Judul: An Offer from a Gentleman—Tawaran dari Sang Gentleman (Bridgerton #3)
Penulis: Julia Quinn
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 508 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2001)
Genre: historical romance, drama
Sinopsis
Season 1815 sudah dimulai, dan sementara setiap orang membicarakan Wellington dan Waterloo, pada kenyataannya pembicaraan masih belum berubah dari season 1814, yang berpusat pada topik favorit kaum bangsawan—pernikahan.
Seperti biasanya, calon suami incaran para debutan berpusat pada keluarga Bridgerton, terutama anak laki-laki tertua Bridgerton yang masih lajang. Dia memang tidak memiliki gelar, tetapi wajahnya yang tampan, sosoknya yang menyenangkan, dan kekayaan yang memadai sepertinya bisa menutupi kekurangan itu. Bahkan, Penulis lebih dari sekali mendengar para Mama Ambisius berkata kepada para anak gadisnya. “Kau akan menikah dengan seorang duke… atau Bridgerton.”
Mr. Bridgerton sendiri sepertinya sangat tidak tertarik pada para gadis muda yang sering hadir dalam acara sosial para bangsawan. Dia hadir hampir pada setiap pesta, namun tidak melakukan apa pun selain memperhatikan pintu, mungkin menunggu seseorang yang istimewa. Mungkin… Mungkin seorang calon mempelai?
—Lembar Berita Lady Whistledown 12 Juli 1825
Sophie Beckett tidak pernah bermimpi dia bisa menyelinap ke pesta topeng terkenal Lady Bridgerton. Ia juga tak pernah membayangkan seorang pangeran tampan akan menunggunya di sana.
Meskipun ia adalah putri seorang earl, Sophie harus menjadi pelayan ibu tirinya yang culas. Walaupun begitu, berada di dalam pelukan Benedict Bridgerton membuat dirinya merasa seperti putri bangsawan.
Sayangnya, asmara singkat yang memabukkan itu harus berakhir seiring dentangan lonceng jam di tengah malam.
Benedict tak menduga kalau ia bakal menemukan seorang perempuan sempurna di pesta dansa ibunya. Sayangnya, gadis itu meninggalkannya begitu saja dengan satu ciuman yang tak terlupakan. Benedict bahkan tak mengetahui nama gadis itu. Hanya selembar sarung tangan yang bisa menjadi petunjuknya.
2 Points for:
❎ Story
☑️ Setting
❎Characterization
☑️ Writing style
❎ Moral/interesting trivia
Level of Interest
💗💗💗
Para Tokoh
Benedict Bridgerton
Anak kedua dari keluarga Bridgerton yang paling jangkung dan berjiwa seni.
Benedict adalah pria yang tampan, cerkas, penuh humor, dan perayu wanita seperti semua saudara lelakinya (kecuali Gregory yang masih anak-anak di cerita ini).
Walaupun begitu, sebenarnya Benedict adalah pemimpi yang lebih suka menghabiskan waktu untuk lukisannya. Kelak, dia menjadi pelukis tenar yang karyanya dipajang di National Gallery.
Benedict menyayangi ibu dan saudara-saudaranya. Walaupun begitu, ia juga ingin dinilai sebagai individu yang utuh, bukan sekadar salah satu Bridgerton. Terutama Bridgerton yang cuma dikenal sebagai si “Nomor Dua”.
Benedict juga berjiwa paling romantis jika dibandingkan saudara-saudaranya. Dia adalah satu-satunya anak Bridgerton yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada pasangannya. Karena itulah, Daphne di Romancing Mr. Bridgerton menyebut Benedict “tidak normal” dan menyarankan agar Colin tidak menjadikannya sebagai panutan dalam memandang cinta.
“Love grows and changes every day. And it isn’t like some thunderbolt from the sky, instantly transforming you into a different man. I know Benedict says it was that way for him, and that’s just lovely, but you know, Benedict is not normal.“
—Daphne Basset, Duchess of Hastings kepada Colin Bridgerton di Romancing Mr. Bridgerton (Julia Quinn)
Sophia Maria “Sophie” Beckett
Berambut pirang dan bermata hijau, Sophie adalah anak di luar pernikahan seorang earl dan pelayan. Meskipun berstatus pelayan, Sophie cakap dalam etiket kaum terhormat dan bahasa asing.
Awalnya, Sophie dibesarkan sebagai anak asuh sang earl. Begitu ayahnya meninggal, Sophie dipaksa menjadi pelayan oleh ibu tirinya yang culas. Mas kawin yang sudah disiapkan ayah Sophie untuknya juga dicuri oleh si ibu tiri.
Karena sudah bertahun-tahun hidup di bawah tindasan ibu tirinya, Sophie merasa hidupnya tidak akan berubah menjadi lebih baik. Walaupun begitu, ia ingin merasakan nikmatnya menjadi perempuan merdeka yang diperlakukan dengan terhormat meskipun hanya sekali. Pemikiran inilah yang membuatnya nekat menyusup ke pesta Violet Bridgerton.
“He was handsome and he was strong, and for this one night, he was hers.
When the clock struck midnight, she’d be back to her life of drudgery, of mending and washing, and attending to Araminta’s every wish. Was she so wrong to want this one heady night of magic and love?”
—An Offer from a Gentleman (Julia Quinn)
Meskipun mencintai Benedict, Sophie bertekad ia tak akan menjadi simpanan lelaki mana pun. Ia tidak ingin mengulangi cerita hidup ibunya dan memberikan masa depan suram untuk anak yang mungkin akan dilahirkannya kelak.
Review
Setelah review Romancing Mr. Bridgerton (Bridgerton #4), saya memutuskan untuk review An Offer from a Gentleman (Bridgerton #3). Soalnya, saya ngarep banget buku ketiga ini bakal dijadikan cerita utama season keempat Bridgerton series nanti.
An Offer from a Gentleman fokus pada asmara anak kedua Bridgerton, Benedict dan pelayan jelita bernama Sophie Beckett.
Buku ini termasuk judul dalam Bridgerton series yang saya nilai paling rendah. Berikut ini alasannya.
Kisah Cinderella Berlatar Era Regency Racikan Julia Quinn
Para novelis historical romance kerap menceritakan ulang kisah Cinderella. Julia Quinn pun melakukan hal yang sama lewat An Offer from a Gentleman ini.




