[Review Buku dan Film) Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Supernova #1)

Katanya suka banget sama Supernova gara-gara Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, tapi kok, nggak pernah diulas? Padahal saya sudah review Partikel, Gelombang, dan Inteligensi Embun Pagi. Masa novel pertamanya malah belum. Jadi, hayulah kita coba review dengan kemampuan seadanya.

Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh ©2014 Bentang Pustaka

Judul: Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Supernova #1)
Penulis: Dee Lestari
Bahasa: Indonesia
Format: mass market paperback, 364 hal.
Penerbit: Bentang Pustaka (2014)
Genre: drama, roman, fiksi ilmiah

Cerita

taken from Goodreads:

Menunaikan ikrar mereka untuk berkarya bersama, pasangan Dhimas dan Ruben mulai menulis roman yang diberi judul Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Paralel dengan itu, dalam kehidupan nyata, sebuah kisah cinta terlarang terjalin antara Ferre dan Rana. Hubungan cinta mereka merepresentasikan dinamika yang terjadi antara tokoh Kesatria dan Putri dalam fiksi Dhimas dan Ruben. Tokoh ketiga, Bintang Jatuh, dihadirkan oleh seorang peragawati terkenal bernama Diva, yang memiliki profesi sampingan sebagai pelacur kelas atas.

Tanpa ada yang bisa mengantisipasi, kehadiran sosok bernama Supernova menjadi kunci penentu yang akhirnya merajut kehidupan nyata antara Ferre-Rana-Diva dengan kisah fiksi karya Dhimas-Ruben dalam satu dimensi kehidupan yang sama.

5 Points for:

☑️ Story

☑️ Setting

☑️ Characterization

☑️ Writing style

☑️ Moral/interesting trivia

Level of Interest

Review Buku

Beberapa waktu lalu, cuitan seorang warganet di litbase menarik perhatian saya. Dia mengeluhkan kesulitannya menemukan daya tarik Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Padahal banyak banget pembaca yang suka buku ini, tapi kok nggak masuk di dia.

Saya paham, sih, sama cuitan tersebut. Bagi saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh juga termasuk acquired taste kayak tumis pare. Dicicipi sekali masih pahit, dimakan kali kedua baru terasa sedapnya.

[REVIEW BUKU] SUPERNOVA, EPISODE: PARTIKEL

Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh pertama kali saya baca saat SMA dan saya nggak ada mudeng-mudengnya. Cuma suka dongeng Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, romansa Rana-Ferre, dan bagusnya gaya bertutur Dewi Lestari. Mana paham saya baca celoteh panjang Ruben soal peta fraktal Mandelbort, paradigma kucing Schrödinger, atau reversed order mechanism. Footnote-nya tebal, bikin saya terdistraksi dan kacrek duluan. Begitu juga dengan tumpang tindih kisah Ruben-Dhimas dan Rana-Ferre-Arwin-Diva.

Setelah kuliah, saya coba baca ulang dan saya langsung jatuh cinta sama Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Sepertinya, ini memang cerita yang baru bisa saya nikmati setelah umur 20-an. Kalau sekarang, model cerita di dalam cerita di dalam cerita yang lain lagi begini selalu bikin saya terpesona dengan kompleksitasnya.

[REVIEW BUKU] SUPERNOVA: GELOMBANG (SUPERNOVA #5)

Tentu saya masih tetap belum paham benar dengan unsur sains yang coba diselipkan Dee lewat dialog Dhimas dan Ruben. Tapi tanpa meresapi soal itu pun, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh masih terasa ‘lezat’ buat saya. Boleh saja skip soal sainsnya dan fokus mengikuti kisah cinta segilima di dalamnya. Sekadar menikmati romansa sederhana nan hangat Ruben-Dhimas juga nggak apa-apa. Mau nge-ship Diva-Gio atau Diva yang bad ass doang? Boleh-boleh saja. Fokus di kupasan sains yang di-garnish Dee dengan drama? Malah tambah nggak apa-apa. Toh, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh memang menawarkan banyak fragmen cerita yang sebenarnya bebas untuk dinikmati dengan cara apa pun.

