
Judul: Aruna & Lidahnya
Diangkat dari: Aruna & Lidahnya – Laksmi Pamuntjak
Sutradara: Edwin
Bahasa: Indonesia
Tahun rilis: 2018
Produksi: Palari Films
Genre: Komedi, kuliner, roman
Sinopsis
Taken from 21cineplex.com:
Aruna dan Lidahnya bercerita tentang ARUNA (Dian Sastrowardoyo) yang melakukan petualangan kuliner bersama kedua sahabatnya, BONO (Nicholas Saputra) dan NAD (Hannah Al Rashid).
Tak disangka dalam perjalanan Aruna berjumpa dengan seseorang dari masa lalunya, FARISH (Oka Antara). Sambil menikmati berbagai masakan nusantara mereka terlibat pembicaraan yang mengungkapkan rahasia terpendam.
2 Poin untuk:
Cerita
Akting
Sinematografi
Kostum & makeup
Moral
Level of interest
Review
Aruna dan Lidahnya sudah mulai tayang sejak minggu lalu. Saya pun buru-buru nonton, meskipun akhirnya sendirian karena kedua partner nonton saya yang biasanya lagi sakit. Satu sakit cacar, sementara yang lain kena herpes. Informasi yang kurang berfaedah buat pembaca memang.
Setelah credit title berbaris di layar, saya bisa menyimpulkan kalau Aruna dan Lidahnya adalah tontonan yang simpel, menghibur, dan lucu. Sayangnya nggak punya satu fokus yang benar-benar jelas.
Lho temanya kan kuliner? Meskipun padat dengan gambar close up makanan, menurut saya aspek kuliner di Aruna dan Lidahnya hampir tidak berdampak apa-apa bagi perkembangan cerita. Seperti sederet manekin cakep di etalase. Bikin orang pingin masuk toko, tapi sebenarnya kalau nggak ada pun itu toko tetep bisa jualan.
Buat apa pakai latar investigasi wabah flu burung kalau nggak penting-penting amat buat ceritanya? Jadinya terasa seperti tempelan belaka. Karena pada dasarnya fokus cerita lebih ke perkembangan kisah cinta empat tokoh utamanya.

Mari kita tengok sebentar sinopsis di novel Aruna dan Lidahnya.
Ketika Aruna ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisah-kisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.
Sekarang kita nilai satu per satu signifikansi dari poin-poin yang disebut di atas.
- Makanan: banyak
- Politik: tipis
- Agama: tipis banget
- Sejarah lokal: tipis
- Korupsi: lumayan
- Konspirasi: lumayan
- Realita sosial: lumayan
- Cinta: lumayan
- Pertemanan: banyak
Tapi harus dimaklumi memang, adaptasi buku ke layar lebar selalu terkendala durasi tayang. Menuangkan semua unsur yang ada di dalam buku ke potongan gambar bergerak yang durasinya tak lebih dari 150 menit hampir tak masuk akal. Apalagi kalau unsurnya sebanyak Aruna dan Lidahnya. Dan ini juga bukan film yang menonjolkan special effect atau aksi laga. Kalau dibikin tiga jam seperti Titanic, penonton bisa molor di kursi masing-masing. Dibikin dua volume macam The Hunger Games: Mockingjay atau Kill Bill? Rasanya berlebihan juga.
Tetapi saya akui film ini lucunya memang dapet, terutama pas Dian breaking 4th wall. Para pasien yang mendadak curcol saat diwawancara itu juga cukup sukses menghadirkan tawa sekaligus rasa simpati.
Jalan cerita
Kalau boleh kasih saran, ada baiknya kalau awal persahabatan Aruna, Bono, dan Nad diceritakan sedikit. Dengan begitu penonton bisa tahu awal mula Bono naksir Nad, kenapa Aruna memilih profesi ahli wabah, bagaimana ceritanya Aruna bisa naksir Farish, atau kenapa Nad hobi pacaran sama suami orang. Hubungan Aruna dan mamanya yang sedikit canggung itu juga bisa digali. Jadi biar nggak seperti informasi yang sekadar lewat di kuping penonton.

Saya berharap profesi Aruna dan Farish dibumbui dengan lebih banyak detail. Ahli wabah adalah profesi keren yang jarang ada di film maupun buku. Rasanya sayang sekali kalau cuma digambarkan pakai masker dan safety suit saat meriksa ayam. Apalagi mereka mencoba mengangkat korupsi dan misinformasi seputar dunia kesehatan. Latar belakang ceritanya punya banyak potensi untuk dikembangkan.

