POV adalah point of view alias ‘sudut pandang’. Semua orang juga tahu. Walaupun begitu, pengertiannya bisa berbeda-beda kalau ditanyakan ke setiap orang.
POV yang saya kenal berkaitan dengan gaya bertutur di karya tulis, entah itu bentuknya fiksi, sajak, atau esai. Namun, POV yang lebih dikenal oleh pengguna media sosial saat ini punya definisi yang berbeda. Mari kita bahas sebentar sebelum beralih ke POV dalam dunia fiksi!
Beda Pemaknaan POV di Media Sosial dan Literatur
Kalau di TikTok, saya rasa POV yang dimaksud adalah video tentang sebuah momen singkat dilihat dari sudut pandang orang yang mengabadikan video tersebut. Misalnya ada video cekcok dua orang konsumen yang cekcok di depan kasir Indomaret. Videonya tampak diambil dari sisi meja kasir. Jadi, videonya menggunakan POV si kasir.
Banyak juga yang mengartikan POV sebagai ‘konteks’. Suatu kali, saya nemu video pemuda lagi sebat di teras sambil memangku balita. Kalau tidak salah, caption-nya berbunyi, “POV: Lulus SMA jadi pengangguran anak satu.”
Ada juga yang bikin unggahan foto alam nan estetik di Instagram dengan caption, “POV: Ke Gunung X dan sesuai ekspektasi.” Saya rasa POV di sini artinya juga masih ‘konteks’.
Lain di TikTok dan Instagram, lain lagi di Twitter (Saya bakal selalu menyebut aplikasi ini Twitter alih-alih X). Ada yang nge-tweet, “My POV: Aku nggak mau kenalin cowok ke ortu sebelum yakin sama dia.” Nah, kalau ini, saya rasa POV disamakan dengan ‘opini’.
Jujur, saya nggak tahu mana definisi yang lebih tepat dari tiga contoh di atas. Saya nggak bakal komentar banyak soal POV dalam konteks media sosial. Biar orang yang lebih paham saja yang menjelaskan. Saya bakal bahas sedikit soal POV dalam dunia literatur saja.
Jadi, POV atau sudut pandang di fiksi berkaitan dengan gaya bercerita. Siapa yang menyampaikan cerita itu? Kalau pakai “Aku” atau “Saya”, berarti cerita fiksi itu pakai first-person point of view (sudut pandang orang pertama) atau bisa juga disebut 1st POV.
Kalau narasinya pakai “Dia” atau “Mereka” tanpa ada “Aku” dan “Kalian”, berarti pakai third-person point of view (sudut pandang orang ketiga) atau 3rd POV.
Agar lebih jelas, mari kita bahas! Berikut ini beberapa jenis POV atau sudut pandang yang banyak digunakan dalam fiksi. Saya juga bakal cerita sedikit soal 2nd POV yang lebih jarang digunakan dalam cerita rekaan.
Sudut Pandang Orang Pertama (1st POV)
First-person point of view atau 1st POV adalah tulisan yang disampaikan si penulis. Kalau bentuk tulisannya adalah fiksi, maka si penulis yang bertugas menjadi narator ini adalah salah satu tokoh yang ada di dalam cerita.
Umumnya narator dengan 1st POV adalah tokoh utama cerita. Namun, bisa juga dia cuma tokoh sampingan yang sedang menceritakan sebuah kisah dan tokoh-tokoh di dalamnya melalui sudut pandangnya.
Narator yang menggunakan 1st POV menyebut dirinya “Aku”. Saat menceritakan karakter lain, “Aku” baru menggunakan sapaan “Dia” atau “Mereka”.
Narator dengan 1st POV juga bisa menggunakan “Kami” dan “Kita” karena dia memang bagian dari cerita.
Contoh:
- The Hunger Games, diceritakan dari POV Katniss Everdeen, si tokoh utama.
- Namaku Hiroko diceritakan dari POV Hiroko, si tokoh utama.
- A Study in Scarlet, diceritakan dari POV Dr. John Watson, sahabat tokoh utama.
- The Murder of Roger Ackroyd diceritakan dari POV Dr. James Sheppard, salah satu tokoh dalam cerita.
- Teka-Teki Rumah Aneh diceritakan dari POV “Aku”, si tokoh utama.




