[Review Film Adaptasi Buku] Breakfast at Tiffany’s

Biasanya saya mengulas film adaptasi buku sekalian dengan novelnya. Nah, karena novel Brekfast at Tiffany’s sudah dibaca dan diulas lama sekali, kali ini saya cuma membahas filmnya. Silakan dicek jika berkenan.

Judul: Breakfast at Tiffany’s
Diangkat dari: Breakfast at Tiffany’s karya Truman Capote
Sutradara: Blake Edwards
Bahasa: Inggris
Tahun rilis: 1961
Produksi: Paramount Pictures
Genre: komedi romantis, drama
Bisa ditonton di: Apple TV

poster film Breakfast at Tiffany’s ©1961 Paramount Pictures
poster film Breakfast at Tiffany’s ©1961 Paramount Pictures

Sinopsis

Breakfast at Tiffany’s adalah film klasik yang dicintai banyak orang sampai sekarang. Ini adalah kisah tentang cinta, persahabatan, dan pencarian identitas diri. Fokus ceritanya adalah Holly Golightly (Audrey Hepburn), sosialita belia nan elegan dan eksentrik yang menjalani hidup bebas di tengah glamornya kota New York.

Holly memiliki kebiasaan unik menikmati sarapan sambil memandangi etalase toko perhiasan Tiffany & Co. Meskipun hidupnya terlihat mudah, sebenarnya Holly menyembunyikan rasa sepi dan rahasia masa lalu yang cukup kelam.

Kehidupan Holly jadi lebih berwarna ketika Paul Varjak (George Peppard), seorang penulis yang kariernya mandek pindah ke gedung apartemen yang sama dengannya. Paul terpesona oleh Holly dan perlahan mulai terlibat dalam hubungan yang rumit dengan gadis misterius itu.

Seiring berkembangnya cerita, Holly dan Paul makin dekat. Mereka berbagi momen-momen kebersamaan yang menghangatkan hati, termasuk saat mereka mencuri topeng dari toko dan mengukir nama mereka di jendela Tiffany & Co. Namun, hubungan mereka diuji ketika masa lalu Holly membayangi. Apalagi Holly sudah bertekad untuk menikahi pria kaya.

Level of Interest

💗💗💗💗

Review

Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, Breakfast at Tiffany merupakan adaptasi dari novel laris karya Truman Capote yang terbit pada tahun 1958. Filmnya rilis pada tahun 1961 dan terbukti lebih populer lagi daripada novelnya. Versi layar lebar Breakfast at Tiffany’s bahkan disebut sebagai salah satu film ikonis.

Ikonisnya film tersebut tentu tak lepas dari sosok Holly Golightly yang diperankan oleh Audrey Hepburn, terutama dari segi fashion. Hampir setiap fashion item yang dipakai Hepburn menjadi tren yang tak lekang oleh waktu sampai sekarang. Mulai dari little black dress, model rambut high chignon, sampai Manhattan sunglasses-nya dianggap sebagai bagian dadi gaya klasik.

Selain fashion-nya yang menarik perhatian, keseluruhan film Breakfast at Tiffany’s sendiri memang memorable. Seingat saya, film ini pertama kali saya tonton di Netflix sekitar tahun 2015 atau 2016. Saat itu, Netflix menayangkan film-film klasik seperti Breakfast at Tiffany’s dan Gone with the Wind untuk waktu yang singkat.

Perbedaan Novel dan Film Breakfast at Tiffany’s

Breakfast at Tiffany’s © Serambi
sampul novel Breakfast at Tiffany’s © Serambi

Apa yang membedakan Breakfast at Tiffany’s versi novel dan film selain warna rambut Holly Golightly yang berubah dari pirang jadi brunette?

Pertama, jelas genre novel dan filmnya beda. Novelnya adalah urban drama dan coming of age tipis-tipis yang membahas isu mental illness secara sambil lalu. Filmnya jelas romcom dengan sentuhan satir.

