Review: Inteligensi Embun Pagi (Supernova #6), Dan kita harus legowo Supernova berakhir ‘begini saja’

“Kejahatan yang paling mengerikan tidak akan muncul dengan api dan tanduk, tetapi jubah malaikat. Ia membius dengan kebajikan. Mereka yang terbius akan rela mempertaruhkan nyawa untuk membela apa yang mereka kira kebajikan.”

Inteligensi Embun Pagi. Photo credit: GoGirlMagz
Inteligensi Embun Pagi.    Photo credit: GoGirlMagz

Judul: Inteligensi Embun Pagi (Supernova #6)
Penulis: Dee Lestari
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 724 hal.
Penerbit: Bentang Pustaka (2016)
Genre: fiksi ilmiah

Cerita

Setelah mendapat petunjuk dari upacara Ayahuasca di Lembah Suci Urubamba, Gio berangkat ke Indonesia. Di Jakarta, dia menemui Dimas dan Reuben. Bersama, mereka berusaha menelusuri identitas orang di balik Supernova.

Di Bandung, pertemuan Bodhi dan Elektra mulai memicu ingatan mereka berdua tentang tempat bernama Asko. Sedangkan Zarah, yang pulang ke desa Batu Luhur setelah sekian lama melanglangbuana, kembali berhadapan dengan misteri hilangnya Firas, ayahnya.

Sementara itu, dalam perjalanan pesawat dari New York menuju Jakarta, teman seperjalanan Alfa yang bernama Kell mengungkapkan sesuatu yang tidak terduga. Dari berbagai lokasi yang berbeda, keterhubungan antara mereka perlahan terkuak. Identitas dan misi mereka akhirnya semakin jelas.

Hidup mereka takkan pernah sama lagi.

2 Points for:

Story

Setting

check signCharacterization

check signWriting style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

My Review

Akhirnya, setelah belasan tahun Supernova tamat juga. Sebagai konklusi serial sepanjang ini, tentunya ada begitu banyak yang bisa dibahas dari Inteligensi Embun Pagi. Tapi bahasan kelewat detail bakal jadi spoiler. Meskipun saya pikir seluruh penggemar Dee di Indonesia sudah baca buku ini (seperti biasa, saya pembaca yang paling kudet)

Coba perhatikan simbol-simbol di bagian belakang buku. Kita akan bertemu lagi dengan para pemiliknya yang sudah pernah muncul. Lalu kita akan diperkenalkan pada para pemilik simbol yang lain. Siapa Foniks, Murai, dan Permata? Apa kaitan mereka semua? Apa tujuan para peretas, sarvara, dan infiltran? Apa tujuan Supernova? Bagaimana mereka semua bertemu? Kenapa volume terakhir serial ini tidak menyertakan kata ‘Supernova’ dalam judul? Semua itu akan terjawab begitu pembaca membalik halaman terakhir.

Simbol para peretas. Photo credit: Goodreads
Simbol para peretas.    Photo credit: Goodreads

Sejak Partikel, saya sudah melepaskan harapan serial ini akan kembali ke gaya penceritaan Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh atau setidaknya Akar. Tapi harus saya akui, mengikuti serial ini seperti menonton Beautiful Mind yang perlahan-lahan menjelma jadi Thor dikawinkan dengan I am Number Four. Buku pertama membuat saya terpukau dengan kompleksitasnya. Buku kedua menyajikan filosofi yang cukup mendalam (setidaknya bagi saya yang awam ini), buku ketiga setidaknya masih kocak dan cukup orisinil dari gaya penulisan. Dan ekspektasi saya terus berkurang mulai buku keempat sampai buku terakhir.

Buku terakhir ini kembali terasa segar karena semua karakter favorit saya mendapatkan porsi peran yang cukup besar. Elektra yang ajaib, Mpret, para penghuni Elektra Pop, Reuben, dan Dimas muncul lagi.

Dee mencoba memberikan sedikit twist di sana-sini. Cukup berhasil menjadikan cerita lebih seru. Tapi sejak Partikel dan Gelombang, saya rasa memang tidak ada lagi kejutan besar. Unsur fiksi ilmiah masih dipertahankan, meskipun tak ada ‘ilmu’ baru yang disampaikan. Sepertinya Dee lebih ingin menonjolkan sisi action dan roman. Untungnya, Dee memilih open ending. Saya rasa akhir seperti ini memang paling tepat untuk Supernova.

Jadi, saya ikhlaskan Supernova berakhir ‘begini saja’. Saya ikhlaskan juga kenyataan bahwa Dee sudah meninggalkan ‘keajaibannya’ dan menjadi seorang ‘penulis yang berbakat saja’. Saya selalu berpikir kalau para penulis jenius itu bisa menelurkan karya-karya brilian saat mereka tengah berkutat dengan ketidakbahagiaan, depresi, atau pencarian jati diri. Barangkali Dee telah jauh melewati masa-masa itu. Meskipun begitu, saya tetap memuji keahliannya dalam meramu kata dan kalimat. Saya harap dunia literasi Indonesia akan segera memiliki Dee-Dee yang baru.

Favorite quotes:

“Aku masih ingin bisa berharap meskipun cuma kepada udara kosong.”

“Aku tahu rasanya terobsesi. Aku tahu bagaimana obsesi bisa terlihat seperti cinta.”

“Drama adalah komplikasi. Drama membuat kalian egois, berpikir kepentingan pribadi kalianlah yang paling penting.”

2 thoughts on “Review: Inteligensi Embun Pagi (Supernova #6), Dan kita harus legowo Supernova berakhir ‘begini saja’

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.