[Review Buku] The Long Walk, Dystopia Klasik dari Stephen King

Judul: The Long Walk
Penulis: Stephen King (as Richard Bachman)
Bahasa: Inggris
Format: ebook, 241 hal.
Penerbit: Signet Books (1999)
Genre: fiksi, dystopia, thriller

Cerita

Taken from Goodreads:

On the first day of May, 100 teenage boys meet for a race known as “The Long Walk”.
If you break the rules, you get three warnings.
If you exceed your limit, what happens is absolutely terrifying.

Taken from Amazon:

In the near future, when America has become a police state, one hundred boys are selected to enter an annual contest where the winner will be awarded whatever he wants for the rest of his life.

Among them is sixteen-year-old Ray Garraty, and he knows the rules—keep a steady walking pace of four miles per hour without stopping.

Three warnings and you’re out—permanently.

4 Points for:

check signStory

check signSetting

check signCharacterization

Writing style

Moral/interesting trivia

Level of Interest

The Long Walk. Photo: Amazon
The Long Walk. Photo: Amazon

Review

Sudah lama saya tidak bersentuhan dengan fiksi-fiksi dystopia. Kali ini saya memilih jenis dystopia dengan tema yang paling sering saya baca, yaitu deadly survival challenge. Tetapi sedikit berbeda dengan Battle Royale atau The Hunger Games. Pasalnya para peserta di dua judul yang saya sebutkan barusan dipilih oleh otoritas yang menjalankan program. Sementara 100 peserta Long Walk diseleksi dari para pendaftar sukarela.

Ray Garraty dan 99 remaja lain yang mengikuti Long Walk paham betul kalau program ini hanya bisa dimenangkan oleh satu orang. Sementara sisanya bakal mati karena kelelahan atau dengan tembakan di kepala. Mereka tahu pasti Long Walk tidak bisa diinterupsi oleh apa pun. Tak ada cara lain untuk keluar hidup-hidup selain menjadi pemenang.

Pemenang Long Walk akan mendapatkan satu keinginannya, apa pun itu. Bahkan dengan imbalan seperti ini, rasanya masih tak sepadan dengan risiko nyawa melayang. Namun anehnya setiap tahun ada ratusan pemuda yang mendaftar untuk menjadi peserta. Ada yang ingin menjadi pemenang agar bisa memberikan kehidupan layak bagi keluarganya. Ada pemuda patah hati yang berpartisipasi untuk sekadar menantang maut. Tak sedikit pula yang belum terpikir bakal meminta hadiah apa jika sampai menang.

Tentunya hal ini membuat pembaca bertanya-tanya, apakah mungkin orang-orang di negara itu sudah begitu terbiasa dengan kematian, sehingga para pemudanya pun tak pikir panjang untuk mempertaruhkan nyawa di program mematikan semacam itu. Negara macam apa yang pemerintahnya menyelenggarakan acara sehoror ini setiap tahun? Tetapi seperti kebanyakan dystopia, jawaban untuk pertanyaan semacam ini tidak akan didapatkan pembaca bahkan setelah buku tamat.

Juga sangat khas dystopia, kekerasan dan kematian para peserta dianggap sebagai hiburan bagi warga sipil yang menonton. Mereka menyaksikan acara ini layaknya pawai bunga yang menggiring kontingen Sea Games di mana peserta favorit dielu-elukan. Letusan senjata yang membuat isi kepala mereka berhamburan pun ditanggapi dengan sorak sorai.

“The word that one of the Walkers had been ticketed out ran through the spectators, and for some reason they began to cheer even more loudly.”

Bacaan yang Butuh Fokus dan Daya Tahan Tinggi

Membaca buku ini rasanya seperti menjadi peserta Long Walk sendiri. Butuh fokus, kesabaran ekstra, dan daya tahan tinggi agar bisa menyelesaikannya. Novel The Long Walk itu seperti perjalanan panjang yang seringkali membosankan, meskipun ceritanya benar-benar bagus.

Ilustrasi Long Walk. Photo: Pixabay
Ilustrasi Long Walk. Photo: Pixabay

Ketegangan yang coba dihadirkan King tergolong slow built kalau menurut selera saya. Bab demi bab adalah bibit konflik yang mulai dirajut satu per satu oleh King. Kematian pertama baru muncul di bab kedua. Sampai di sini peserta masih cukup optimis. Setelah mayat mulai berjatuhan, barulah rasa pesimis menggerogoti benak Garraty dan kawan-kawannya.

Setiap kematian di dalam cerita ini digambarkan dengan eksplisit, sehingga terasa cukup menegangkan. Tetapi entah kenapa saya merasa cerita ini bisa saja menjadi kenyataan. Bukan tidak mungkin program seperti Long Walk benar-benar ada di belahan bumi yang tak pernah saya dengar namanya atau mungkin dalam satu atau dua dekade dari sekarang. Karena itu pula saya cukup miris membaca novel ini.

