[Review Buku] Hallowe’en Party, Novel Agatha Christie yang Jadi Inspirasi Film A Haunting in Venice

Judul: Hallowe’en Party (Pesta Halloween)
Penulis: Agatha Christie
Bahasa: Indonesia
Format: paperback
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: fiksi, misteri, thriller, detektif

Sinopsis

“Aku pernah melihat pembunuhan!” Joyce berseru yakin.

Namun, siapa di pesta Halloween itu yang akan percaya kepada gadis tiga belas tahun yang terkenal suka bohong?

Malam itu juga, Joyce ditemukan berlutut di samping ember berisi apel-apel mengapung.

Seseorang membunuhnya.

Jelas ada orang di pesta itu yang punya alasan untuk memercayai kebenaran cerita Joyce yang mengejutkan.

Namun, siapa di antara sedikit orang dewasa yang hadir: para ibu dan bibi, pendeta, dan seorang guru sekolah setempat, yang tega mengubah suatu permainan kanak-kanak menjadi pembunuhan kejam?

2 Points for:

Story

Setting

Characterization

Writing style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

💗💗

Review

Seumur-umur review novel Agatha Christie, baru kali ini saya ngasih rating serendah ini.

Novel ini memang beda banget dengan karya-karya Agatha Christie yang lain.

Kalau dibilang jelek, nggak benar-benar jelek juga. Soalnya, cerita yang disuguhkan sang “Ratu Kejahatan” masih sedap banget. Permulaan ceritanya juga sudah bagus sekali.

Berikut ini beberapa poin yang membuat Hallowe’en Party membuat pembaca kepincut.

  • Korban pembunuhan pertama yang ditampilkan adalah seorang anak kecil, tidak seperti biasanya.
  • Latarnya pembunuhan sebuah pesta Halloween. Christie selalu memasukkan detail-detail kecil tentang tradisi perayaan di Inggris yang menarik setiap kali latar seperti ini digunakan.
  • Kemunculan kedua Ariadne Oliver, novelis misteri laris yang karakternya terinspirasi dari Christie sendiri. Ariadne ini sepertinya adalah bentuk self-mocking si penulis.
  • Plot twist di dalam plot twist yang jadi ciri khas novel-novel Agatha Christie.

Namun, ada beberapa poin yang membuat saya tidak bisa memberikan rating lebih dari dua.

  • Awal yang sudah dibangun dengan tension tinggi justru terasa datar, bahkan cenderung membosankan di tengah-tengah cerita.
  • Terlalu banyak dialog bertele-tele tanpa esensi yang membuat saya berpikir para tokoh di novel ini sedang melantur.
  • Pemecahan kasus yang menurut saya konyol. Beneran konyol.

Tentunya saya tidak bisa menjabarkan alasan saya menyebut konklusi ceritanya konyol tanpa spoiler. Jadi, saya jelaskan sebisanya saja.

Spoiler Alert! Click at your own risk!
  • Saya merasa analisis Poirot di akhir cerita kurang memadai. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan si pembunuh dengan bukti sesedikit itu? Dia mengaku sudah menemukan pembunuhnya dari penyelidikan awal, tapi saya rasa buktinya kurang kuat. Bahkan di akhir buku tidak dijelaskan adanya bukti tambahan yang bisa menguatkan analisis Poirot. Okelah, Poirot memang detektif yang lebih banyak menggunakan “pemahaman terhadap psikologi manusia” untuk memecahkan kasus. Tapi kalau sampai begini, setengah cenayang itu namanya. Bukti yang dipaparkan sedikit banget, tapi analisisnya bener semua. Ini detektif apa anak indigo?
  • Motivasi si pembunuh melakukan sederet kejahatannya terasa agak mengada-ada. Mana ada orang yang rela jadi pembunuh untuk alasan seperti itu?
  • Ada dua karakter yang penting untuk penyelesaian kasus yang kerap digambarkan oleh Christie dengan tone positif, bahkan disebut “bijak” oleh Poirot. Tapi, menurut saya dua karakter ini justru lebih “tolol”—meminjam istilah yang banyak digunakan penerjemah—daripada si korban pertama yang disebut “bodoh” oleh semua karakter. Terutama karakter calon korban terakhirnya ini. Saya sampai terpikir, sebaiknya ini orang beneran jadi korban ajalah. Tololnya sungguh annoying.

Sebenarnya, cukup banyak karakter yang bisa dideskripsikan “tolol” di buku ini. Tapi, tak ada yang bisa sampai memantik rasa sebal saya sampai sedemikian rupa seperti karakter calon korban terakhir tadi.

Tidak biasanya Agatha Christie menimbulkan perasaaan frustrasi dan mangkel seperti ini.

Untunglah, A Haunting in Venice cuma meminjam tokoh-tokohnya saja. Ternyata, film Poirot-nya Branagh itu jauh lebih bagus daripada cerita orisinalnya.