[REVIEW BUKU] INTELIGENSI EMBUN PAGI (SUPERNOVA #6), DAN KITA HARUS LEGOWO SUPERNOVA BERAKHIR ‘BEGINI SAJA’

Bagi saya, daya tarik Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh itu ada di:

  • Diksi Dee alias Dewi Lestari yang selalu ciamik dan puitis tanpa terdengar picisan.
  • Gagasan ‘what if’ yang digulirkan lewat format kisah di dalam kisah sebagai suatu bentuk plot twist. Maksudnya gimana, sih? Baca dulu bukunya sampai habis. Saya nggak mau spoiler, dong.
  • Karakter-karakter menonjol seperti Ferre dan Diva dan karakter-karakter biasa seperti Rana dan Arwin yang bersinggungan dalam kisah klise perselingkuhan, tapi dibuat menarik dan relatable, karena ya, begitulah rumitnya benak manusia. Kalau mau, masing-masing karakternya bisa dikupas lagi.
  • Romansa sederhana Ruben dan Dhimas yang sebenarnya bisa banget dibikin cerita tersendiri.

Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh selalu menjadi karya terbaik Dee di mata saya. Bahkan buku-buku Supernova selanjutnya tidak bisa menyamai kompleksitas judul ini. Apalagi format buku kedua dan ketiganya memang beda banget. Baru agak mirip lagi di buku keempat dan seterusnya, tapi tetap nggak bisa sedahsyat buku pertama.

***

Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh ©2014 Soraya Intercine Film

Judul: Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Diangkat dari: Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Supernova #1)
Sutradara: Rizal Mantovani
Bahasa: Indonesia
Tahun rilis: 2014
Produksi: Soraya Intercine Film
Genre: drama, roman, fiksi ilmiah
Bisa ditonton di: Netflix, Disney+Hotstar, Vidio

Sinopsis (film)

Dua mahasiswa Indonesia yang kuliah di AS, Dhimas (Hamish Daud) dan Ruben (Arifin Putra) bertemu di Washington DC. Keduanya memulai hubungan setelah satu malam ‘pencerahan’ dengan bahan bakar narkoba yang mereka habiskan di sebuah pesta. Saat itu, keduanya berjanji untuk menulis masterpiece sastra dan sains bersama.

Sepuluh tahun kemudian, Dhimas dan Ruben mulai menulis proyek yang pernah mereka ikrarkan. Berdasarkan dongeng Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh; pasangan tersebut mereka sebuah naskah sains yang dibalut cerita fiksi roman modern, penuh dengan karakter urban dan kompleksitasnya.

Kesatria adalah seorang eksekutif muda nan sukses bernama Ferre. Di tengah rutinitasnya, Ferre menerima permintaan wawancara dari sebuah majalah wanita. Rana (Raline Shah), reporter yang ditugaskan, langsung mencuri perhatian Ferre. Pertemuan pertama mereka berlanjut menjadi hubungan asmara, meski Rana sudah menikah dengan Arwin (Fedi Nuril).

Bintang Jatuh adalah seorang supermodel berotak brilian, Diva (Paula Verhoeven). Diva juga menjalani kehidupan ganda sebagai pelacur kelas atas.

Harus memilih antara Ferre atau Arwin, Rana mengkonsultasikan masalahnya dengan avatar cyber bernama Supernova. Tanpa sepengetahuan mereka, semua pihak yang terlibat cinta segitiga itu tampak berkonsultasi dengan Supernova.

Keputusan tak terduga Rana membawa Ferre ke dalam krisis yang mendalam di mana ia harus menghadapi trauma masa kecilnya.

Level of Interest

Review (Film)

Beralih ke film Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, kayaknya nggak banyak hal yang bisa saya bahas. Pasalnya, saya cukup menyesal bela-belain nonton film ini di bioskop. Kualitasnya beda jauh dari ekspektasi saya yang sebenarnya juga nggak tinggi-tinggi amat.

