[Review Buku] Me Before You, Saat ‘Kewajiban untuk Hidup’ dan ‘Hak untuk Mati’ Jadi Kontroversi

Ini lho, buku dan film yang bikin heboh di negara-negara bule sana sejak pertengahan Juni 2016 lalu. Di Indonesia sendiri kurang terdengar gaungnya (kecuali di kalangan pembaca buku), karena negara kita memang belum terlalu perhatian dengan isu assisted suicide (bunuh diri dengan bantuan) atau dying with dignity. Iya, kita masih sibuk berantem soal menghormati dan tidak menghormati puasa.

Me Before You. Photo credit: Goodreads
Me Before You. Photo credit: Goodreads

Judul: Me Before You
Penulis: Jojo Moyes
Bahasa: Inggris
Format: ebook, 385 hal.
Penerbit: Penguin Books (2012)
Genre: romance, realistic fiction

Cerita

Synopsis taken from Goodreads:

Lou Clark knows lots of things. She knows how many footsteps there are between the bus stop and home. She knows she likes working in The Buttered Bun tea shop and she knows she might not love her boyfriend Patrick.

What Lou doesn’t know is she’s about to lose her job or that knowing what’s coming is what keeps her sane.

Will Traynor knows his motorcycle accident took away his desire to live. He knows everything feels very small and rather joyless now and he knows exactly how he’s going to put a stop to that.

What Will doesn’t know is that Lou is about to burst into his world in a riot of colour. And neither of them knows they’re going to change the other for all time.

4 Points for:

Story

Setting

Characterization

Writing style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

My Review

Berbicara mengenai Me Before You, mau tidak mau kita harus membahas kondisi Will Traynor, sang tokoh utama pria. Will adalah pasien quadriplegic atau tetraplegia, kelumpuhan akibat penyakit atau cedera yang menyebabkan hilangnya fungsi keempat anggota tubuh vital. Dalam kasus Will, kelumpuhannya dimulai dari batas leher hingga ujung kaki. Tak hanya hilangnya fungsi motorik dan sensoris yang membuat Will sengsara. Kesakitan luar biasa dan risiko kematian yang menghantui setiap hari membuat Will memutuskan untuk menghakhiri hidup dalam waktu 6 bulan setelah bertemu dengan Lou.

Hak untuk Mati dengan Terhormat

Saya tidak akan membahas romansa antara Lou dan Will terlalu dalam. Kalian pasti sudah bisa menebak seperti apa, romantis, ironis sekaligus lucu, penuh chemistry, dan bikin banjir air mata. Saya bisa jamin kalian bakal merasa campur aduk setelah membacanya.

Yang ingin saya soroti dari buku ini  adalah isu hak untuk mati dan assisted suicide. Mungkin kita semua sudah sepakat kalau semua orang memiliki hak untuk hidup. Tapi bagaimana dengan hak untuk mati? Rasanya isu yang satu ini masih kontroversial, bahkan di negara-negara maju yang sudah akrab dengan gagasan-gagasan liberal.

Para pendukung hak untuk mati beranggapan kalau setiap individu memiliki kendali penuh atas hidupnya. Setiap orang berhak hidup dengan cara yang mereka inginkan, juga berhak untuk mati dengan cara yang mereka inginkan. Bagi mereka ini adalah hak veto yang tak bisa diganggu gugat.

Die with dignity. Photo credit: Cafepress.com
Die with dignity. Photo credit: Cafepress.com

Dari sanalah gagasan assisted suicide muncul. Jika seseorang merasa penyakit atau keterbatasan fisik membuat hidupnya terasa terlalu berat untuk dijalani, maka dia berhak memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dengan begitu mereka bisa mati dengan terhormat, dying with dignity.

Dignitas dan Misi Antarkan Jiwa Putus Asa Menuju Kebahagiaan

Dukungan terhadap hak untuk mati melahirkan Dignitas, sebuah ‘organisasi kemanusiaan’ yang didirikan oleh Ludwig Minelli, seorang pengacara asal Swiss pada tahun 1998. Misi Dignitas adalah membantu para penyandang disabilitas atau penderita penyakit stadium akhir untuk ‘mengakhiri hidup secara terhormat’. Daripada menunggu maut menjemput dalam keadaan menyedihkan, lebih baik si empunya tubuh yang memutuskan kapan dia harus mati.

