
Saya jarang-jarang bisa nulis artikel yang didasarkan hasil liputan langsung. Kalau dihitung-hitung, mungkin nggak lebih dari 10 kali saya liputan ke lapangan. Itu pun hasilnya sudah saya olah jadi artikel dengan jumlah tiga kali lipat. Salah satunya adalah liputan ke Taman Baca Amin di Batu, Malang pada tahun 2015. Bela-belain ke sana bukan dalam rangka memenuhi tugas kantor. Sekadar iseng karena saya tertarik dengan desain arsitekturnya yang unik. Effort-nya lumayan, karena rumah saya di tengah kota Malang.
Kalau di Mbah Google, tempat ini lebih dikenal dengan nama perpustakaan kontainer. Nama resminya sendiri Poligigi dan Taman Baca Amin. Lokasinya di Jalan Sultan Agung. Cuma beberapa ratus meter dari Museum Angkut yang hits itu.
Poligigi dan Taman Baca Amin dikelola oleh Jatim Park I. Bangunannya satu area dengan kompleks pujasera, rumah kaca, dan trick art museum yang ada di situ. Pas di depan salah satu gerbang Jatim Park I. Ada wahana permainannya segala.


Area wisata rakyat yang jadi rumahnya Taman Baca Amin biasanya ramai. Parkirannya selalu penuh, apalagi kalau malam minggu. Tapi perpusnya sendiri terhitung sepi, nyaris kosong melompong. Kayaknya nggak banyak peminat. Beda 180 derajat dari Perpustakaan Kota Malang yang meja baca dan pojokannya selalu penuh pengunjung. Padahal sudah dibikin sekeren itu tampak luarnya.
Kenapa saya bilang keren? Soalnya Taman Baca Amin ini sebenarnya 7 kontainer bekas aneka warna yang disangga dengan tonggak-tonggak kokoh. Kemudian difungsikan sebagai perpustakaan, poligigi (di lantai 1), rumah kaca, dan trick art museum.


Kontainer biru untuk koleksi bacaan populer, hiburan dan umum. Kontainer kuning isinya bacaan wanita, sementara yang merah khusus untuk bacaan bertema sains.


Dari luar kelihatannya kecil. Tetapi bagian dalamnya luas dan ditata apik. Difasilitasi dengan ruang baca nyaman, lantai berlapis karpet, AC, colokan, dan wifi. Tak ketinggalan meja kursi dan sofa empuk di setiap sudut. Ada ruang baca umum, ada juga ruang baca anak. Bener-bener cozy, cocok buat yang suka baca-baca sambil nyepi.



Menurut dua orang ibu pustakawati yang saya wawancarai saat itu, koleksi perpustakaannya diperoleh secara swadaya. Di tahun 2015, koleksinya mencapai 7.000 buku. Semuanya tertata rapi di rak-rak kayu. Mbaknya juga nggak tahu kenapa dikasih nama Taman Baca Amin. Yang pasti perpus ini merupakan hibah dari salah satu warga. Kalau nggak salah keluarganya Pak Sunjoyo. Mohon maaf kalau informasinya kurang akurat, soalnya wawancara yang masih sangat amatir ini dilakukan 3 tahun lalu tanpa transkrip atau rekaman audio yang memadai.


Kalau mau nongkrong, di Taman Baca Amin ada kantin mini yang menjual berbagai jajanan. Jalan ke belakang sedikit juga ada food truck. Jam bukanya dari pukul 14.00-21.00. Jadi nggak usah khawatir bakal diusir petugas kalau sudah sore.

Oh, iya, biaya masuk ke Taman Baca Amin gratis. Paling cuma bayar parkir kalau bawa kendaraan sendiri. Saya terakhir ke sana tahun lalu. Rasanya nggak ada yang berubah. Semoga saja koleksi dan pengunjungnya sudah bertambah.