[Review Buku] Namaku Hiroko, Romantisasi Perselingkuhan ala Nh. Dini

Judul: Namaku Hiroko
Penulis: Nh. Dini
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 247 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (pertama terbit tahun 1986)
Genre: roman, fiksi, dewasa, drama

sampul novel Namaku Hiroko karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama
sampul novel Namaku Hiroko karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama

Cerita

Dikutip dari Goodreads:

Kali ini Nh. Dini bercerita mengenai wanita Jepang, Hiroko namanya. Seorang gadis desa yang mengadu untung di kota besar. Mula-mula ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kemudian beralih ke sebuah toko besar (pada siang hari) merangkap penari di sebuah kabaret (pada malam hari).

Walaupun Hiroko banyak mengalami cobaan dalam mencapai cita-citanya, toh ia merasa puas dengan kehidupannya.
“Ya. Aku puas dengan kehidupanku”, tutur Hiroko di ujung novel ini.
“Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku”.

Bagaimanakah Hiroko mencapai kepuasan dalam hidupnya itu?

Apa dan bagaimana pula pengalaman-pengalaman Hiroko itu – Jawabannya ada dalam buku ini.

3 Points for:

☑️ Story

☑️ Setting

Characterization

☑️ Writing style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

💗💗💗

Review

Saya tidak banyak membaca karya Nh. Dini. Kalau ada yang saya baca selain Namaku Hiroko ini paling cuma Dari Parangakik ke Kampuchea dan Dari Fontenay ke Magallianes. Saya akui juga, saya belum tertarik untuk membaca karya-karyanya yang lain.

Nuansa Muram dan Berjarak ala Sastra Jepang

Seperti biasa, Nh. Dini memilih luar negeri sebagai latar ceritanya. Kali ini dia memilih Jepang sebagai setting. Tokoh utamanya juga bukan perempuan Indonesia yang merantau di Negeri Sakura, tapi seorang perempuan Jepang asli. Dialah Hiroko, gadis kampung dengan pemikiran simpel yang berjuang untuk meraih bahagia sampai harus menjadi pembantu, pegawai toko, sampai penari erotis.

Novel Namaku Hiroko diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu Hiroko sendiri. Gaya bertuturnya cukup senapas dengan penuturan Clarissa Goenawan di Rainbirds. Kesannya muram, dingin, dan berjarak.

Pembaca harus mencermati setiap detail kecil dari ekspresi Hiroko dan mengupasnya selapis demi selapis hingga menemukan isi hatinya yang sesungguhnya. Kadang penuturan yang implisit seperti itu justru lebih mengena daripada ungkapan langsung.

Karakter Hiroko di novel ini memang termasuk lempeng. Dia tak terus-terusan bergulat dengan rasa bersalah akibat pilihan-pilihan nyeleneh yang diambilnya dalam hidup. Apa itu moral? Orang susah tidak punya waktu luang untuk memikirkan hal semacam itu.

Iya, karakter Hiroko memang sulit untuk disukai. Pembaca mungkin bersimpati dengan kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapinya dan ketegarannya. Walaupun begitu, sulit untuk bersimpati dengan keputusan-keputusan egoisnya.

Mencari Pembenaran atas Perselingkuhan

Saya cukup menikmati gaya penuturan Nh. Dini yang puitis dan terasa “hidup” itu, tetapi enggan membaca cerita-cerita bikinannya. Rasanya Dini seperti mencoba meromantisasi ketidaksetiaan di buku-bukunya.

Hampir semua tokoh utama wanita di novel Nh. Dini berselingkuh dari pasangan resminya atau dengan suami wanita lain. Hiroko di novel ini juga begitu. Gara-gara itu, saya jadi merasa Dini berusaha mencarikan pembenaran atas perselingkuhan yang dilakukan tokoh-tokoh utamanya.

Perselingkuhan di novel-novel Nh. Dini juga ditunjukkan dengan cara yang cukup vulgar. Vulgarnya tentu tak bisa dibandingkan dengan buku-buku roman modern dari barat yang bertabur adegan ranjang eksplisit. Walaupun begitu, saya merasa tidak nyaman membacanya.

Saya ingat samar-samar dialog tokoh utama di salah satu novel Nh. Dini dengan selingkuhannya yang bernama Bagus. Kira-kira bunyinya begini. “Bagaimana kabar bawuk? Aku belum menyalaminya hari ini.” Geli, nggak, baca dialog kayak gitu? Rasanya seperti menguping tetangga yang lagi selingkuh.

Pada Namaku Hiroko, Nh. Dini kembali mengulang formula yang sama. Sebetulnya jalan cerita dari awal hingga pertengahan buku sangat menarik. Hiroko yang berjuang menghidupi diri dengan meloncat dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain membuat pembaca ingin menepuk-nepuk punggungnya. Begitu juga dengan deretan kisah cinta Hiroko yang gagal, tapi bisa dia ceritakan dengan datar.

Sayangnya, saya justru gregetan di akhir cerita. Hiroko memilih bahagia dengan menjadi simpanan dari suami sahabatnya.

Nh Dini tidak berusaha membenarkan jalan yang diambil Hiroko. Diceritakannya Hiroko harus bertahan menjadi istri simpanan dan menghadapi stigma negatif dari lingkungan sekitar seumur hidupnya. Intinya ini bukan happy ending yang benar-benar happy.

Trivia

Balik lagi ke topik perselingkuhan di novel-novel Nh. Dini, belakangan saya baru tahu kalau kebanyakan perempuan di novelnya adalah alter ego-nya sendiri.

Pada buku Dari Fontenay ke Magallianes, Dini menceritakan kisruh rumah tangganya dengan Yves Coffin dan perselingkuhan yang sempat dia lakukan dengan seorang kapten kapal bernama Bagus. Nama anak-anaknya pun tak disamarkan.

sampul buku Dari Fontenay ke Magallianes karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama
sampul buku Dari Fontenay ke Magallianes karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama

Di buku-buku lain rupanya cerita yang diangkat tak jauh beda. Dini menyaru menjadi Sri (Pada Sebuah Kapal), Rina (La Barka), atau Hilda (Istri Konsul). Mereka semua adalah wanita yang terjebak dalam rumah tangga penuh kepahitan dengan konsul atau diplomat Prancis berperangai buruk.

sampul buku La Barka karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama
sampul buku La Barka karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama

Selingkuhannya selalu kapten kapal beranak istri yang kadang bernama Bagus (Dari Fontenay ke Magallianes), kali lain bernama Michel (Pada Sebuah Kapal) atau Maurice (Dari Parangakik ke Kampuchea). Kalau bukan kapten kapal, selingkuhannya adalah seorang pemuda bule bernama Bruno atau Robert.

sampul buku Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama
sampul buku Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini © Gramedia Pustaka Utama

Melalui wawancara, Dini mengakui kalau selingkuh adalah perbuatan tercela. Namun, dia pun ingin pembaca memahami bahwa seorang wanita yang berselingkuh tidak pernah mengambil pilihan semacam itu dengan bertolak dari ruang kosong belaka. Selalu ada alasan di baliknya.

Kesannya memang seperti unreliable narrator yang sedang meromantisasi perselingkuhan dan mencari-cari pembenaran atas pilihan tak bijak yang sudah diambil. Namun, apa hak saya untuk mengomentari, apalagi menghakimi hidup orang lain? Biarlah itu menjadi urusan si penulis.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.