Tapi lagi-lagi itu mungkin sudah tuntutan dari bukunya. Saya sendiri belum pernah baca Aruna dan Lidahnya versi novel. Tapi memadukan beragam unsur sekaligus, antara lain kuliner, roman, dan politik memang membuat cerita jadi sulit fokus.
Mungkin Aruna dan Lidahnya bakal sempurna kalau fokus pada kuliner dan cinta/persahabatan saja. Atau cinta dan persahabatan berbalut skandal dunia kesehatan. Atau diracik tiga-tiganya sekaligus, tapi dalam format episode. Dalam hal ini, kepiawaian para penulis skenario drama Korea patut dijadikan inspirasi. Menurut saya drama negeri ginseng memang selalu apik dalam meracik ulang cerita dari buku. Misalnya saja 18 vs 29 dan The 1st Shop of Coffee Prince yang menurut saya jauh lebih bagus dan kompleks daripada novel aslinya.
Akting
Pertama kali melihat tampang Aruna dan Bono di layar, saya langsung terpikir, Cinta dan Rangga udah jadi tante dan om. Tapi akting mereka juga semakin jempolan kualitasnya.
Aktor-aktris dengan jam terbang tinggi macam Dian, Nico, dan Oka memang beda kaliber dengan aktor-aktris FTV. Dengan cerita dan dialog sederhana pun, mereka tetap bisa menunjukkan akting mumpuni.
Di beberapa adegan Dian terasa kaku saat mengucapkan dialognya, terutama saat 4th wall breaking. Tapi mbak ini sukses jadi Aruna si cewek lucu yang berpenampilan biasa-biasa saja. Akting dan pembawaannya cukup natural.
Patut diacungi jempol dari Dian adalah kesediaannya untuk melepas atribut sebagai salah satu aktris paling cantik di Indonesia demi peran. Kalau akting bangun tidur, Dian bakal muncul dengan rambut acak-acakan, seperti yang dia tunjukkan di sinetron Dunia Tanpa Koma. Nggak pakai alis cetar, eyeliner, dan lipstik bold kayak Constance Wu di Crazy Rich Asians.

Di film ini Dian tetap kelihatan manis. Mungkin memang mustahil untuk menjadikan seorang Dian Sastro bertampang jelek. Tetapi melihat sosoknya sebagai Aruna, penonton mana pun pasti percaya kalau dia jarang dandan dan hobi makan. Giliran promo, mbaknya udah balik kaya bintang LUX lagi. Huhu.
Menurut saya yang aktingnya paling mantap adalah Nico. Meskipun adegan yang menampilkan karakternya tidak terlalu banyak dan jarang penting, tapi akting Mas Rangga terasa mulus.
Hannah Al Rashid yang berperan sebagai Nad juga cukup menonjol. Saya kurang tahu apakah dia memang sudah fasih berbahasa Indonesia sebelum hijrah ke tanah air. Pasalnya Hannah sama sekali tidak memiliki aksen asing. Saya rasa dia juga paling cocok memerankan karakter perempuan mandiri dan blak-blakan seperti Nad.

Bagi saya chemistry yang paling terasa berasal dari Dian dan Nico, meskipun di film ini mereka cuma sahabatan. Kekompakan Rangga dan Cinta di layar memang sudah teruji, bahkan bagi saya yang belum pernah nonton AADC tanpa terpotong-potong.


Dua pasangan yang seharusnya bikin penoton ikut gemes-gemes baper, yaitu Dian-Oka dan Nico-Hannah menurut saya malah lempeng-lempeng saja.
Sinematografi
Saya kurang paham apakah gambar makanan di film ini bisa diletakkan di bawah payung sinematografi atau tidak. Yang pasti film ini menyuguhkan gambar close up makanan hampir di setiap adegan. Benar-benar hampir di setiap adegan. Saking banyaknya, saya sampai kesulitan mengingat satu per satu makanan yang mampir di layar.

Sudut pengambilan gambar yang bagus membuat makanan yang presentasinya cuma asal tuang jadi kelihatan enak. Terutama makanan dari Madura dan Pontianak yang dimakan Aruna. Bikin saya menelan ludah berkali-kali. Saya jadi kepingin nyobain itu yang namanya campur lorjuk, pengkang, sama mi ayam kepiting. Ada choi pan favorit saya pula.

Kota-kota yang dikunjungi para tokoh utama nggak terlalu disorot, wong yang jadi bintang utama memang makanannya.
Product placement di film ini kentara sekali, tapi masih terhitung sopanlah. Nggak sefrontal Habibie & Ainun yang sedikit-sedikit naruh Chocolatos di atas meja. Atau sinetron Dunia Terbalik yang tiap episode diselipi adegan nawarin malkist dengan pujian setinggi langit.
Promosi
Baru kali ini saya membahas soal promosi film segala. Soalnya strategi pemasaran buat Aruna dan Lidahnya ini memang lumayan kreatif.
Aruna dan Lidahnya bekerjasama dengan produsen kecap manis terkemuka di Indonesia. Jadi mereka sekalian bagi-bagi resep nasi goreng yang dicari Aruna selama bertahun-tahun itu. Kalian bisa simak resepnya di video berikut.
Selain itu, beberapa bioskop yang menayangkan Arunda dan Lidahnya menyediakan empat menu yang mewakili masing-masing tokoh utama, yaitu nasi goreng, wafel, es kopi susu pandan, dan kentang goreng.

Semua menu tadi bisa dipesan dan dimakan di dalam studio selama Aruna masih tayang di bioskop. Tapi saya kemarin cuma ditawarin popcorn sama soft drink di Movimax. Hehehe. Memang nggak semua bioskop menawarkan layanan ini.
Kesimpulan
Menurut selera saya, Aruna dan Lidahnya memang bukan sebuah masterpiece, bagi beberapa orang mungkin bahkan mudah dilupakan. Namun film ini sukses menghibur saya dan penonton lain hari itu. Menghibur dalam artian lucu dan sedap dipandang mata.