Minelli menjalankan Dignitas bersama keluarga dan sejumlah tenaga medis di Zurich (Jerman) dan Swiss. Menurut laporan sejumlah media Inggris, lebih dari 1000 nyawa melayang ‘berkat’ bantuan Dignitas. Konon, keberadaan Dignitas membuat wisata bunuh diri ke Swiss dan Jerman berkembang pesat.

Minelli berdiri di depan salah satu klinik Dignitas. Photo credit: REX
Minelli berdiri di depan salah satu klinik Dignitas. Photo credit: REX

Jadi seperti apa prosedur assisted suicide di sana? Hampir mirip dengan euthanasia sebenarnya. Pasien diberikan anestesi, kemudian obat mematikan dalam dosis tinggi. Tapi perbedaan mendasar antara assisted suicide dan euthanasia terletak pada pengambilan keputusan untuk menjalankan prosedur. Euthanasia biasanya diputuskan oleh anggota keluarga, karena pasien tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk mengambil keputusan. Sementara assisted suicide murni keputusan si pasien. Calon pasien Dignitas harus menjalani serangkaian wawancara, tes kesehatan fisik dan mental, serta menandatangani sejumlah dokumen persetujuan sebelum proposalnya diterima.

Kamar di salah satu klinik Dignitas. Photo credit: EPA
Kamar di salah satu klinik Dignitas. Photo credit: EPA

Bisa diduga, keberadaan Dignitas dan misi mereka yang kontroversial mengundang kritikan dari berbagai pihak, terutama dari kaum pro-life. Sejumlah dugaan malapraktik dan tuduhan memperkaya diri juga sempat dialamatkan kepada Minelli dan para staf-nya. Untuk yang satu ini, kepastiannya masih simpang siur.

Me Before You (film): Panen Kecaman Dari Kaum Difabel

Film Me Before You? Saya juga belum nonton, kok. Tapi berita tentang film ini sudah wara-wiri di semua linimasa jejaring sosial yang saya punya. Salah satunya soal boikot dari sejumlah kaum difabel yang pro-life. Mereka beranggapan film tersebut memberikan pesan yang salah bagi generasi muda, terutama yang menyandang disabilitas. Menurut mereka hidup seorang difabel pun tetap layak diperjuangkan dan dijalani. Sementara memutuskan untuk menjalani prosedu assisted suicide justru menginjak-injak kehidupan itu sendiri.

Protes kaum difabel terhadap film Me Before You. Photo credit: Twitter/ Carly Findlay - Twitter/Jax Jacki Brown
Protes kaum difabel terhadap film Me Before You.  Photo credit: Twitter/Carly FindlayTwitter/Jax Jacki Brown

Mana yang benar? Menurut saya untuk menjawabnya kita harus kembali ke topik semula. Apakah setiap manusia yang punya hak untuk hidup juga berhak untuk memutuskan kematiannya? Saya sendiri mungkin bisa dibilang pro-life. Tapi apakah lantas semua orang harus sependapat dengan saya? Rasanya tidak. Lagipula toh saya berbicara sebagai orang sehat dengan anggota tubuh lengkap yang masih berfungsi secara maksimal. Mana saya tahu apa yang dirasakan para penyandang disabilitas?

2 thoughts on “[Review Buku] Me Before You, Saat ‘Kewajiban untuk Hidup’ dan ‘Hak untuk Mati’ Jadi Kontroversi

  1. Menurut saya itu sudah hak bagi mereka dengan agama yang bebas maka baginya,melakukannya adalah hal yang toleransi bagi penyandang penyakit tsb, ya benar juga bila penyakit itu dijalankan terus menerus akan sakit pada akhirnya, and for this movie we take a positive thinking from film “me before you”

    Very nice film and blog 🙂

    @andriseee

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.