“Aku” yang jadi narator cerita di bukunya dikasih nama Paul Varjak. Ia digambarkan dengan sosok dan kisah hidup yang berbeda pula.

“Aku” di novel sekadar aspiring writer kurang gaul yang biasa-biasa saja. Sementara di film, Paul adalah aspiring writer ganteng yang nyambi jadi simpanan tante-tante tajir. Untungnya, sebagian besar karakter lain tetap sama. Terutama Holly yang memang menjadi fokus utama cerita ini.

Pada akhir cerita novelnya, Holly tetap menolak settled dan hidup bebas di Argentina bersama seorang senor yang sudah beristri. Sementara itu, filmnya berakhir dengan adegan ciuman manis di tengah hujan.

George Peppard (kiri) dan Audrey Hepburn (kanan) sebagai Paul Varjak dan Holly Golightly di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany's
George Peppard (kiri) dan Audrey Hepburn (kanan) sebagai Paul Varjak dan Holly Golightly di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany’s

Saya rasa ending seperti ini cukup bertentangan dengan karakter Holly yang terlalu cinta dengan ketidakpastian.

Kalau di kehidupan nyata, saya yakin Holly dan Paul bakal berpisah dalam waktu singkat. Soalnya, Holly adalah karakter yang masih punya banyak issues. Dia belum selesai dengan dirinya sendiri.

Pesona Audrey Hepburn dan Interpretasi Karakter Holly Golightly yang Akurat

Audrey Hepburn sebagai Holly Golightly di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany's
Audrey Hepburn sebagai Holly Golightly di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany’s

Konon, Truman Capote menulis karakter Holly sambil membayangkan Marilyn Monroe. Karena itulah, dia menginginkan aktris glamor tersebut untuk memerankan Holly versi layar lebar. Walaupun begitu, saya nggak ngerti bagaimana karakter itu bisa diperankan Monroe.

Monroe adalah bombshell dengan tubuh curvy, penampilan dewasa, dan citra airhead. Sementara Holly Golightly diceritakan sebagai gadis 18 atau 19 tahun bertubuh kerempeng dengan gaya glamor semi tomboi.

Pokoknya, Capote kecewa berat waktu Audrey Hepburn yang terpilih untuk memerankan Holly. Menurut saya, Hepburn memang lebih cocok jadi Holly, meskipun rambutnya nggak pirang dan dia sudah berusia 30-an saat film diproduksi. Justru dialah yang membuat karakter Holly jadi memorable.

Holly adalah adalah teen slut naif dengan sarkasme dan sikap cuek yang membuat daya tariknya jadi makin besar. Audrey Hepburn menyampaikan kesan itu dengan akurat. Dia bisa menampilkan sisi naif sekaligus dingin Holly lewat ekspresi matanya yang belo itu. Dialog-dialog Holly di novel diterjemahkan ke layar oleh sang aktris dengan apik.

Kalau saya puas banget dengan pemilihan Audrey Hepburn, saya justru merasa kurang cocok dengan pemilihan George Peppard sebagai tokoh utama pria. Soalnya, kesan “Aku” di benak saya sebagai pembaca memang jauh sekali dari penampilan dan pembawaan Peppard yang ganteng manly khas Hollywood. “Aku” di kepala saya adalah pria cupu yang mungkin penampilannya lebih mirip dengan Truman Capote.

Audrey Hepburn (kiri) dan George Peppard (kanan) sebagai Holly Golightly dan Paul Varjak di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany's
Audrey Hepburn (kiri) dan George Peppard (kanan) sebagai Holly Golightly dan Paul Varjak di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany’s

Namun saya paham kenapa sosok seperti George Peppard yang dipilih oleh Paramount Pictures. Breakfast at Tiffany’s versi layar lebar memang bermaksud menonjolkan aspek romance daripada kisah hidup Holly Golightly sebagai gadis remaja yang tenggelam di tengah sisi glamor sekaligus gelapnya kota besar. Romance yang mudah menarik minat penonton tentu butuh tokoh utama pria dan wanita yang sama atraktifnya.

