[Review film] To All The Boys I’ve Loved Before: Pertama, RomCom Remaja Hollywood dengan Tokoh Utama Asia

Lara Jean telah menulis surat cinta kepada lima pemuda yang pernah dia taksir, tanpa pernah mengirimnya. Tiba-tiba, semua surat itu terkirim. Satu ditujukan kepada Josh Sanderson, mantan pacar kakak Lara Jean. Satu surat lagi sampai ke tangan Peter Kavinsky, pria yang memberikan pengalaman ciuman pertama bagi Lara Jean di kelas tujuh. Sayangnya, Peter masih cinta mati kepada Gen.

poster film To All The Boys I've Loved Before ©2018 Overbrook Entertainment | Awesomeness Films | Netflix
poster film To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Overbrook Entertainment | Awesomeness Films | Netflix

Judul: To All The Boys I’ve Loved Before
Diangkat dari: To All The Boys I’ve Loved Before & P.S. I Still Love You (To All The Boys I’ve Loved Before #1-2)
Sutradara: Susan Johnson
Bahasa: Inggris
Tahun rilis: 2018
Produksi: Overbrook Entertainment, Awesomeness Films, Netflix
Genre: Komedi romantis, remaja

Sinopsis

Lara Jean Song Covey adalah seorang siswa SMA berusia 16 tahun yang gemar berkhayal tentang percintaan, tetapi sebenarnya takut dengan percintaan yang nyata.

Dalam beberapa tahun terakhir, Lara Jean telah menulis surat cinta kepada sederet pemuda yang pernah dia taksir, tanpa pernah mengirimnya.

Sang adik, Kitty merasa Lara Jean melewatkan masa remajanya begitu saja. Kitty ingin kakaknya mengenal cinta, jadi mengirim semua surat Lara Jean kepada para pemuda itu. Akibatnya Lara Jean harus menghadapi beberapa pembicaraan canggung dengan mereka.

Salah satu penerima surat Lara Jean adalah Josh Sanderson, mantan sahabatnya, sekaligus pacar kakak perempuannya, Margot.

Sementara yang satunya adalah Peter Kavinsky, pemuda ganteng dan populer di sekolah yang memberikan pengalaman ciuman pertama bagi Lara Jean di kelas tujuh.

Setelah menerima surat Lara Jean, Peter meminta gadis itu untuk membantunya. Tepatnya, Peter ingin Lara Jean berpura-pura menjadi pacarnya demi membuat sang mantan, Gen cemburu.

Level of interest

Review

Saya sudah lama mencoba baca To All The Boys I’ve Loved Before yang ditulis Jenny Han. Saya kesulitan untuk melangkah lebih dari satu bab, karena merasa gaya penuturan Han dalam buku itu sudah tidak sesuai lagi untuk saya yang sudah berusia 30-an. Ceritanya memang dibawakan melalui sudut pandang orang pertama, tepatnya melalui POV Lara Jean.

To All The Boys I've Loved Before series. Photo: Twitter/jennyhan
To All The Boys I’ve Loved Before series. © twitter.com/jennyhan

Akhirnya sampai sekarang saya belum berhasil melanjutkan To All The Boys I’ve Loved Before. Tetapi saya malah nekat nonton filmnya yang diproduksi Netflix. Dan ternyata, saya benar-benar jatuh cinta. Sampai sekarang bahkan sudah saya tonton lebih dari lima kali.

Jalan Cerita

Sebenarnya, To All The Boys I’ve Loved Before menawarkan jalan cerita yang biasa-biasa saja. Walaupun belum membaca bukunya sampai tuntas, saya rasa film ini menggabungkan jalan cerita To All The Boys I’ve Loved Before dan P.S. I Still Love You yang merupakan sekuelnya. Ceritanya bahkan cenderung klise. Apalagi kalau yang nonton sudah seumur saya. Tapi racikannya memang sedap betul, jadi membuat keseluruhan film enak dinikmati.

Romantisme antara Lara Jean dan Peter yang sedikit canggung tapi manis justru terasa chemistry-nya. Sementara interaksi antara ketiga kakak-beradik Song-Covey  juga menjadi hiburan tersendiri bagi saya.

To All The Boys I've Loved Before ©2018 Netflix
To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Bisa dibilang, To All The Boys I’ve Loved Before menyuguhkan sesuatu yang baru bagi genre film komedi romantis remaja. Sebelumnya saya belum pernah menemukan film seperti ini menampilkan menampilkan seorang gadis berdarah Asia sebagai tokoh utama. Walaupun Lara Jean, Margot, dan Kitty ini sebenarnya juga cuma campuran Korea dan Amerika.

To All The Boys I've Loved Before (movie poster). Photo: IMDBTo All The Boys I've Loved Before (movie poster). Photo: IMDB
To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Saya salut karena film ini tidak memasukkan segala jenis stereotip konyol yang biasa digunakan penulis skenario dan sutradara untuk memancing tawa. Lebih salut lagi karena tidak ada satu tokoh pun di dalam film tersebut yang menyoroti Lara Jean, ibu, dan saudara-saudaranya sebagai orang Asia. Satu-satunya alasan Lara Jean menjadi siswi yang kurang populer di sekolah adalah karena kepribadiannya. Bukan karena diskriminasi sebagai ‘orang asing’. Juga bukan karena dia adalah siswi kutu buku berkacamata yang aneh.

