sejak… 15 tahun yang lalu -____-“
LikeLike
Coba dibaca pelan-pelan aja, kak. Banyak hal menariknya, kok 🤭
LikeLike