Kelebihan narasi dari 1st POV adalah kemudahannya untuk membuat pembaca merasa dekat dengan si narator dan cerita yang dia sampaikan.
Kelemahannya, narator tidak bisa menceritakan momen-momen yang tidak dia ketahui secara langsung. Pembaca juga tidak bisa mengetahui pikiran atau isi hati karakter lain yang sesungguhnya.
Kelemahan lain dari 1st POV, sang narator cenderung menggulirkan cerita dengan pendapat yang bias alias tidak objektif. Tak jarang cerita fiksi juga menggunakan narator yang sedang berbohong atau menutupi sebagian fakta dari pembacanya. Inilah yang disebut unreliable narrator dalam fiksi.
Humbert Humbert, tokoh utama dan narator Lolita meromantisasi hubungan terlarangnya dengan seorang anak 12 tahun. Pada sebagian besar cerita, Humbert berusaha mengaburkan fakta bahwa dia melakukan grooming dan sexual abuse terhadap Lolita.
Spoiler Alert! Proceed at your own risk.
Dr. Sheppard, narator The Murder of Roger Ackroyd juga termasuk unreliable narrator. Dia menutupi sejumlah fakta penting agar pembaca tidak mengetahui kalau dia adalah si pelaku pembunuhan.
Multiple First-Person Point of View
Kalau di cerita roman, belakangan 1st POV dari dua tokoh utamanya populer digunakan. Jadi, keduanya menceritakan kisah mereka secara bergantian. Gaya bercerita seperti ini disebut multiple narrative atau multi-narrative. Multiple narrative ini kadang juga disebut dual 1st POV karena punya dua narator yang sama-sama menggunakan sudut pandang orang pertama.
Tak melulu harus roman, genre fiksi yang lain juga banyak yang pakai dual 1st POV. Misalnya thriller dan misteri.
Contoh:
- Laut Bercerita diceritakan melalui POV Biru Laut Wibisana pada paruh pertama dan adiknya, Asmara Jati pada paruh kedua.
- The Coincidence of Callie and Kayden diceritakan dari POV dua tokoh utamanya, Callie dan Kayden.
- Katarsis diceritakan dari POV dua tokoh utamanya, Tara dan Ello secara bergantian.
- Perfect Chemistry karya Simone Elkeles diceritakan melalui POV dua tokoh utamanya, Alex Fuentes dan Brittany Ellis.
- Gone Girl diceritakan oleh dua tokoh utama sekaligus unreliable narrator, Nick dan Amy.


Banyak juga cerita fiksi yang punya lebih dari dua narator pemakai 1st POV.
Contoh:
- Girls in the Dark (Ankoku Josei) diceritakan dari POV tujuh tokoh utamanya (satu “korban pembunuhan” dan enam tersangka).
- The Vegetarian diceritakan dari POV tiga tokoh di dalam cerita.
- Antologi Rasa diceritakan dari POV tiga tokoh utamanya.
- Confessions (Kokuhaku) diceritakan dari POV enam tokoh di dalam cerita.
- The Help diceritakan dari POV tiga tokoh perempuan di dalam cerita.


Penggunaan multiple 1st POV bikin cerita makin menarik, karena emosi tiap karakter jadi terasa hidup. Interaksi tiap tokoh yang menjadi narator tadi juga jadi lebih mengena. Walaupun begitu, gaya bercerita seperti ini menuntut kemampuan yang lebih dari penulisnya.
Penulis harus menggunakan gaya yang berlainan untuk setiap narator. Pemilihan kata, pola pikir, sampai gaya bahasanya harus terasa beda. Kalau tidak, pembaca tidak akan bisa merasakan emosinya.
Sudut Pandang Orang Kedua (2nd POV)
Kalau ada narasi dari sudut pandang orang pertama, tentu ada juga tulisan yang disampaikan dari sudut pandang orang kedua atau second-person point of view (2nd POV). Walaupun begitu, gaya bercerita ini jarang dipakai di fiksi yang berformat cerpen atau novel.
Narasi dengan sudut pandang orang kedua atau 2nd POV lebih banyak dipakai di sajak atau buku motivasi. Ciri-cirinya, narator menggunakan sapaan “Anda”, “Kamu”, “Kau”, atau “Kalian”.
Contoh:
- Novel-novel dari seri Pilih Sendiri Petualanganmu diceritakan dengan 2nd POV, karena pembaca adalah tokoh utama ceritanya.
- Novel Interior Chinatown diceritakan dengan 2nd POV dan terkesan seperti “arahan sutradara”.
- Beberapa bagian dari novel Fight Club diceritakan dengan 2nd POV.
- Beberapa bagian dari novel The Night Circus diceritakan dengan 2nd POV.


