Review: Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942

Rijsttafel adalah konsep jamuan makan ala penjajah yang diperkenalkan pada masa kolonial. Rijst artinya nasi, sementara tafel berarti meja. Rijsttafel ini merupakan hasil dari akulturasi budaya Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan Indis.

Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942.   © Gramedia Pustaka Utama

Judul: Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942
Penulis: Fadly Rahman
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 140 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2011)

Buku ini mengupas jejak rijsttafel hingga menjadi budaya makan kolonial Belanda yang paling mengemuka pada paruh kedua abad ke-19, bagaimana melalui rijsttafel pencitraan budaya makan ideal sebagaimana dikenal kini setidaknya mulai dibangun, juga cerita di balik rijsttafel yang terselip dalam karya-karya sastra kolonial, majalah rumah tangga kolonial, fotografi kolonial, hingga buku-buku resep masakan kolonial yang mampu membangun serta menampilkan imaji hidangan nasi yang dipadupadankan dengan seni penyajian gaya Eropa.

Level of Interest

Review

Bisa dibilang, buku tipis ini cukup menyenangkan untuk dibaca, terutama buat mereka yang tertarik dengan sejarah kuliner. Saya sendiri melahap buku ini dalam setengah hari saja. Meskipun ada beberapa bahasan yang repetitif (kemungkinan untuk menekankan teori yang dikemukakan penulis), rincian sejarah rijsttafel dalam buku ini mudah dicerna dan bikin saya kepingin makan. Hehe… Selain itu, ada bibliografi lengkap dan resep menu rijsttafel dalam bahasa Belanda di bagian belakang buku. Sebenarnya, bibliografi dan resep ini memenuhi seperempat bagian buku sendiri.

Saya akan mencoba menceritakan kembali apa saja yang berhasil saya dapat setelah membaca buku ini. Sebelum bicara panjang lebar tentang sejarah dan seluk beluk rijsttafel, tentunya kita harus tahu dulu apa itu rijsttafel. Sebenarnya ini adalah konsep jamuan makan ala penjajah yang diperkenalkan pada masa kolonial. Rijst artinya nasi, sementara tafel berarti meja. Rijsttafel ini merupakan hasil dari akulturasi budaya Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan Indis.

Meskipun disebut hasil akulturasi, sebenarnya masakan Indonesia jauh lebih dominan di sini. Soalnya, Belanda tidak memiliki tradisi kuliner sekuat Prancis, Italia, Inggris, China, atau Jepang. Masakan Indonesia dianggap lebih istimewa daripada masakan Belanda karena menggunakan bumbu-bumbu eksotis. Karena itulah mereka lantas mengadopsi warisan kuliner pribumi dan memadukannya dengan konsep jamuan pesta gaya Eropa.

Semakin mewah, semakin prestisius, semakin baik

Rijsttafel umumnya disajikan di rumah para pejabat Belanda untuk memamerkan status mereka yang tinggi di tanah jajahan. Sebab, di negara asalnya sendiri mereka tidak termasuk golongan kelas atas (atau dengan kata lain bangsawan yang masih berkerabat dengan kalangan istana). Karena penting untuk menekankan status, sejumlah makanan lokal seperti soto, sate, nasi goreng, sambal, dan kerupuk disajikan dengan mewah dan berlebihan. Satu kali makan terdiri dari lima masakan atau lebih. Setiap makanan dibawa di atas nampan oleh satu pelayan yang berdiri berjejer selagi tuannya bersantap. Dan jamuan seperti ini bukan untuk pesta, lho. Makan sehari-hari pun seperti ini.

Jamuan gaya rijsttafel dengan barisan pelayan membawakan makanan. Photo credit: Nowjakarta.co.id
Jamuan gaya rijsttafel dengan barisan pelayan membawakan makanan.  Photo credit: Nowjakarta.co.id

Uniknya, rijsttafel waktu itu dilengkapi pula dengan minuman beralkohol. Padahal, dengan cuaca yang panas dan rempah-rempah pedas, para londo ini sebenarnya tak perlu penghangat tubuh lagi.

Masakan apa saja yang biasa disajikan dalam jamuan rijsttafel? Biasanya, yang wajib ada itu nasi, kari, sambal, kuah-kuahan, dan makanan penutup. Untuk pesta atau jamuan besar, jumlah masakan yang disajikan jauh lebih banyak lagi. Katanya, yang jadi favorit para bule adalah serundeng, pisang goreng, kacang goreng, dan telur mata sapi. Bagi para ndoro di Jawa yang sering makan bersama para penjajah, ini terasa aneh. Sebab masakan seperti itu malah dianggap biasa saja di Indonesia. Uniknya, sambal dikategorikan sebagai hidangan pencuci mulut di buku-buku masakan Belanda. Padahal sambal lebih cocok disebut condiment.

Di tangan para nyai, zwartzuur jadi ayam suwar-suwir

Rijsttafel modern di restoran Amsterdam. Photo credit: World.jhong.org
Rijsttafel modern di restoran Amsterdam.  Photo credit: World.jhong.org

Perkembangan rijsttafel dipengaruhi oleh para nyai, sebutan untuk gundik pribumi para pejabat Belanda. Waktu itu nyai berperan besar dalam rumah tangga karena para istri sah ditinggalkan di negeri kincir sana. Di tangan mereka, rijsttafel terasa semakin kental unsur lokalnya. Setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1870, para nyonya mulai berdatangan menyusul suami masing-masing. Saat inilah rijsttafel mulai mengalami Eropanisasi kembali. Beberapa hidangan Belanda kemudian diselipkan ke dalam menu, diadopsi, dan dimodifikasi menjadi masakan Indonesia. Di antaranya frikadel yang lantas jadi perkedel atau begedel, smoor yang jadi semur, biefstuk berubah jadi bistik, dan yang paling bikin saya ngakak adalah ayam suwar-suwir yang ternyata berasal dari bahasa Belanda zwartzuur.

Setelah zaman kolonial Belanda berakhir, terjadi repatriasi besar-besaran ke negeri kincir. Para londo itu membawa serta rijsttafel ke kampung halaman. Di sana, rijsttafel naik kelas lagi, disajikan di hotel-hotel untuk warga Belanda yang kangen masakan Indonesia. Sampai sekarang, rijsttafel jadi menu khas di sejumlah restoran Belanda. Pedagang yang menjajakan sambal keliling juga mulai bermunculan.

Rupanya masakan Indonesia benar-benar melekat di hati sinyo-sinyo ini. Sampai muncul lagu berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng yang artinya “Beri aku nasi goreng saja.” Ceritanya tentang orang Belanda yang pulang kampung dan mengeluhkan makanan di sana yang tak seenak di Indonesia.

***

Sekian review dan ringkasan buku Rijsttafel yang saya baca beberapa hari lalu. Bikin laper, ya? Sama, saya juga jadi ngiler pingin nyobain rijsttafel waktu baca buku ini. Tapi daripada susah-susah, makan di restoran Padang juga sudah mirip rijsttafel sepertinya.

3 thoughts on “Review: Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942

  1. wah jadi tertarik beli bukunya, karena hobby masak dan suka makan..:-), cuma ada sedikit koreksi. pemecahan kata Rijsttafel harusnya rijst + tafel bukan rijs + ttafel.moga koreksi saya bermanfaat..

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.