Halo! Ini postingan pertama The Stupid Bookworm yang membahas book trivia. Biasanya cuma saya cantumkan di bagian bawah review buku. Tapi, kali ini kepingin saya bahas sedikit lebih detail.
Kali ini, saya mau ngomongon book trivia dari novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado. Ini adalah salah satu karya eyang Yapi Tambayong—nama asli Sylado—yang paling sering saya baca ulang. Mungkin kalian sudah pernah nonton adaptasi layar lebarnya. Dulu, film Ca-Bau-Kan rutin diputar di televisi setiap Imlek. Kalau mau baca review-nya, silakan simak di sini, ya!
Selain ceritanya bagus, Ca-Bau-Kan juga menyuguhkan berbagai trivia sejarah yang menarik. Salah satunya adalah nilai mata uang logam pada zaman Hindia Belanda.
Ternyata, kata “sepeser” yang sering digunakan dalam kalimat “tak punya uang sepeser pun” adalah uang logam dari zaman Belanda. Begitu juga peribahasa “setali tiga uang”.
Uang logam zaman Hindia Belanda itu antara lain goweng, nilainya 0,25 sen. Itu adalah uang terendah waktu itu. Di atas goweng adalah peser, nilainya 0,50 sen; kemudian di atasnya lagi duwit, nilainya 0,85 sen; di atasnya lagi sen nilainya 1 sen; lalu benggol nilainya 2,5; seteng nilainya 3,5 sen; kelip nilainya 5 sen; ketip nilainya 10 sen; talen nilainya 25 sen; suku nilainya 50 sen; perak nilainya 100 sen, ringgit nilainya 250 sen, dan ukon nilainya 1000 sen, atau sama dengan 10 gulden, dibuat dari emas. Semuanya ada dalam tas Tinung.
—Ca-Bau-Kan (Remy Sylado)
Selama ini kita jarang memikirkan arti “tak punya uang sepeser pun” atau “seperak pun tak ada” secara mendalam. Hampir semua orang tahu intinya adalah ‘tak punya uang sedikit pun’. “Setali tiga uang”, ya, artinya ‘sama saja’.
Padahal kalau dipikir-pikir lagi, sepeser itu apa, sih? Lalu, sejak kapan kita menyebut uang logam dengan sebutan perak? Ternyata, keduanya adalah istilah zaman kolonial yang masih digunakan sampai sekarang.
Menurut KBBI, sepeser itu nilainya setengah sen (0,50 sen). Sementara seperak itu artinya 100 sen.
Terus, bagaimana penjelasan dari peribahasa “setali tiga uang”? Selama ini, saya pikir tiga uang logam diikat saja, kok, artinya bisa jadi ‘sama saja’? Setelah baca penjelasan soal uang logam di Ca-Bau-Kan, saya jadi agak tercerahkan. Mungkin setali di sini sama dengan setalen, ya?
Beberapa situs salah menyebutkan nilai setali adalah 75 sen atau 3 keping uang 25 sen. Terus, saya cari di KBBI. Setali yang digunakan dalam peribahasa tersebut memang sama dengan talen dalam penjelasan Remy Silado yang nilainya sama dengan 25 sen.
Iseng-iseng, saya tanya kepada Bapak dan Ibu yang memang masih njamani macam-macam nilai uang logam itu. Zaman dulu, uang logam itu bolong di tengah. Bisa diikat jadi nilai tertentu. Seperti kita di zaman sekarang yang sering dapat kembalian Rp1.000 dari 10 keping uang Rp100 diselotip.
Nah, setali itu awalnya 2 keping uang logam ketip (10 sen) dan 1 kelip (5 sen) yang diikat jadi satu. Jadi, setali memang sama dengan tiga keping uang logam.
Akhirnya, saya paham penjelasan peribahasa yang satu itu. Setelah sekian lama, akhirnya saya tahu kenapa tiga keping uang logam sama dengan setali. Semua gara-gara novel Ca-Bau-Kan.






