[Review Buku] Canting, Potret Kemunafikan dari Budaya yang Meluntur

Judul:  Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 408 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2007)
Genre: fiksi, drama keluarga, kultural

sampul novel Canting karya Arswendo Atmowiloto © Gramedia Pustaka Utama
sampul novel Canting karya Arswendo Atmowiloto © Gramedia Pustaka Utama

Sinopsis

Cerita tentang batik canting  mewakili budaya yang terkalahkan.

Canting (Arswendo Atmowiloto)

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni—sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean—yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.

Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. “Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera.”

5 points for:

☑️ Story

☑️ Setting

☑️ Characterization

☑️ Writing style

☑️ Moral/interesting trivia

Level of Interest

💗💗💗💗

Review

Saya akan meminjam satu kalimat dari sinopsis di halaman Goodreads novel Canting. “Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan.” Saya rasa itulah esensi cerita Canting. Falsafah tradisional yang dulu dianggap luhur, tetapi kini terasa kolot dan salah kaprah di hadapan pemikiran modern.

Dikemas dalam drama keluarga yang kental, kisah Canting fokus pada keluarga kaum bangsawan yang hidup makmur berkat usaha batik.

Semua anggota keluarga jadi tokoh sentral dan menunjukkan sisi humanis masing-masing. Pak Bei yang setengah modern-setengah kolot, Bu Bei yang tipikal ibu-ibu teladan Jawa tapi juga bisa goyah imannya. Ni yang berpikiran modern, merasa terkungkung dalam tradisi kolot keluarga.

Cukup menarik untuk diperhatikan mungkin pandangan Pak Bei dan teman-teman ningratnya yang merasa nasionalis dan benci kapitalisme penjajah, tapi dengan munafiknya menjalani hidup ala kaum borjuis. Begitu juga fanatisme buta mereka terhadap Soekarno. Tipikal orang-orang Jawa zaman dulu.

Sepertinya Arswendo mencoba menyindir kemunafikan kaum konservatif Jawa melalui Canting. Hal ini bisa dilihat dari pemikiran dan gaya hidup Pak Bei dan kawan-kawannya yang bertolak belakang tadi. Kesusilaan cuma jadi topeng, bukan idealisme yang dijunjung tinggi sampai ke hati.

Seorang priyayi yang dihormati karena keluhurannya bisa “bercinta” di pojokan dinding dengan buruh pasar. Seorang istri yang jadi teladan bagi anak-anak dan para pekerja doyan “menyambangi” buruh celup biasa yang hidup dari belas kasihan semua orang.

Iya, novel ini memang cukup sering menampilkan adegan seksual, meskipun tidak eksplisit. Sepertinya banyak novelis modern Tanah Air yang “gatal-gatal” kalau tidak memasukkan seks di dalam cerita rekaannya.

Kisah Para Perempuan Pasar yang Berbalut Ironi

Narasi tentang para wanita yang jadi pedagang batik di pasar juga bagus. Saat berada di rumah, mereka adalah pelayan suami, tapi di pasar merekalah rajanya. Saya rasa tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini—kecuali Ni—merupakan cerminan dari wanita-wanita Jawa zaman dulu. Mereka merasa superior dan pongah di balik sikap nriman kepada kemauan kaum lelaki.

Saya menganggap ini sebagai penghiburan diri saja. Meyakinkan diri sendiri kalau mereka perempuan hebat, karena hanya yang hebat yang wani ditata. Padahal mereka juga tahu kalau wani ditata di sini cuma istilah yang lebih halus dari ‘pasrah diatur-atur seperti kerbau bego’.

Inilah bagian yang tidak saya banggakan dari budaya Jawa konservatif. Perempuan disebut wanita, kependekan dari wani ditata. Seolah-olah eksistensi perempuan hanya bergantung pada kehendak lelaki dan kungkungan adat yang menjunjung tinggi kelelakian.

Kalau sekarang makna wanita mungkin sudah bergeser jadi wani nata ya. Setidaknya wani nata diri sendiri dululah. Saya tahu perjuangan kaum perempuan di Indonesia untuk dianggap sebagai manusia yang setara dengan lelaki masih sangat panjang.

