
Judul: The Duke Is Mine (Eloisa James’ Fairy Tales #3)
Penulis: Eloisa James
Bahasa: Inggris
Format: ebook (288 hal.)
Penerbit: Avon (2011)
Genre: historical romance (roman sejarah), dewasa, fiksi, drama
Sinopsis
Taken from Goodreads:
Tarquin, the powerful Duke of Sconce, knows perfectly well that the decorous and fashionably slender Georgiana Lytton will make him a proper duchess.
So why can’t he stop thinking about her twin sister, the curvy, headstrong, and altogether unconventional Olivia? Not only is Olivia betrothed to another man, but their improper – albeit intoxicating – flirtation makes her unsuitability all the more clear.
Determined to make a perfect match, he methodically cuts Olivia from his thoughts, allowing logic and duty to triumph over passion . . . until, in his darkest hour, Tarquin begins to question whether perfection has anything to do with love.
To win Olivia’s hand he would have to give up all the beliefs he holds most dear, and surrender heart, body and soul – but it may already be too late.
3 Points for:
Story
Setting
Characterization
Writing style
Moral/interesting trivia
Level of Interest
Review
Sebelum ini saya sudah mengulas tentang A Kiss At Midnight dan When Beauty Tamed The Beast yang adalah buku pertama dan kedua dari seri Fairy Tales karya Eloisa James. Novella-nya yang berjudul Storming The Castle dan dilabeli Fairy Tales #1.5 juga sudah saya kupas. Sekarang waktunya untuk membahas buku ketiga, The Duke Is Mine.
Sinopsis di atas tidak terlalu menjelaskan isi cerita,ya? Jadi akan saya coba untuk menceritakannya kembali secara singkat. Olivia dan Georgiana Lytton adalah saudara kembar dengan dua orangtua yang terobsesi untuk menikahkan putri mereka dengan bangsawan tertinggi. Lebih baik lagi kalau seorang pewaris gelar duke.
Olivia yang ceplas-ceplos, bertubuh subur, dan kurang anggun dianggap kurang menjanjikan sebagai calon duchess. Jadi kedua orangtuanya menganggap Olivia cukup beruntung terpilih sebagai calon menantu Duke of Canterwick. Meskipun Rupert, anak mereka mengalami keterbelakangan mental. Sang duke memilih Olivia yang sangat cerdas untuk menutupi kekurangan anaknya.
Sementara itu, Georgie yang cantik dan santun ditunangkan dengan Quin, Duke of Sconce. Dari segi fisik mereka memang cocok. Sama-sama muda dan berpenampilan menarik. Tetapi waktu Olivia dan Georgie berkunjung ke kediaman Duke of Sconce, benih-benih cinta justru tumbuh di antara Quin dan Olivia. Dan dari sanalah seluruh keruwetan dalam The Duke Is Mine mulai berkembang.

Saya bisa janjikan buku ini tidak bakal menampilkan kisah cinta segitiga ala sinetron. Ceritanya cukup oke, meskipun saya rasa romansa di antara Quin dan Olivia tidak terlalu mengena di hati. Eloisa James juga terkesan memaksakan cerita ini agar bisa dikaitkan dengan Princess and The Pea. Butuh perjalanan ke luar negeri dan sekarat segala demi memasukkan kasur berlapis-lapis ke dalam cerita.
Meskipun saya tidak bisa merasakan chemistry di antara Quin dan Olivia, herannya hati ini justru tersentuh oleh Rupert, karakter minor yang bahkan jarang muncul. Menurut saya, tunangan Olivia ini kisah hidupnya sangat mengenaskan.
Setelah The Duke Is Mine, untungnya ada The Ugly Duchess yang jauh lebih memikat dari tiga buku terdahulu. Meskipun judulnya lumayan konyol, ceritanya benar-benar menyentuh, kok.
The Princess and The Pea

The Duke Is Mine meminjam beberapa elemen penting dari The Princess and The Pea karya Hans Christian Andersen. Dongeng ini mengingatkan saya terhadap salah satu memori dengan kakak saya yang sekarang sudah bersama Allah. Ketika saya menceritakan dongeng ini dengan judul ‘Putri dan Kacang’, dia terpingkal-pingkal karena merasa judulnya sangat konyol. Semakin saya ngotot kalau dongeng itu betulan ada, semakin keras tawanya. Dan lalu saya jadi kangen mendengar tawanya yang menyenangkan itu.
Lalu, kita kembali The Princess and The Pea. Menurut saya ini termasuk salah satu dongeng yang paling bikin pembaca bertanya-tanya. Saya menyadari dongeng dan legenda umumnya mengesampingkan logika. Tapi yang satu ini rasanya lebih tak masuk akal dibandingkan dongeng lainnya. Sampai-sampai saya terpikir apakah ada sindiran yang sengaja disamarkan di baliknya.
Sudah diketahui umum kalau Hans Christian Andersen berasal dari golongan kelas bawah. Satu-satunya cara hingga dia bisa diterima oleh golongan elit Denmark pada masa itu adalah karena kesuksesan dongeng-dongengnya. Namun menurut rumor yang berkembang dia tetap membenci kaum aristokrat. Saya sendiri tidak ingat membaca tentang hal ini dari mana. Tetapi setelah membaca The Princess and The Pea saya jadi yakin kalau dongeng ini adalah cara Andersen untuk menyindir kedangkalan privilege kaum darah biru dengan halus. Walaupun Andersen sendiri mengklaim kalau dia mendengar dongeng ini saat masih kecil.