Makna “Sarapan di Tiffany’s” bagi Holly Golightly

Audrey Hepburn sebagai Holly Golightly di opening scene film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany's
Audrey Hepburn sebagai Holly Golightly di opening scene film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany’s

Holly Golightly adalah karakter yang sangat menarik. Selain karena sikap bitchy dan komentar-komentar sarkasnya, dia juga memiliki gangguan kejiwaan yang cuma diisyaratkan sambil lalu. Sepertinya dia sering mengalami anxiety attack yang dia deskripsikan sebagai “feeling red”. Satu-satunya hal yang bisa menenangkan dirinya saat serangan panik itu tiba adalah cuci mata di toko Tiffany’s.

Iya, judul Breakfast at Tiffany’s yang dulu saya kira artinya ‘sarapan di rumah Mbak Tiffany yang mungkin temannya si tokoh utama’ sebenarnya merujuk pada ritual menenangkan diri yang dipilih Holly untuk mengatasi anxiety attack. Pembaca novelnya hanya disuguhi cerita Holly yang mengaku sering sarapan di Tiffany’s karena aktivitas itu bisa membuatnya rileks kembali. Sementara di filmnya, penonton benar-benar bisa menyaksikan adegan Holly turun dari taksi dalam balutan little black dress sambil membawa kantong karton berisi pastry dan segelas kopi. Adegan Holly sarapan di depan jendela Tiffany’s ini merupakan salah satu momen paling ikonis dalam sejarah film Hollywood.

Saya rasa, mental health issue yang dimiliki Holly bukan cuma anxiety. Dia menunjukkan sifat arogan, apatis terhadap perasaan manusia lain, dan narsistik. Bisa jadi dia juga punya Narcissistic Personality Disorder. Sayangnya saya nggak punya background psikologi, jadi nggak bisa memastikan hal itu.

Kalau mau dikupas sampai tuntas, sebenarnya Holly ini punya banyak mental health issues. Dia memiliki masa kecil yang suram bersama saudara lelakinya, Fred yang kemudian diceritakan tewas di pertengahan film. Dia di-grooming dan dinikahi seorang dokter berusia lanjut pada usia 14 tahun dan lalu memilih kabur ke New York.

Saya rasa, benak Holly sudah terkondisikan dengan kondisi hidup yang tidak menentu. Ia merasa familiar dengan hidup yang tidak pasti dan karena itu menolak untuk settled (tanpa disadari). Karier menjanjikan di dunia perfilman dia tinggalkan begitu saja dan memilih untuk menjadi perempuan panggilan kelas atas terselubung.

Kontroversi Yellowface Gara-Gara Karakter Mr. Yunioshi

Mickey Rooney sebagai Mr. Yunioshi di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany's
Mickey Rooney sebagai Mr. Yunioshi di film Breakfast at Tiffany’s © dok. Paramount Pictures/Breakfast at Tiffany’s

Satu hal yang bikin saya agak mengernyitkan dahi saat nonton film Breakfast at Tiffany’s adalah karakter Mr. Yunioshi, salah satu tetangga Holly Golightly. Dia digambarkan sebagai pria konyol, bego, dan bergigi tonggos yang selalu ketiban sial gara-gara berurusan dengan Holly. Karakter ini diperankan aktor yang terlihat jelas berkulit putih tapi dipaksa mirip orang Asia.

Karakter Mr. Yunioshi di novel sebenarnya digambarkan biasa saja. Dia bukan karakter yang penting, jadi diceritakan secara sambil lalu saja. Sementara di film, karakternya dijadikan “badut” untuk memancing tawa penonton.

Kalau Breakfast at Tiffany’s rilis dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, film ini pasti sudah dihujat netizen habis-habisan. Upaya yellowface dan penggambaran orang Asia sebagai karakter tololnya pasti bikin sutradara, aktor, sampai production company-nya dirujak.

***

Sekian ulasan saya untuk film Breakfast at Tiffany’s yang diangkat dari salah satu novel laris karya Truman Capote. Bagaimana kesan kalian terhadap film ini?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.