Menurut saya, narasi dari sudut pandang orang kedua kurang luwes untuk menyampaikan cerita fiksi. Mungkin itu alasan gaya bercerita ini jarang dipakai novelis atau cerpenis.
Nah, kalau buat buku motivasi, saya rasa 2nd POV memang pas. Soalnya, pembaca jadi merasa terlibat dan tergerak oleh kata-kata si penulis.
Sudut Pandang Orang Ketiga (3rd POV)
Setelah 2nd POV, selanjutnya kita bakal membahas 3rd POV. Sudut pandang orang ketiga ini paling banyak digunakan dalam cerita fiksi kerena memberikan keleluasan yang paling besar bagi penulis.
Cara mudah untuk menentukan apakah sebuah cerita disampaikan dari sudut padang orang ketiga atau tidak adalah mengecek kata sapaan yang digunakan. Third-person point of view memakai sapaan “Dia” dan “Mereka”, tapi tidak pernah menggunakan “Aku”, “Kamu”, dan “Kalian”. Kenapa begitu?
Orang ketiga yang bertugas menjadi narator tidak ada di dalam cerita, jadi bakal terdengar ganjil kalau dia menggunakan sapaan selain “Dia” dan “Mereka”.
Nah, third-person POV atau 3rd POV ternyata masih dibagi menjadi dua kategori lagi, yaitu close third-person POV dan omniscient third-person POV.
Close Third-Person POV atau Third-Person Limited Point of View (Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas)
Cerita fiksi dengan third-person POV disampaikan oleh narator yang tidak ada di cerita dan fokus pada satu, dua, atau beberapa tokoh saja. Pengetahuan si narator terbatas di lingkup pergerakan para tokoh itu.
Contoh:
- The Duke and I (Bridgerton #1)
- The Poppy War
- Scandal in Spring (Wallflowers #4)


Omniscient Third-Person POV (Sudut Pandang Orang Ketiga Serba Tahu)
Terakhir, ada omniscient third-person POV yang paling “kuat”. Bisa dibilang rajanya POV.
Cerita fiksi dengan omniscient 3rd POV diceritakan oleh narator yang seperti dewa. Dia tidak ada di dalam cerita, tapi bisa melihat segalanya.
Pengetahuannya tidak terbatas pada beberapa tokoh saja. Narasinya leluasa untuk meloncat dari satu tokoh ke tokoh lain yang sama sekali tidak berkaitan. Omniscient 3rd POV bahkan bisa dipakai untuk menceritakan hal-hal yang belum terjadi.
Contoh:
- Anna Karenina
- Pintu Terlarang
- Good Omens
- A Game of Thrones (A Song of Ice and Fire #1)
- Battle Royale


POV dalam Fiksi yang “Menyalahi” Pakem
Gaya bercerita dalam fiksi memang sudah ada pakemnya. Namun, bukan berarti para penulis harus mengikutinya secara saklek.
Asal masuk akal dan ditulis dengan luwes, sudut pandang orang pertama, kedua, dan ketiga bisa dikombinasikan, kok.
Kalau penulis ingin fokus di perspektif tokoh utama, tapi juga ingin pembaca mengetahui hal-hal yang tidak tampak dari sudut pandang si tokoh utama (misalnya untuk menceritakan momen yang tidak menyertakan si tokoh utama), tinggal pakai 1st POV dan 3rd POV seperti Outlander karya Diana Gabaldon.
Ada juga novel dengan 1st POV yang naratornya “melihat segalanya” seperti The Book Thief dan The Lovely Bones. Narator The Book Thief adalah malaikat pencabut nyawa, sementara Susie Salmon, narator The Lovely Bones adalah korban pembunuhan yang menyampaikan seluruh cerita dari surga.


Ada juga fiksi dengan 1st POV di dalam 1st POV. Misalnya Wuthering Heights yang diceritakan oleh dua narator, Mr. Lockwood dan Nelly Dean. Narasi panjang Nelly Dean berada di dalam narasi Lockwood yang menceritakannya kembali kepada pembaca.
Yak, sekian celoteh panjang saya soal POV atau point of view di dunia literatur, utamanya point of view di dalam fiksi.
Sumber bacaan:
12 Books That Break the Rules of Point of View. Electric Lit
Apa Itu POV? Apa Bedanya POV dalam Cerita Fiksi dan Media Sosial? Gramedia
Complete Guide to Different Types of Point of View: Examples of Point of View in Writing. Master Class
What Is an Unreliable Narrator? Celadon Books
What Is Second-Person Point of View (POV) in Writing? ProWritingAid