Biar makin afdhol, berikut ini saya sertakan juga The Princess and The Pea versi Andersen yang sudah saya terjemahkan. Pokoknya sabar saja membaca review ekstra panjang ini, ya? Saya memang lagi butuh menulis yang seperti ini untuk menyegarkan otak dari artikel-artikel bikin bodoh yang harus saya produksi. Tapi artikelnya informatif, kok. Cuma penulisnya yang jadi bodoh. Pembacanya tetap jadi pinter. Hehehe..
Pada suatu masa hiduplah seorang pangeran yang ingin menikahi seorang putri, tetapi harus seorang putri yang sejati. Ia berkelana ke seluruh dunia untuk menemukan seorang putri sejati, tetapi tidak bisa menemukan apa yang dia cari di mana pun. Ada banyak putri, tetapi sulit untuk memastikan apakah mereka benar-benar asli. Selalu ada sesuatu yang salah pada diri mereka. Jadi pangeran kembali pulang dan merasa sedih, karena dia begitu menginginkan seorang putri sejati.
Pada suatu malam terjadilah badai dahsyat. Guntur dan kilat menyambar, hujan lebat turun hingga menganak sungai. Tiba-tiba terdengar ketukan di gerbang kota dan sang raja yang sudah uzur pergi untuk membukanya.
Seorang putri berdiri di luar sana, di depan gerbang. Tetapi, astaga! Hujan dan angin membuat penampilannya kacau. Air mengalir dari rambut dan pakaiannya, mengalir hingga ke ujung sepatu dan keluar lagi lewat tumit. Tetapi ia bilang dirinya seorang putri sejati.
“Baiklah, kita lihat saja nanti,” tutur sang ratu tua. Tetapi ratu tak mengatakan apa-apa, pergi ke kamar tidur, mengambil semua seprai dari ranjang, dan meletakkan sebutir kacang di dasar. Setelah itu ia mengambil dua puluh matras dan menyusunnya di atas kacang itu, kemudian dua puluh selimut tebal lagi di atasnya.
Di sinilah sang putri harus berbaring semalaman. Begitu pagi tiba ia ditanya mengenai tidurnya.
“Oh, sangat buruk!” katanya. “Aku nyaris tak memejamkan mata semalaman. Entah apa yang ada di ranjang, rasanya aku berbaring di atas sesuatu yang keras, sehingga seluruh tubuhku lebam. Ini benar-benar mengerikan!”
Sekarang mereka tahu pasti dia adalah seorang putri sejati, karena dia bisa merasakan keberadaan kacang itu melalui dua puluh matras dan dua puluh selimut tebal.
Tidak ada yang bisa sepeka itu kecuali seorang putri sejati.
Jadi sang pangeran mempersuntingnya, karena sekarang dia tahu seorang putri sejati telah menjadi miliknya, dan kacang itu diletakkan di museum di mana semua orang bisa melihatnya, kalau tidak ada yang mencurinya.
Nah, itu adalah kisah nyata.
Sumber: HCA.Gilead.org.il
Saya rasa siapa pun yang membaca dongeng di atas bisa merasakan sarkasme di mana-mana. Sebuah kerajaan yang entah bagaimana seolah tak punya pengawal, hingga sang raja sendiri yang harus membuka gerbang kota di malam berbadai. Seorang putri mencurigakan dengan asal-usul tak jelas yang diterima begitu saja di istana.
Raja, ratu, dan pangeran yang begitu dangkalnya hingga berpikir kesejatian seorang wanita hanya perlu dikonfirmasi dengan sensitivitas fisik, dan diukur dengan sebiji kacang pula. Kemudian bagian paling epik adalah mereka memuja seorang perempuan manja yang mengeluhkan sebutir kacang di tempat tidurnya sebagai putri nomor satu.
Bahkan kalimat terakhir Andersen yang menyebutnya sebagai kisah nyata pun terdengar penuh sarkasme bagi saya. Apalagi kalau menggunakan bahasa Inggris. There, that is a true story.