Review: By The Time You Read This, I’ll be Dead, Potret Miris Bullying & Bunuh Diri Di Kalangan Remaja

Bullying, teen depression, fat-shaming, suicide

By The Time You Read This, I’ll be Dead

Judul: By The Time You Read This, I’ll be Dead
Penulis: Julie Anne Peters
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 251 hal.
Penerbit: Noura Books (2015) (first published 2014)
Genre: drama, realistic fiction, young adults

Sinopsis

Daelyn Rice tahu dirinya adalah barang rusak. Tak dapat diperbaiki lagi. Jadi hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah membebaskan dunia dari keberadaannya.

Daelyn sudah mencoba menghabisi nyawanya berkali-kali, namun selalu gagal. Upaya terakhir membuat tenggorokannya rusak. Tapi semuanya akan berbeda kali ini. Daelyn telah menjadi anggota situs panduan bunuh diri yang terpercaya. 23 Hari lagi dia akan meninggalkan dunia yang telah menghancurkannya, meninggalkan orangtuanya dari rasa malu karena melahirkan seorang manusia gagal.

Tetapi tiba-tiba saja ada seorang cowok aneh bernama Santana yang menyusup ke ruang kecil di dalam hatinya. Daelyn mengabaikannya setiap waktu, tetapi Santana memang berbeda. Pemuda dengan penyakit parah itu tidak seperti gadis-gadis petugas anti-bullying di sekolah yang justru memperlakukannya paling sadis. Tidak seperti cowok terpopuler di sekolah yang melecehkannya di kamar mandi.

Tetapi tekad Daelyn untuk pergi sudah bulat. Tak ada yang cukup berharga untuk membuatnya berubah pikiran.

3 Points for:

check signStory

Setting

check signCharacterization

check signWriting style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

Review

Lonely

Angry

Desperate

Useless

Unloved

Damaged

Mungkin itu yang dirasakan oleh Daelyn. Bullying, fat-shaming, pelecehan seksual, pelecehan verbal. Di usia belasan, tak ada yang belum pernah Daelyn alami. Daelyn selalu sendirian, baik di rumah maupun di sekolah. Di sekolah, dia adalah target bullying bagi semua orang. Yang paling membuatnya hancur, perasaannya terabaikan oleh kedua orang tua yang lebih sibuk bekerja.

Buku ini benar-benar bacaan yang bikin depresi. Halaman demi halaman dipenuhi kepahitan Daelyn. Tetapi anehnya saya bisa mengerti apa yang dia rasakan. Jauh lebih mudah untuk merasa terhubung dengan cerita ini daripada 13 Reasons Why yang tampaknya lebih sukses di pasaran. Sudah dijadikan serial televisi pula. Saya rasa Julie Anne Peters berhasil menghidupkan karakter Daelyn dengan sangat baik dan membuat pembaca merasakan empati.

Buku ini menawarkan interpretasi ganda bagi para pembaca, terutama di bagian ending. Spoiler, pembaca bisa menyimpulkan Daelyn membatalkan rencana bunuh dirinya atau malah sebaliknya. Saya, sih, termasuk golongan pro kesimpulan kedua. Saya rasa condong ke konklusi yang mana tergantung dari tingkat optimisme masing-masing pembaca. Clearly, I’m not that optimistic.

Daripada pakai narasi dari saya, sepertinya bakal lebih mudah menjelaskan apa yang Daelyn rasakan melalui quote-quote ini.

“He didn’t listen. He didn’t listen. Nobody ever listen to me.”

“NO ONE, I repeat, NO ONE HAS THE RIGHT TO HURT ANOTHER HUMAN BEING THIS BADLY.”

“No one ever found out what was happening inside me. How the pain was eating me away. No one ever came to my rescue, or stood up for me.”

“Flush me down the toilet. Human waste.”

“I shouldn’t have been there. I should never have been born.”

“But why go through this interminable hell? What’s the point of being here if you feel unloved and abandoned by those you used to trust and count on? What’s the point of living if you don’t belong anywhere?”

“I have no reason to live, that’s all. When I’m gone, I don’t want to be remembered.”

“God has a heart? That’s news for me.”

“I just want the pain to end.”

Ada banyak orang yang berhasil lepas dari trauma dan depresi akibat bullying atau masa kecil tak bahagia. Atau setidaknya berhasil berdamai dengan masa lalu dan menjalani hidup dengan baik. Menjadi normal dengan kerusakan di dalam diri kita memang tak mungkin. Tetapi bahkan kaca yang pecah pun bisa direkat kembali, meskipun dengan goresan di sana-sini.

Orang-orang seperti Daelyn mengembangkan self-image yang terdistorsi. Rasa sakit yang membekas terlalu dalam membuatnya sulit untuk mempercayai kalau dia juga manusia yang berharga, dicintai, dan berhak bahagia. Menurut saya, butuh dua kekuatan untuk menarik orang seperti Daelyn dari sumur gelap tempatnya bersembunyi. Orang-orang yang tak menyerah untuk menarik, dan keinginan untuk keluar dari mereka yang sedang ditarik. Sedihnya, hal seperti ini tak mudah untuk dilakukan. Jauh lebih mudah untuk dikatakan saja. I’ve been there, too. And failed miserably to save someone I love.

Yah, intinya saya berharap buku ini bisa menjadi sebuah alat pembelajaran bagi kita semua tentang efek merusak bullying. Saya harap membaca buku ini akan membuat banyak orang tergerak untuk melawan atau setidaknya menjauhi tindakan bullying. Bukan dianggap sebagai sebuah fiksi yang mencoba glamorize dan glorify tindakan bunuh diri.

 

3 thoughts on “Review: By The Time You Read This, I’ll be Dead, Potret Miris Bullying & Bunuh Diri Di Kalangan Remaja

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.