Judul: Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis: Dee Lestari
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 134 hal.
Penerbit: Truedee Books & Gagas Media
(2006)
Genre: kumpulan cerita

Buku ini berisi 18 tulisan yang terdiri dari prosa lirik dan cerita pendek yang ditulis Dee pada tahun 1995–2005.
Cerita utama adalah Filosofi Kopi yang dimuat pada halaman pertama.
1 Point for:
❎ Story
❎ Characterization
☑️ Writing style
❎ Moral/interesting trivia
Level of Interest
💗💗💗💗💗
Review
Saya memang telat karena baru bikin review Filosofi Kopi sekarang. Padahal filmnya sudah rilis berbulan-bulan lalu dan saya sendiri sudah punya buku ini sejak zaman kuliah. Tapi nggak papalah review-nya sekarang.
Saya adalah fans berat Dee (sebagai penulis). Saya ‘memuja’ karya-karyanya.
Nah, Filosofi Kopi ini bagi saya termasuk salah satu karya terbaik Dee. Bahkan jika dibandingkan dengan Rectoverso yang formatnya jauh lebih unik, cerpen-cerpen di Filosofi Kopi tetap lebih berkesan buat saya.
Melalui kumpulan cerpen ini, Dee menunjukkan kalau dia adalah penutur yang puitis, tapi tidak mendakik-dakik (pinjam istilahnya Kun Sila Ananda), nyastra tapi tetap witty. Saya memang selalu kagum dengan cara Dee menuliskan kalimat yang berima tapi nggak pernah bikin saya eneg.
Menurut Dee, prosa dan cerpen yang dia masukkan dalam kompilasi ini mengusung tema ‘cinta yang bertransformasi’. Beberapa cerita memang terlihat jelas mengusung tema ini, misalnya “Sikat Gigi”, “Sepotong Kue Kuning”, dan “Mencari Herman”. Walaupun begitu, saya tidak bisa merasakannya dalam beberapa cerita lain, misalnya “Buddha Bar” dan “Selagi Kau Lelap”.
Cerita utama dalam kompilasi ini memang “Filosofi Kopi”, tapi yang jadi favorit saya justru “Sikat Gigi”. Kisahnya tentang friends to lovers relationship antara Tio yang berjiwa “monokrom”, berpikiran logis, dan praktis dengan Egi yang romantis dan imajinatif. Penuturan cerita dari sudut pandang Tio yang lempeng itu justru terasa menyentuh dan helplessly romantic.
Selain “Sikat Gigi”, “Sepotong Kue Kuning” juga menyuguhkan keunikan khas Dee yang rasanya nggak bakal bisa saya pelajari sebagai seorang penulis.
Dee menggambarkan kisah asmara Indy, tokoh utama cerita dengan siklus bulan yang dia metaforakan sebagai sepotong kue kuning.
“Rico de Coro” menceritakan kisah absurd seekor kecoa hina jatuh cinta kepada manusia.
“Mencari Herman” dibuka dengan cantik menggunakan penjelasan dua peribahasa. Menurut saya, paragraf-paragraf pembuka di judul itu cerdas.
“Lara Lana” yang pahit tapi mengejutkan dengan plot twist di akhir cerita juga bikin saya makin tergila-gila sama buku ini.
Bicara soal prosanya, saya paling suka yang berjudul “Spasi” dan “Jembatan Zaman”.
“Jembatan Zaman” menuturkan kecerdasan dan kebijaksanaan manusia yang bertumbuh seperti sebuah pohon.
Sementara itu, “Spasi” menuturkan pentingnya sebuah ‘jeda’ dalam hubungan. Ini kutipan favorit saya.
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang?
“Spasi” dari Filosofi Kopi (Dee Lestari)
Filosofi Kopi: The movie

Jujur saya belum terlalu berminat menonton adaptasi layar lebar “Filosofi Kopi”. Padahal rating dan review-nya cukup bagus. Kenapa?
Pertama, seperti yang sudah saya sampaikan di review Rectoverso, kekuatan cerita bikinan Dee itu ada pada penyampaiannya, bukan jalinan cerita itu sendiri. Tema cerita yang diusung Dee itu biasa saja, kok (kecuali Supernova). Namun, kalimat-kalimatnya yang indah menjadikan keseluruhan cerita memikat. Karena itulah, saya cuma ngasih 1 poin tapi 5 hati full. Saya nggak yakin keindahan itu bisa diterjemahkan lewat gambar bergerak yang justru membatasi imajinasi.

Kedua, saya sudah kadung kapok sama adaptasi layar lebar Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang terlalu mengecewakan.
Saya cukup puas dengan film Rectoverso. Karena Filosofi Kopi tidak dijadikan omnibus seperti Rectoverso, saya berasumsi filmnya bakal penuh ‘pengubahan’ seperti Madre.
Lagipula cerita favorit saya memang bukan Filosofi Kopi-nya.

aku jugaaa masih ‘was-was’ mau lihat filmnya Filosofi Kopi, huhu…
ditunggu review film Supernova KBJ-nya Mbak Tan *wink
LikeLike
Nontono sil. Trus aku crtitanono…
LikeLike
emoh… nontono sek… 😛
LikeLike
Menurutku Filosofi Kopi ini emang the best-nya Dee, dan terus terang aku kecewa ma Madre dan Rectoverso. Kalo untuk adaptasi aku malah belum nonton semua.
LikeLike
Ah iya aku juga ga terlalu suka madre
LikeLike