[Review Buku] Rainbirds oleh Clarissa Goenawan, Sastra Jepang Nan Muram Dari Tanah Melayu

Judul: Rainbirds
Penulis: Clarissa Goenawan
Bahasa: Indonesia
Format: paperback (400 hal.)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)
Genre: Fiksi, drama, misteri, dewasa

Sinopsis

Taken from Goodreads:

Tahun 1994, Ren Ishida menerima kabar kakak perempuannya, Keiko, ditikam berulang kali hingga tewas di Akakawa, kota terpencil tempat kakaknya tinggal. Ia pun memutuskan untuk sementara pindah ke kota itu sambil mengurus pemakaman dan membantu polisi menyelidiki kematian Keiko.

Namun kemudian, tanpa sadar Ren seolah mengikuti jejak-jejak terakhir yang Keiko tinggalkan. Ia mengisi posisi pekerjaan Keiko di kursus bimbingan belajar Yotsuba. Ia bahkan menerima syarat aneh untuk tinggal di rumah politisi terkemuka, di kamar yang sebelumnya ditempati Keiko.

Gadis kecil yang terus-menerus muncul dalam mimpi, seorang siswi bimbingan belajar yang agresif, suasana suram, penuh misteri dan teka-teki sepanjang menyusuri Akakawa, membuat Ren penasaran ingin mengetahui apa yang sebenar-benarnya terjadi pada malam Keiko terbunuh.

5 Points for:

Story

Setting

Characterization

Writing style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

Review

Seperti yang tercantum dalam judul review ini, saya menyebut Rainbirds-nya Clarissa Goenawan muram. Memang benar dan sebenarnya saya tidak bermaksud negatif dengan pernyataan itu. Kok, bisa? Biar saya jelaskan.

Saya termasuk penikmat sastra Jepang dan itu berarti saya menyukai prosa bernuansa suram dan narasi dingin yang menjadi ciri khasnya. Itulah kesan yang saya dapat setiap kali membaca sastra Jepang. Entah itu dalam bentuk drama seperti The Housekeeper and The Professor, dystopia ala Battle Royale, misteri seperti The Tokyo Zodiac Murders, atau cerita pendek seperti The Square Persimmon. Norwegian Wood bahkan sukses membuat saya cukup depresi dengan kesuramannya. Meskipun dampak emosionalnya tidak sekuat novel-novel Sekar Ayu Asmara. Buku-buku bergaya sastra Jepang yang ditulis pengarang dari luar pun menghadirkan kesan yang sama. Misalnya Namaku Hiroko dari Nh. Dini dan Rainbirds-nya Clarissa Goenawan ini.

Rainbirds  merupakan buah karya seorang penulis Singapura yang lahir di Indonesia. Tetapi cerita ini malah tidak ada unsur Melayu-melayunya. Saya anggap Clarissa berhasil membawa nuansa Jepang dalam bukunya. Bukan karena dia menempelkan setting dan karakter tambahan dari Jepang pada cerita yang gayanya sangat Indonesia, sebuah pendekatan yang sangat umum bagi novel-novel metropop. Clarissa justru mengadopsi gaya bercerita para penulis Jepang. Saya memberinya applause untuk itu.

Rainbirds bermain dengan gagasan tentang pencarian ikhlas dan kemauan untuk melepaskan. Ada sepercik kisah pencarian jati diri juga. Semua itu dibungkus dalam cerita tentang seorang pria muda yang datang ke sebuah kota kecil untuk mencari jawaban atas misteri di balik kematian kakak perempuannya.

Kakak Ren Ishida, Keiko tewas terbunuh di Akakawa. Meskipun awalnya hanya berniat untuk mengkremasi jenazah Keiko dan membantu penyelidikan polisi setempat, Ren memutuskan untuk tinggal selama beberapa bulan. Salah satu alasannya adalah menghindar sejenak dari realitas yang menunggunya di Tokyo, yaitu keluarga yang berantakan dan pacarnya.

Di Akakawa, Ren seolah napak tilas tahun-tahun terakhir dalam kehidupan kakaknya. Dia menjalankan pekerjaan terakhir kakaknya, tinggal di kamarnya, dan berjumpa dengan orang-orang penting di hidupnya sebelum terbunuh.

Kematian Keiko yang mengerikan sebenarnya bisa menjadi latar sempurna untuk cerita misteri atau thriller. Tetapi Rainbirds lebih memilih jalur drama untuk mengalirkan cerita. Tak ada unsur thriller yang kental, meskipun sebagian besar tokoh terlihat mencurigakan dan terbukti menyembunyikan beberapa hal penting. Tentu saja Ren berusaha untuk menemukan pembunuh kakaknya. Tentu saja dia ingin tahu kenapa sampai ada yang tega membunuh kakaknya dengan cara seperti itu. Sejumlah misteri akan terungkap seiring berjalannya cerita. Tetapi seperti yang saya bilang tadi, fokus utama cerita ini adalah perjalanan yang ditempuh Ren Ishida untuk menerima beberapa hal di masa lalunya.

Rainbirds diceritakan lewat sudut pandang orang pertama, cukup rapi, dan terasa berjarak. Rasanya seperti seseorang yang introvert mendadak menceritakan kisah hidupnya kepada orang asing. Dia mendapatkan keberanian untuk menyampaikan banyak hal yang biasanya takut dia ungkapkan, karena tahu dia tak akan bertemu orang asing itu lagi. Tetapi orang introvert itu juga masih enggan untuk menunjukkan kerapuhannya secara total. Contohnya ketika Ren merasa galau kakaknya tak kunjung pulang pada suatu malam. Alih-alih mengakui dengan terus terang kalau dia merasa galau, Ren justru mengatakan kalau dia tidak bisa memejamkan mata sedikit pun dan menebarkan buku di atas meja agar dia tidak merasakan kekosongan kamar tempatnya berada.

Pada akhirnya, buku ini mengingatkan saya kepada Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi yang sebenarnya memiliki cerita, latar, dan gaya berbeda total. Sepertinya Yusi Avianto Pareanom dan Clarissa Goenawan sama-sama mengajak pembacanya untuk belajar menerima bahwa kadang beberapa pertanyaan terbesar dalam hidup tidak dihadapkan kepada kita untuk agar jawabannya bisa ditemukan. Kadang kita hanya harus merelakannya berlalu agar bisa melanjutkan hidup. Mengecewakan memang. Tetapi sebagai gantinya hidup akan memberikan kelegaan-kelegaan kecil. Dalam kasus Ren Ishida, akhirnya dia jadi tahu nama burung-burung hitam yang dibeli kakaknya saat berulang tahun.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.