Akting

To All The Boys I've Loved Before. Photo: Netflix
To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Baik Lana Condor yang memerankan Lara Jean Covey dan Noah Centineo yang berperan sebagai Peter masih sama-sama muda. Sama-sama belum banyak pengalaman. Mungkin To All The Boys I’ve Loved Before bukan penampilan terbaik yang bisa mereka berikan. Tapi keduanya berhasil menciptakan chemistry yang kuat. Juga berhasil menarik perhatian saya sebagai penonton. Pendeknya, meskipun akting mereka belum benar-benar terasah, Lana dan Noah sukses membuat penonton mencintai karakter mereka.

Sebelum film ini, sepertinya peran Lana yang cukup menonjol baru Jubilee di X-Men: Apocalypse. Saya rasa kelak dia akan berkembang menjadi aktris yang baik. Begitu juga dengan Noah yang sekarang saja sudah jadi internet boyfriend. Sepertinya mulai sekarang kita bakal lebih sering melihat wajah ganteng charming-nya di layar lebar.

Peter Kavinsky_To All The Boys I've Loved Before. Photo: Netflix
Peter Kavinsky (Noah Centineo) di To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Tokoh yang lumayan jarang muncul tapi cukup menarik perhatian adalah Christine. Dia ini sahabat Lara Jean sekaligus sepupu Gen, ‘musuh’nya Lara Jean. Cewek ini benar-benar seru, lucu, dan keren. Madeleine Arthur yang memerankannya juga punya aura yang menonjol di layar. Sedikit mengingatkan saya kepada Leah (Olivia Thirlby) yang jadi sahabat Ellen Page di film Juno (2007). Karakternya juga mirip, sih.

Christine - To All The Boys I've Loved Before. Photo: Netflix
Christine di To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Dari pemilihan aktor, sebenarnya saya merasa sedikit terganggu dengan kenyataan bahwa ketiga kakak-beradik Song-Covey sama sekali bukan orang Korea. Sebagai orang Asia umumnya kita bisa membedakan mana yang Melayu, Indochina, China, Jepang, Korea, dll. Saya rasa Lana Condor lebih terlihat seperti orang Indochina dan ternyata dia memiliki darah Vietnam.

Margot (Janel Parrish) di To All The Boys I've Loved Before ©2018 Netflix
Margot (Janel Parrish) di To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Sementara Janel Parrish yang memerankan Margot tampak seperti orang Filipina atau Hawaii. Tapi ternyata dia berdarah China, tepatnya dari etnis Han. Sementara Anna Cathcart yang memerankan si kecil Kitty bagi saya justru lebih terlihat Kaukasia.

Kitty (Anna Cathcart) di To All The Boys I've Loved Before ©2018 Netflix
Kitty (Anna Cathcart) di To All The Boys I’ve Loved Before ©2018 Netflix

Mereka bertiga sama sekali tidak mirip, tetapi saya maklum kalau para sineas di Hollywood sana beranggapan Asia yang mana saja pasti sama, toh semuanya cenderung bermata sipit. Lagipula ketiganya sudah memainkan peranan mereka dengan baik. Jadi saya sama sekali tidak protes.

Kostum dan Makeup

Normalnya saya hanya mengomentari kostum dan makeup untuk film-film ber-setting kerajaan, fantasi, atau fiksi ilmiah. Tapi kali ini saya ingin menyoroti kostum dan makeup Lara Jean yang sedikit salah tempat. Lara Jean adalah seorang siswi 16 tahun sederhana yang tidak suka menonjolkan diri. Meskipun digambarkan memiliki selera mode yang bagus (oleh Peter), saya bertanya-tanya kenapa dia harus memakai bulu mata palsu dan maskara tebal sepanjang waktu.

To All The Boys I've Loved Before. Photo: Netflix
To All The Boys I’ve Loved Before. Photo: Netflix

Dalam salah satu adegan ketika Lara Jean menemui Peter di lapangan lacrosse, dia memakai dress dengan belahan dada rendah yang sangat kentara. Saya yakin siswi manapun tidak akan memilih outfit seperti ini kalau memang kepingin jadi invisible di sekolah.

Sinematografi

Karena ini adalah film ber-genre komedi romantis yang menonjolkan dialog dan interaksi antar tokoh, sama sekali nggak mengherankan kalau sinematografinya juga standar-standar saja. Lagipula dengan setting sekolah, saya rasa memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Walaupun pendapat ini bisa saya bantah sendiri dengan fakta bahwa film Confession yang menyuguhkan sinematografi indah hanya dengan latar bangunan sekolah di Jepang. Kalian wajib ain nonton film yang mewakili Jepang di Oscar 2011 ini. Bukunya juga sangat recommended.

Tapi adegan pertama itu menurut saya cukup fotogenik. Itu, lho, adegan di mana Lara Jean membayangkan bertemu Josh di tengah padang rumput. Adegan yang pakai kostum ala Pride and Prejudice itu. Adegan itu sangat pas untuk menarik perhatian penonton sejak awal.

To All The Boys I've Loved Before. Photo: Netflix
To All The Boys I’ve Loved Before. Photo: Netflix

Intinya saya terkesan sekali dengan adaptasi Netflix untuk To All The Boys I’ve Loved Before karya Jenny Han. Sederhana tapi bikin kepincut. Mungkin itulah alasan mengapa film ini secara mengejutkan bisa segitu sukses di pasaran.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.