
Kadang-kadang saya iri sama Mbak Luckty Giyan Sukarno yang profesi sehari-harinya adalah pustakawati. Pustakawati, bayangkan! Nggak surga bagaimana kalau setiap hari berkutat dengan buku bacaan seruangan penuh? Saya yang cuma jadi anggota klub perpustakaan aja bahagia setiap kebagian tugas jaga.
Setiap ingat masa-masa jadi anggota klub perpustakaan, saya jadi terbawa nostalgia. Dari zaman SMP klub saya memang cuma itu-itu saja. Saya nggak ada bakat untuk mengikuti klub yang keren seperti band, olahraga, atau fotografi. Saya juga kurang pintar bergaul. Jadi dari SD sampai SMA cuma hobi nyepi ke perpustakaan. Lagipula sejak kecil saya memang sudah didoktrin Bapak buat cinta perpus.
Saya pertama kali menjadi anggota klub pengurus perpustakaan di SMP Negeri 3 Malang. Sama seperti kenangan masa SMP saya yang suram, perpustakaan sekolah saya itu juga ikutan muram. Saat itu ruangannya luas, tetapi cenderung gelap dan terasa lembap.
Koleksi bukunya tergolong lumayan. Paling nggak saya masih bisa meminjam buku-buku Goosebumps dan Trio Detektif yang waktu itu hits sekali, meskipun harus rebutan dengan siswa lain. Meskipun koleksi Trio Detektifnya masih kalah lengkap dari persewaan buku langganan saya. Ada juga novel-novel remaja islami yang waktu itu banyak diterbitkan Forum Lingkar Pena.

Walaupun statusnya adalah pengurus perpustakaan, saya dan teman-teman anggota yang lain tidak berperan banyak di situ. Intinya setiap tugas kami cuma bengong, ngobrol, dan baca buku bareng-bareng. Di sana sudah ada pusatakawati yang tampaknya lebih memilih mengurus koleksi bukunya sendiri daripada mempercayakan kepada kami. Hahah…
Keanggotaan saya di perpustakaan sekolah disambung lagi setelah saya masuk ke SMA Negeri 1 Malang. Perpustakaannya jauh lebih kecil daripada SMP 3. Berada di sudut bangunan dan lantai yang sama dengan kelas saya, III IPS-2. Walaupun kecil, perpustakaan ini lebih terang dan sirkulasi udaranya juga jauh lebih baik. Problem kami semua yang menempati bangunan baru itu adalah kepanasan. Maklum berhadapan dengan arah sinar matahari. Sementara bangunan lamanya tidak. Kalau menyeberang ke gedung lama langsung terasa adem. Sreng.
Sebenarnya agak horor juga, karena sebegitu banyak cerita mistis seputar bangunan-bangunan peninggalan Belanda ini di SMA Tugu. SMA Tugu atau Kompleks adalah sebutan untuk SMA 1, 3, dan 4 yang menempati kompleks bangunan peninggalan Belanda di seberang Tugu Kota Malang. Selain adem, bangunan-bangunan tua ini juga punya lantai yang dipenuhi bercak merah mencurigakan. Setidaknya sampai limabelas tahun lalu ketika saya sekolah di sana masih seperti itu. Entah kalau sekarang.


Kembali ke perpus, saat itu anggota klub diberikan tanggung jawab sungguhan, meskipun ada dua pustakawati yang bertugas di sana. Kami kebagian tugas membantu proses peminjaman dan pengembalian, meresensi buku baru, mengkatalogkan, dan belanja buku baru. Soal yang terakhir, sepertinya anak-anak perpus ini agak mbeling. Saya sendiri tidak pernah kebagian tugas belanja. Tapi beberapa kali kami membeli buku yang mencurigakan. Termasuk Lelaki Terindah-nya Andrei Aksana yang bertema LGBT dengan sex scene tipis-tipis dan Killing Me Softly (Nicci French) yang jelas-jelas erotica. Nggak ketahuan? Jelas nggak.


Di perpus SMA ini banyak harta karun seru. Ada beberapa kopi buku impor bertema sastra. Di sinilah saya kenalan dengan sastra jepang lewat Square Persimmon-nya Takashi Atoda. Ensiklopedi tiap negara yang cukup lengkap ada di pojokan paling belakang. Saya pinjam Ensiklopedia Romania untuk bahan tugas esai tata negara. Awalnya terpaksa baca demi riset, lalu jadi keterusan baca. Novel-novel chicklit juga bejibun. Ada perlengkapan audio visual yang bisa dipakai buat nonton DVD. Oh, waktu itu masih VCD sih.
Kalau sedang piket, tempat favorit saya adalah pojokan gelap di depan ensiklopedi. Kadang saya nyempil di situ buat baca-baca atau menulis cerpen ala-ala. Seringnya lagi buat ngegosip sama teman-teman geng yang non-anggota. Ngegosip sama bu Umi, salah satu pustakawati juga kegiatan favorit. Tentu saja sambil makan jajan bawaan beliau. Begitu terus sampai jam piket kelar.
Herannya saya nggak ingat banyak anak yang jadi anggota klub selain teman-teman saya sendiri. Ternyata dari SMA saya memang sudah nggak peka sama lingkungan sekitar. Dan mungkin anggota perpustakaan yang lain juga nggak inget sama saya yang invisible ini.
Wah, pokoknya zaman-zaman jadi anggota perpustakaan itu termasuk kenangan yang memebahagiakan. Dengan itu saja, saya sudah merasa masa SMA saya cukup seru. Meskipun nggak pakai acara bergahul atau pacaran atau ngegebet kakak kelas. Masih sempat mencicipi bolos jam pelajaran juga kok. I think I didn’t miss anything in high school eventhough I’m not popular at all 😀