Fokus Keliru yang Tak Tertolong Latar Seindah Video Klip

Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh ©2014 Soraya Intercine Film

Saya bisa melihat kalau Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh digarap dengan budget cukup besar. Rizal Mantovani berusaha menampilkan sisi sophisticated cerita ini dengan menonjolkan para aktornya dikelilingi Jakarta yang glamor. Masih ditambah dengan adegan-adegan cantik berlatar Labuan Bajo, Bali, tambak garam di Madura, dan Taman Nasional Ujung Kulon. Rasanya kayak nonton video klip lawas Padi atau iklan rokok Bentoel.

Tapi, saya merasa fokus film ini salah. Seakan-akan yang coba ditekankan adalah cinta segitiga Re-Rana-Arwin. Ruben-Dhimas dan Diva jadi seperti karakter tempelan yang nggak ada pun juga nggak apa-apa.

Beberapa dialog puitis Dee juga disampaikan para aktornya dengan kaku. Saya jadi meringis nontonnya. Kayak sinetron Siti Nurbaya salah setting jadi abad 21.

Miscast Fatal di Karakter Diva

Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh ©2014 Soraya Intercine Film

Herjunot Ali, Raline Shah, dan Fedi Nuril didapuk sebagai Ferre, Rana, dan Arwin.  Akting mereka lumayan, kok. Kalau ada keberatan saya, paling cuma di beberapa adegan yang saya rasa salah diinterpretasikan ke layar. Adegan Rana yang enggan berhubungan badan dengan Arwin, misalnya. Dari bukunya, saya menangkap pergolakan batin Rana. Tapi di filmnya, adegan ini malah bikin penonton seteater ketawa. Lho, gimana sih?

Saya nggak masalah dengan pemilihan Hamish Daud Wylie dan Arifin Putra sebagai Dhimas dan Ruben. Chemistry mereka lumayan. Dialog mereka juga terbantu dengan animasi dan CG yang lagi-lagi bikin film terasa sophisticated.

Tapi, kesalahan terbesar di mata saya adalah pemilihan Paula Verhoeven sebagai Diva. Saya maklum kalau ini adalah proyek akting pertama Paula. Secara fisik, Paula memang pas banget untuk memerankan Diva. Tapi kalau dari segi akting? Maaf, nggak dulu. Seharusnya, casting yang harus hati-hati banget, ya Diva ini. Karena, Diva adalah pusat dari segala kompleksitas yang menjadikan Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh memikat.

Buat saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh bakal masih tertolong kalau aktor-aktornya lebih mumpuni. Pakailah aktris yang lebih matang seperti Atiqah Hasiholan buat memerankan Diva. Atau Reza Rahadian (yang sebenarnya sudah keseringan muncul kayak nggak ada aktor Indonesia lain) sebagai Arwin. Harus diakui, aktor ini jago menghidupkan sebuah karakter dengan gestur dan mimiknya yang detail. Atau Mas Nicholas Saputra jadi Ferre misalnya.

***

Yah, segitu saja kesan saya terhadap film Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Kayaknya, film ini nggak bakal ada sekuelnya, sih. Sayang juga, tapi saya juga nggak bakal mau ke bioskop lagi buat nonton Supernova yang seperti ini.

2 thoughts on “[Review Buku dan Film) Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Supernova #1)

  1. Holla mbak. Wah excited ada yang ngereview ini. Aku setuju banget dengan mbak. Aku baca novelnya dulu baru filmnya, wah kecewa mbak. Bener kata mbak, pemilihan aktornya mengecewakan, aktingnya juga ga gitu bagus dan kaku. Kayaknya susah ya kalau baca bukunya dulu lalu baru nonton filmnya, karena kalo ada hal kecil aja yang miss udh deh langsung kecewa. Tapi karyanya dee lestari untuk novel yang ini dan seri lainnya dan juga novel aroma karsa aku rasa lebih baik ga dibuat filmnya ya, karena penilaianku secara pribadi gini “bisa gt perfilman indonesia buat yang seciamik novelnya?”….,

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.