Trivia

Sekilas tentang Seni Batik

kain yang sudah melalui proses pembatikan dengan lapisan lilin, siap dicelup pewarna © dok. pribadi/Tantri S
kain yang sudah melalui proses pembatikan dengan lapisan lilin, siap dicelup pewarna © dok. pribadi/Tantri S

Sebenarnya canting itu apa, sih? Ini adalah nama alat yang digunakan untuk mengaplikasikan cairan malam (lilin) pada kain batik. Orang Jawa menyebutnya canthing. Huruf “t” harus tebal dan medok.

Ada dua jenis canting, yaitu canting tulis dan canting cap. Bentuk canting tulis mirip dengan pipa untuk merokok. Namun, bagian bawahnya dilengkapi selang logam kecil yang disebut cucuk. Nah, cairan malam yang digunakan untuk mewarnai batik keluar dari cucuk ini.

Malam yang diaplikasikan melalui canting berfungsi untuk menutup motif pada kain batik. Setelah itu, kain batik dicelup pewarna. Kalau sudah diwarnai, kain dilorod (dimasukkan ke dalam air mendidih) agar lapisan malamnya terlepas. Hasilnya adalah kain berwarna cantik, tapi bagian-bagian yang tadinya tertutup malam tetap berwarna putih.

Jenis-Jenis Batik

Tahun 2022 lalu, saya sempat main ke Museum Batik Danar Hadi di Solo. Sekalian belajar tentang berbagai motif, jenis, filosofi, sampai tata cara penggunaan batik.

Menurut keterangan tour guide museum, ada tiga jenis batik yang diproduksi di Jawa. Berikut ini penjelasan singkatnya.

Batik Tulis

perlengkapan untuk membuat motif batik tulis yang terdiri dari canting tulis dalam berbagai ukuran, bongkahan lilin malam padat, dan lilin cair yang dipanaskan di atas wajan dan tungku kecil © dok. Tantri S
.perlengkapan untuk membuat motif batik tulis yang terdiri dari canting tulis dalam berbagai ukuran, bongkahan lilin malam padat, dan lilin cair yang dipanaskan di atas wajan dan tungku kecil © dok. pribadi/Tantri S

Pertama, ada batik tulis. Disebut demikian karena lilin panas diaplikasikan dengan bantuan canting tulis.

Zaman dulu, pembatikan dilakukan pada kedua sisi kain. Jadi, bagian luar dan dalam kain sama-sama berhias motif batik.

Sekarang, hanya bagian luar kain yang dihiasi motif. Alasannya adalah untuk menghemat waktu pengerjaan. Soalnya, pembuatan batik tulis ini memang memakan waktu lama. Harganya lebih mahal daripada batik jenis lain.

Ciri khas batik tulis adalah motifnya terlihat sedikit merembes. Jumlah, jarak, ukuran, dan bentuk setiap motifnya juga tidak seragam.

Batik Cap

canting cap untuk membuat motif batik cap © dok. Tantri S.
canting cap untuk membuat motif batik cap © dok. pribadi/Tantri S

Motif kain batik jenis ini dibuat dengan bantuan canting cap. Bentuknya mirip dengan stempel.

Ciri khas batik cap adalah motifnya terlihat lebih rapi dan teratur daripada batik tulis.

Karena proses pembuatannya lebih efisien waktu dan energi, harga batik cap lebih murah daripada batik tulis.

Batik Tulkom

Batik tulkom maksudnya adalah ‘tulis kombinasi cap’. Sesuai namanya, motif kain batik dibuat dengan memadukan teknik aplikasi lilin menggunakan canting tulis dan canting cap.

Motif utama (ukurannya lebih besar) dilapisi lilin dengan bantuan canting cap. Sementara isen-isen dan cecek (motif yang lebih kecil) dilapisi dengan bantuan canting tulis.

2 thoughts on “[Review Buku] Canting, Potret Kemunafikan dari Budaya yang Meluntur

Leave a reply to tantri06 Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.