“Curley’s angular, pimply head disappeared in a hammersmash of blood and brains and flying skull-fragments. The rest of him fell forward on the white line like a sack of mail.”

Karena Garraty dan beberapa peserta lain sudah menjalin persahabatan di setiap mil yang dilalui, kematian mereka jadi terasa lebih menyakitkan untuk dibaca. Ada yang gugur karena keseleo, paru-paru basah, kram, halusinasi, melanggar batas aturan kecepatan gara-gara kebelet pipis, menyerang petugas pengawas jalannya Long Walk, bahkan make out dengan penonton. Alasan yang terakhir ini memang agak bodoh dan saya jadi ikutan sebal.

Tapi yang paling miris adalah mereka yang gugur karena kehilangan akal sehat. Kematian mereka yang paling dramatis dan membekas di ingatan.

The Walkers

Tokoh utama The Long Walk adalah Ray Garraty, remaja 16 tahun yang cuma hidup berdua bersama ibunya. Garraty ini temasuk peserta yang populer di antara penonton karena ganteng.

Peserta yang paling banyak berinteraksi dengan Garraty adalah McVries. McVries mengikuti Long Walk karena alasan yang cukup sederhana. Patah hati. Misi utamanya mengikuti program ini tak beda jauh dengan prajurit yang menawarkan diri untuk maju ke garis depan pertempuran demi menantang takdir.

Ilustrasi Long Walk. Photo: Pixabay
Ilustrasi Long Walk. Photo: Pixabay

Peserta nomor 85, Scramm adalah satu-satunya yang sudah menikah. Scramm meninggalkan seorang istri yang sedang hamil, sehingga para peserta lain sepakat untuk membantu kehidupan anak dan istrinya jika salah satu dari mereka menjadi pemenang.

Stebbins tak termasuk dalam lingkaran ‘persahabatan’ Garraty, namun menjadi salah satu tokoh yang paling menonjol berkat sarkasme dan sikapnya yang misterius. Awalnya dia diremehkan, karena terlihat lemah. Walaupun begitu, dia terbukti memiliki ketahanan fisik dan mental paling baik.

Sama seperti Stebbins, Barkovitch juga termasuk karakter yang menonjol. Tetapi itu karena dia menempatkan diri sebagai public enemy di antara para peserta. Komentar-komentar rasis dan provokatifnya kerap membuat McVries terpancing.

“I’ll dance on your grave.”

-Gary Barkovitch

Bagi saya Barkovitch adalah karakter yang paling berkesan. Dari luar dia terlihat seperti anak setan yang kematiannya bakal saya syukuri. Namun dalam beberapa percakapan singkat dengan Garraty kita jadi tahu kalau Barkovitch adalah pemuda yang insecure. Dia haus perhatian manusia lain, tetapi tak tahu bagaimana cara memintanya. Sehingga komentar-komentar rasis itulah yang menjadi caranya untuk memancing atensi.

***

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, cerita The Long Walk itu sangat khas dystopia. Seperti 1084, setelah cerita tamat pun kita masih dibuat bertanya-tanya. Sebenarnya apa tujuan diselenggarakannya program mematikan ini? Kita bahkan tak tahu apakah si tokoh utama mendapatkan happy ending atau sad ending.

Jadi, mungkin kita harus menyimpulkan keseluruhan The Long Walk dari salah satu quote McVries.

“Walk or die, that’s the moral of this story. Simple as that.”

-Peter McVries

Trivia

The Long Walk adalah novel pertama yang ditulis oleh Stephen King, meskipun novel yang menjadi karya debutnya adalah Carrie. Novel ini termasuk salah satu dari segelintir novel yang dia terbitkan dengan nama samaran Richard Bachman. Beberapa judul lain yang juga populer adalah Rage,Thinner, Roadwork, dan teranyar Blaze yang terbit di tahun 2007.

4 thoughts on “[Review Buku] The Long Walk, Dystopia Klasik dari Stephen King

  1. Aku baru menyelesaikan baca e-book yang versi Inggrisnya. Dan itu menurut aku keren banget. mungkin pesan moral yang bisa kita ambil dari cerita itu adalah bahwa the long walk itu mempresentasikan kehidupan kita di dunia yang harus terus berjalan entah sampai kapan. ya sampai kita mati. dalam perjalanan itu, kita menemukan teman, cinta, sahabat bahkan musuh. tapi pada akhirnya pun kita harus menyaksikan mereka mati satu persatu dan kita tetap harus melanjutkan perjalanan itu apapun yg terjadi 😉

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.