[Review] 50 Years of Silence: Kisah Nyata Wanita Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu

Judul: 50 Years of Silence
Penulis:
Jan Ruff O’Herne
Bahasa:
Indonesia
Format:
ebook, 336 hal.
Penerbit:
Elex Media Komputindo (2011)
Genre:
non-fiksi, autobiografi

Elex Media Komputindo

Cerita

Dikutip dari Goodreads:

Masa kanak-kanak Jan Ruff-O`Herne yang penuh keceriaan di masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia berakhir ketika Jepang menyerbu pulau Jawa pada tahun 1942. Lalu ia diasingkan di Kamp Penjara Ambarawa bersama ibu dan kedua saudara perempuannya.

Pada bulan Februari 1944, ketika Jan baru berusia 21 tahun, ia diambil dari kamp dan dipaksa menjadi budak seks dalam sebuah rumah bordil bagi para tentara Jepang. Di sana ia sering dipukuli dan diperkosa selama tiga bulan. Lalu ia dikembalikan ke kamp dengan ancaman bahwa seluruh keluarganya akan dihabisi jika ia berani coba-coba mengungkapkan kebenaran tentang kekejaman yang dideritanya.

Selama lima belas tahun, Jan tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang peristiwa yang dialaminya semasa perang, namun pada tahun 1992, setelah menyaksikan di televisi ketika para korban perkosaan pada Perang Korea memohon keadilan, ia memutuskan angkat bicara dan mendukung mereka. Namun, sebelum ia sanggup bicara di depan publik, ia harus memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan tentang segala sesuatu yang pernah dideritanya pada keluarga dan teman-temannya.

Ketabahannya dalam bertahan hidup menunjukkan kekuatan batin dan imannya yang teguh. Selama lima belas tahun, ia berjuang sekuat tenaga tanpa kenal lelah untuk membela hak-hak kaum wanita dalam perang dan konflik bersenjata.

Level of Interest

Review

Tak banyak yang tersisa untuk saya ceritakan lagi. Sinopsis di atas sudah cukup menjelaskan sebagian besar isi buku ini. Namun ini memang buku yang layak dibaca, karena berbagai alasan.

Benar, Jeanne Alida ‘Jan’ Ruff O’Herne adalah mantan jugun ianfu. Seorang noni Belanda yang masih bersaudara sepupu dengan Audrey Hepburn, menghabiskan masa kecil nan bahagia di Semarang zaman kolonial, namun justru berakhir sebagai salah satu comfort women di masa penjajahan Jepang. Membandingkan kehidupan Hepburn dan O’Herne yang begitu bertolak belakang rasanya seperti sebuah ironi.

Audrey Hepburn. Photo: Willy Rizzo

Kisahnya pertama kali saya baca dari edisi lama majalah Femina. Waktu itu saya sedikit heran, ada seorang wanita Eropa yang menjadi wanita penghiburnya Jepang. Saya pikir mereka semua hidup dalam kenyamanan seperti halnya imigran dari Belanda lain pada zaman kolonial.

Namun prasangka saya itu salah besar. Para meneer, sinyo, nyonya, dan noni ini pun ikut menelan pil pahit saat Jepang menduduki tanah air. Mereka pun ditawan dan dipaksa hidup dalam kondisi tak layak seperti halnya penduduk pribumi pada masa itu.

Jan Ruff-O’Herne mengenakan blus pemberian sepupunya, Audrey Hepburn di Amsterdam, 1946.   Photo: Koleksi pribadi Jan Ruff-O’Herne

Sebagian orang yang terlanjur benci Belanda mungkin menyebut O’Herne ‘masih cukup beruntung’. Dia hanya sempat menjadi wanita penghibur selama tiga bulan. Itu pun dengan segelintir tentara yang masih berpangkat. Tidak seperti kebanyakan jugun ianfu pribumi yang dipaksa melayani belasan hingga puluhan tentara kroco setiap hari, dengan jangka waktu yang cukup lama sampai kondisi mental dan fisik mereka menurun drastis. Tak sedikit yang lantas dikucilkan karena mengidap penyakit menular. Mantan wanita penghibur yang dipasung selama belasan tahun karena gangguan jiwa juga tak kurang.

Tapi semua itu tak lantas mengubah kenyataan bahwa war rape adalah kejahatan perang yang benar-benar terjadi. Tak mengecilkan fakta bahwa O’Herne dan para wanita Belanda yang dijadikan wanita penghibur seperti dirinya juga korban. Jangan dikira masa tiga bulan itu tidak menyisakan trauma yang mendalam selama puluhan tahun bagi O’Herne. Seperti yang dikemukakan Roxane Gay di dalam kumpulan esainya yang berjudul Not That Bad: Dispatches from Rape Culture, mengecilkan pengalaman pahit seorang korban pemerkosaan dengan kata-kata ‘masih cukup beruntung’ atau ‘tidak seburuk itu’ hanya menambah beban mental.

Jan Ruff-O’Herne memegang sapu tangan bersulam tanda tangan rekan-rekannya di rumah bordil Jepang.  Photo: Carol Ruff

Saya rasa kisah hidup O’Herne justru memberi nilai lebih bagi perjuangan para mantan jugun ianfu. Bisa jadi kesaksiannya malah bergaung lebih kuat daripada para korban dari Asia yang sudah lebih dulu bersuara. Selama bertahun-tahun pemerintah Jepang menyangkal keberadaan jugun ianfu dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap mereka. Namun cerita O’Herne membuat orang-orang dengan prasangka seperti saya terpikir, “Ternyata ada juga orang Eropa yang dipaksa jadi jugun ianfu.” Dengan demikian ceritanya membuat seluruh dunia tersentak dan sadar, kejahatan ini sungguh-sungguh terjadi. Siapa saja bisa menjadi korban.

Jan Ruff-O’Herne bersama eks-jugun ianfu dari Korea, China, dan Filipina di International Public Hearing, Tokyo, 1992.   Photo: Carol Ruff

Pada akhirnya, O’Herne dan para wanita eks-jugun ianfu dari berbagai negara memang berhasil mendapatkan permintaan maaf resmi dari pemerintah Jepang. Namun masih banyak kejahatan kemanusiaan yang mungkin belum terungkap dari masa Perang Dunia II, I, atau perang-perang lainnya di masa lalu.

Saya cuma berharap kisah-kisah seperti ini selalu diceritakan kembali sebagai pengingat bahwa perang tidak pernah dan tidak akan menjadi solusi untuk permasalahan dunia.

3 thoughts on “[Review] 50 Years of Silence: Kisah Nyata Wanita Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.