[REVIEW FILM ADAPTASI BUKU] A HAUNTING IN VENICE, AGATHA CHRISTIE DENGAN ELEMEN HOROR

Trivia

Halloween, The Day of the Dead, dan All Saints’ Day

ilustrasi Halloween © Pexels.com/Karolina Grabowska

Latar pembunuhan pertama di novel ini adalah pesta Halloween yang diadakan di rumah salah satu tokoh. Melalui perbincangan para tokohnya, kita jadi tahu tentang hari-hari libur di Inggris yang dirayakan dalam waktu berdekatan dengan Halloween.

Pertama, ada All Hallows’ Eve atau Halloween yang dirayakan setiap 31 Oktober.

Ini adalah hari libur Kristen yang dirayakan di mayoritas negara barat. Tujuannya untuk mengingat orang-orang yang sudah meninggal.

Selanjutnya, ada All Saints’ Day yang dirayakan pada tanggal 1 November. Tujuannya adalah menghormati para santo dalam agama Kristen, Katholik, dan Anglikan. Khususnya para santo yang tidak memiliki hari raya tersendiri.

Terakhir, ada Day of the Dead yang dirayakan pada tanggal 1 November. Hari raya ini berakar dari tradisi Dia de Muertos di Meksiko yang sudah berumur 3.000 tahun. Tadinya, ini adalah ritual kematian bangsa Aztec.

[REVIEW BUKU] THE ADVENTURE OF THE CHRISTMAS PUDDING, WISATA KULINER BUMBU MISTERI BERSAMA DETEKTIF HERCULE POIROT

Bobbing for Apples

permainan bobbing for apples © Wikimedia Commons/Caleb Zahnd

Korban pertama, Joyce tewas dalam ember berisi air dan apel yang digunakan untuk permainan “mengapungkan apel”.

Mengapungkan apel yang dimaksud adalah permainan bobbing for apples atau apple bobbing.

Ini adalah permainan khas musim gugur, biasa dimainkan dalam pesta Halloween.

Para peserta permainan ini harus memasukkan kepala ke dalam air untuk menggigit apel. Pemenangnya adalah mereka yang bisa mengambil apel dalam waktu paling singkat.

[REVIEW BUKU] PEMBUNUHAN ATAS ROGER ACKROYD: YANG MAHA PLOT-TWIST DARI AGATHA CHRISTIE

Snapdragon

permainan snapdragon © Atlas Obscura/AARON JOEL SANTOS

Pesta Halloween di buku ini juga menceritakan permainan snapdragon yang dilakukan dengan “membakar brandy dan kismis”.

Buat memainkan snapdragon, siapkan mangkuk berisi brandy atau minuman beralkohol lainnya.

Matikan lampu, lalu bakar brandy (untuk membuat api biru) dan taburkan garam (untuk menciptakan kobaran api berwarna kuning).

Setelah itu, lemparkan buah-buahan kering, manisan, kacang, atau hadiah-hadiah kecil ke kobaran api.

Peserta harus menyabet benda-benda yang dilemparkan ke api sebanyak-banyaknya untuk memenangkan permainan.

Nah, pemenang snapdragon juga akan bertemu dengan cinta sejatinya di tahun tersebut.

[REVIEW BUKU] CURTAIN: POIROT’S LAST CASE, SALAM TERAKHIR HERCULE POIROT BUAT PARA PEMBACA SETIANYA

Cut the Flour

permainan cut the flour © dok. Focus Feature/Emma

Lalu, ada permainan cut the flour yang diterjemahkan menjadi “mengiris terigu”.

Cara untuk memainkannya adalah meletakkan uang logam di dasar cangkir atau mangkuk, lalu penuhi dengan tepung.

Tutup gelas dengan piring, lalu balikkan dengan hati-hati untuk mengeluarkan tepung dari gelas tanpa merusak bentuknya.

Setelah itu, tiap peserta permainan bergantian mengiris tepung samping. Kalau tepung ambrol, maka si pengiris tersebut langsung tersingkir dari permainan.

[REVIEW BUKU] TEN LITTLE NIGGERS, SEBUAH NOVEL DETEKTIF TANPA DETEKTIF DARI AGATHA CHRISTIE

Sumber bacaan:

Bobbing for Apples Game | Rules, How to Play & Alternatives. Game of Family
Day of the Dead 2023: Where to celebrate Dia de Muertos across London. The Standard
How To Celebrate Day Of The Dead In London. Country & Town House
Skull-Cracking and Snapdragon: Games We Won’t Be Playing on Halloween. George Ranch Historical Park
The Flour Game – Creative Family Game Idea. Home Cleaning Family

2 thoughts on “[Review Buku] Hallowe’en Party, Novel Agatha Christie yang Jadi Inspirasi Film A Haunting in Venice

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.