
Ini adalah unggahan kedua saya yang berpayung tajuk Ask Me a Question. Bagian dari blog challenge yang kemungkinan tidak akan berlnajut. Tapi nggak papalah. Paling tidak challenge ini sudah membuat konten di The Stupid Bookworm sedikit lebih kaya.
Jadi, seseorang bertanya apakah saya punya fobia. Ini adalah jawaban panjang saya untuk pertanyaan tersebut.
Menurut Merriam-Webster Dictionary, ini adalah definisi dari kata bookworm.
Bookworm, diterjemahkan sebagai kutu buku dalam bahasa Indonesia. Inilah kata yang saya gunakan untuk menyebut diri sendiri beberapa tahun terakhir. Kata ini juga menjadi nama blog buku saya.
Sebenarnya bookworm atau kutu buku adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seluruh jenis serangga yang biasa memamah kertas. Terutama kertas halaman pada buku-buku yang tak terawat.
Untunglah bookworm itu serangga, bukan worm alias cacing beneran. Kenapa? Soalnya saya paling takut sama cacing. Dan meskipun bookworm bahkan tidak berada dalam satu genus, familia, atau ordo dengan worm, rasanya tetap ironis saya menyebut diri sendiri bookworm. Sebagian karena saya sudah tidak membaca banyak buku seperti dulu. Sebagian lagi karena saya fobia sama cacing itu tadi.
Saya takut cacing, segala jenis cacing. Film paling menakutkan yang pernah saya tonton adalah horor klasik Indonesia, Cincin Berdarah. Pasalnya ada adegan seseorang muntah cacing di sana. Saya juga tidak sanggup menonton liputan tentang tradisi menyantap cacing wawo dan palolo di salah satu daerah di nusantara. Itu adalah tradisi yang unik, tetapi lebih baik saya skip saja ke tontonan yang lain.
Saya keberatan menginjakkan kaki telanjang di tanah lembap, karena dalam bayangan saya di tanah seperti itu bakal ada ribuan telur cacing yang bisa menyusup masuk ke pori-pori kulit. Saya tidak tahu apakah hal seperti ini masuk akal, tetapi mending nggak ambil risikolah.
Fobia cacing saya ini lumayan sering menjadi bahan lelucon di kantor. Kadang salah satu rekan kerja saya mengirim gambar cacing tanah lewat WhatsApp cuma karena kepingin melihat saya melempar ponsel. Suatu kali saya balik dari toilet dan Google image di desktop saya sudah menunjukkan gambar cacing tanah HD. Tentunya saya langsung drama, lari dari meja sambil bergidik dan marah-marah. Pernah juga itu pria lemesh dari meja seberang memegang cacing hidup dari halaman belakang kantor dan menunjukkannya kepada saya.
Sebut saja saya drama queen, tak masalah. Tapi guyonan soal cacing benar-benar tidak lucu buat saya.
Saya juga tidak ingat kenapa bisa fobia sama cacing. Tetapi kenyataannya saya memang takut campur jijik. Belakangan fobia ini malah bikin saya tak berani makan sayur bening bayam juga. Suatu kali saya pernah melihat teman saya mengeluarkan cacing matang yang rupanya ikut termasak bersama sayur bening bayam. Sejak itu saya tidak menyentuh sayur bening lagi.
Jadi, demikian cerita panjang dan tak menarik tentang fobia konyol saya terhadap satu makhluk mungil nan jauh dari kata berbahaya. Sekian.