
Aku tak ingat seperti apa rasanya tidak mengenal Natan. Aku tak bisa membayangkan seperti apa rasanya tidak mencintai dia. Melihat dirinya dan menyadari aku telah menemukan apa yang selama ini begitu kudambakan, tanpa kuketahui. Rasa lapar yang begitu dalam, begitu dahsyat dan membuatku terjerumus ke dalam malam, sehingga aku takut bukan kepalang.
Agnes Magnusdottir – Burial Rites (Hannah Kent)
Judul: Burial Rites – Ritus-Ritus Pemakaman
Penulis: Hannah Kent
Bahasa: Indonesia
Format: paperback (416 hal.)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014)
Genre: fiksi sejarah, drama
Sinopsis
Tahun 1829, di sebuah kota kecil di Islandia Utara, Agnes Magnusdottir menunggu pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Karena tak ada penjara untuk menampungnya, Agnes ditempatkan di rumah keluarga Petugas Wilayah Jon Jonsson. Merasa tak nyaman ada pembunuh di tengah mereka, keluarga itu memperlakukan Agnes dengan dingin. Yang mau berusaha memahaminya hanya Asisten Pendeta Thorvardur ‘Tóti’ Jonsson yang ditugaskan untuk mempersiapkan Agnes menjemput maut.
Sejak kecil, Agnes hidup dari belas kasihan orang lain dan bekerja berpindah-pindah sebagai pelayan. Kecerdasannya, cara bicaranya yang dianggap asing, dan pengetahuannya tentang kisah-kisah dari buku, membuat orang-orang menjauhinya; nyaris tak seorang pun tahu seperti apa dia sesungguhnya. Agnes jatuh cinta pada Natan Ketilsson, orang pertama yang melihat dia sebagaimana adanya, dan dia pun pindah ke pertanian Natan di tepi laut, tempat sunyi yang hanya dihuni segelintir orang. Namun impiannya akan kehidupan yang lebih baik musnah. Natan Ketilsson tewas dibunuh, dan Agnes menjadi salah satu tertuduhnya.
Sambil menunggu ajal, Agnes menjalani hidup di tengah keluarga Jonsson, membantu pekerjaan sehari-hari dan meringankan beban mereka. Lambat laun sikap keluarga Jónsson mulai mencair. Mereka ikut mendengarkan ketika Agnes menuturkan kisah hidupnya kepada Toti.
Hari-hari bergulir tanpa terasa, dan tanggal pelaksanaan hukuman mati semakin dekat…
5 Points for:
Story
Setting
Characterization
Writing style
Moral/interesting trivia
Level of Interest

Review
Apa yang lebih suram daripada membaca kisah tentang seorang wanita yang kita tahu bakal mati di akhir cerita? Bukan mati dengan damai pula, tetapi mati dieksekusi layaknya pesakitan. Tapi rupanya hal itu tidak membuat saya dan pembaca Burial Rites yang lain kehilangan minat. Justru semakin terpikat dengan cerita yang sangat suram ini.
Bagi pembaca yang mau bersusah-susah Googling soal Burial Rites, kalian pasti sudah tahu kalau novel ini didasarkan kisah nyata yang terjadi 188 tahun lalu. Mengulas pembunuhan Natan Ketilsson dan Petur Jonsson oleh Agnes Magnusdottir, Fridrik Sigurdsson, dan Sigridur Gudmundsdottir. Kedua korban dibunuh dengan brutal pada suatu malam. Ketiga pelakunya adalah orang-orang yang bekerja kepada Natan. Dua di antaranya punya hubungan asmara dengannya. Pembunuhan ini menjadi buah bibir masyarakat dan berakhir dengan putusan hukuman mati. Agnes dan Fridrik menjadi terhukum terakhir yang dieksekusi di Islandia. Sesudahnya negara itu menghapuskan hukuman mati bagi para pelaku kriminal.

Selama ini pembunuhan Illugastadir (nama tanah pertanian yang jadi TKP) selalu diceritakan dari satu sudut pandang saja. Sudut pandang orang luar. Tak banyak yang bisa diketahui tentang ketiga pelakunya atau motif kejahatan mereka. Motif yang diyakini adalah ketamakan atas harta Natan Ketilsson. Namun penduduk di sekitar Illugastadir pun mengingat Natan dan Petur bukan sebagai sosok warga teladan. Natan yang berprofesi sebagai tabib ini terkenal sebagai perayu ulung bertemperamen buruk.
Burial Rites ditulis Hannah Kent untuk menciptakan sisi-sisi yang berbeda atas kasus tersebut. Dari perempuan 30 tahunan sadis yang mempengaruhi dua anak remaja untuk berbuat kejahatan, ditambahkannya sifat-sifat manusiawi pada sosok Agnes. Bermodal catatan-catatan seadanya yang berhasil dia kumpulkan, Hannah Kent menjadikan Agnes sebagai seorang wanita yang malang. Seorang gadis yatim piatu nan putus asa yang tertipu bujuk rayu seorang Natan Ketilsson, majikan sekaligus kekasihnya.

Dengan kepiawaian Hannah Kent dalam merajut cerita, kita diajak untuk mengikuti minggu-minggu terakhir kehidupan Agnes. Bagaimana dia berinteraksi dengan keluarga yang menampungnya sampai hari eksekusi tiba, bagaimana dia mengkilas balik hubungannya dengan Natan, sampai kepada malam naas yang membuat nyawanya harus berakhir di tangan algojo. Kedengarannya memang kurang menarik kalau saya ceritakan seperti ini. Tapi Hannah Kent memang benar-benar piawai dalam membangkitkan rasa simpati kita kepada Agnes.
Seperti yang disampaikan Hannah sendiri, novel ini memang berhasil ‘memberikan penggambaran yg ambigu’ tentang Agnes Magnusdottir. Dan itulah yang membuat perasaan pembaca semakin teraduk-aduk, menyisakan setitik rasa putus asa yang mungkin juga dirasakan Agnes sejak vonis dijatuhkan.