
Judul: Tortured Artists
Penulis: Christopher Zara
Bahasa: Inggris
Format: paperback, 272 hal.
Penerbit: Adams Media (2012)
Genre: non-fiksi
Cerita
Taken from Goodreads:
Great art comes from great pain.
Or that’s the impression left by these haunting profiles. Pieced together, they form a revealing mosaic of the creative mind. It’s like viewing an exhibit from the therapist’s couch as each entry delves into the mental anguish that afflicts the artist and affects their art.
The scope of the artists covered is as varied as their afflictions. Inside, you will find not just the creators of the darkest of dark literature, music, and art. While it does reveal what everyday problem kept Poe’s pen to paper and the childhood catastrophe that kept Picasso on edge, it also uncovers surprising secrets of more unexpectedly tormented artists. From Charles Schultz’s unrequited love to J.K. Rowling’s fear of death, it’s amazing the deep-seeded troubles that lie just beneath the surface of our favorite art.
As much an appreciation of artistic genius as an accessible study of the creative psyche, Tortured Artists illustrates the fact that inner turmoil fuels the finest work.
Level of Interest

Review
It takes a tortured soul to create a masterpiece.
Itulah poin utama dari Tortured Artists. Buku ini mencoba mengkategorikan seniman-seniman dengan problematika hidup yang beragam dalam satu payung; jiwa kreatif yang tersulut oleh konflik batin.
Premis yang ditawarkan memang bagus. Penulis menyuguhkan biografi singkat 50 seniman yang dianggap ikonis di bidangnya. Masing-masing memiliki permasalahan pelik yang sudah jadi rahasia umum. Mulai dari broken home, pelecehan, penyakit, patah hati, obsesi tersembunyi, kegagalan karir, kemiskinan, hingga tekanan publik.
Dan dari sana Zara menyimpulkan bahwa inner demon para seniman itulah yang menjadi bahan bakar utama kreativitas mereka. Seolah-olah Alanis Morissette tak akan pernah berhasil menelurkan You Oughta Know jika tak pernah dicampakkan oleh Dave Coulier. Penampilan Joker tak akan bisa begitu impresif jika saja Heath Ledger tak berkutat dengan depresi dan adiksi terhadap narkoba.
Salah satu bagian yang paling menarik bagi saya adalah kisah hidup Charles M. Schulz, kreator strip komik Peanuts. Selama ini tak pernah terpikir kalau komik yang di mata saya identik dengan keceriaan dunia anak-anak seperti itu punya latar belakang cukup muram. Begitu juga dengan Judy Garland, si Dorothy yang riwayat hidupnya jauh dari gemerlap dunia dongeng Wizard of Oz.
Dari puluhan tokoh yang dibahas Zara, mungkin tak sampai separuh yang namanya familiar di telinga saya. Inilah kekurangan pertama Tortured Artists. Penulis sengaja memilih tokoh-tokoh yang mungkin memang lebih akrab di negaranya. Tak ada seniman asli Afrika, Asia, atau Australia yang mungkin saya kenal. Padahal cukup banyak seniman non-Eropa dan Amerika yang namanya mendunia. Haruki Murakami, Pramoedya Ananta Toer, atau Rabindranath Tagore misalnya?
Kekurangan kedua dari buku ini adalah ulasan panjang lebar yang sifatnya baru asumsi, bahkan bisa disebut stereotip. Saya akui begitu banyak orang yang menemukan energi kreatif dari pengalaman negatif seperti kesedihan. Setidaknya hal semacam itulah yang kerap dikaitkan dengan sosok seperti Beethoven atau Sylvia Plath. Walaupun begitu, tentunya tidak semua penyair harus depresi akut sampai nekat memasukkan kepala ke dalam oven agar bisa melahirkan karya yang mengena seperti The Bell Jar-nya Plath.

Zara juga tidak mendukung asumsi yang dia buat dengan analisis psikologi dari setidaknya satu narasumber yang memiliki kapasitas di bidang tersebut.
Jadi, Tortured Artists memang lebih baik dianggap sebagai bacaan ringan saja. Kenyataannya, buku ini memang mudah dinikmati. Anggap saja seperti membaca artikel 5 menit dari Bored Panda atau Buzzfeed.
Lagipula konsep tortured artist memang menggugah inspirasi, kan? Bukankah menyenangkan jika kita bisa berpikir kalau setiap kesedihan, jalan buntu, dan patah hati bakal membuka potensi terbesar di dalam diri? Kalau hal itu tidak membuat kamu tergerak untuk melakukan sesuatu, yah, saya nggak tahu lagi motivasi seperti apa yang mempan buat kamu. Hahah..