Kisah Benedict dan Sophie benar-benar meminjam unsur cerita Cinderella. Ada ibu tiri jahat, dua saudara tiri, ibu peri, pangeran yang jatuh cinta kepada tokoh utama tanpa mengetahui identitasnya, dan aksesoris yang tertinggal saat Cinderella melarikan diri dari masquerade ball (pesta dansa dengan topeng).
Bedanya, tidak semua saudara tiri Sophie jahat. Rosamund memang memperlakukannya dengan buruk. Namun, Posy justru menjadi sahabat Sophie.
Ibu peri Sophie bukan benar-benar peri, tapi pelayan senior di kediaman Earl of Penwood yang menyayanginya.
Sophie tidak meninggalkan sebelah sepatunya, tapi sarung tangan bersulam lambang keluarga Penwood yang dikenakannya pada masquerade ball Bridgerton.

Satu perbedaan yang paling penting, Benedict bukan seorang prince charming. Dia ini agak bebal dan bisa dibilang kurang ajar di awal cerita. Dia sampai dua kali “melamar” Sophie untuk menjadi simpanannya. Sampai di sini saja terlihat jelas kalau Benedict menganggap kedudukan Sophie lebih rendah darinya.
Walaupun alasannya untuk melindungi Sophie, Benedict juga “memeras” gadis itu agar mau dibawa ke rumah Violet Bridgerton. Bekerja sebagai pelayan di rumah Lady Bridgerton memang terbukti membawa kebahagiaan bagi Sophie, tapi Benedict tetap merayunya. Mana bisa fokus kerja kalau begini. Mas Ben, ini namanya pelecehan dengan memanfaatkan relasi kuasa, ya! Kamu bisa dirujak feminis kalau hidup di zaman sekarang.
Inilah yang membuat saya tidak bisa menikmati An Offer from A Gentleman seperti Romancing Mr. Bridgerton dan When He Was Wicked yang sudah saya baca ulang berkali-kali.
Untunglah Benedict punya banyak sifat positif lain. Dia tidak ragu menyelamatkan Sophie dari kenalan-kenalannya yang berusaha memperkosa gadis itu.
[REVIEW BUKU] THE VISCOUNT WHO LOVED ME (BRIDGERTON #2)
Dia juga mengalami character development yang signifikan di paruh kedua cerita. Pada akhirnya, Benedict tak lagi peduli soal latar belakang keluarga Sophie dan rela melakukan apa saja demi gadis itu. Saya malah agak kaget waktu Benedict nyaris mencekik Araminta yang berani menghina Sophie di depannya.
Untung juga, Sophie bukan karakter Cinderella yang tipikal. Meskipun sering luluh kepada Benedict sampai saya gemes pengen jitak, dia menolak keras menjadi wanita simpanan.
Sophie terbilang sabar diinjak ibu tirinya selama bertahun-tahun. Walaupun begitu, dia berani membela diri jika diperlukan. Waktu diusir pun dia masih sempat mencuri hiasan sepatu Araminta untuk modal bertahan hidup.
Pada akhirnya, Sophie memang kembali menjadi Cinderella tak berdaya yang harus diselamatkan Benedict dari jeruji besi. Tapi ini memang skenario yang lebih realistis untuk historical romance berlatar era Regency daripada Sophie menikam Araminta sampai tewas. Saya sudah cukup puas Sophie sempat mukul Araminta sampai jatuh ke lantai.
[REVIEW BUKU & TV SERIES] THE DUKE AND I VS BRIDGERTON: SEASON 1
Lady Violet Bridgerton Menjadi Karakter Terbaik di Keseluruhan Cerita

Bicara soal karakter, saya rasa “bintang” di An Offer from a Gentleman bukan Sophie atau Benedict. Karakter paling simpatik adalah Violet Bridgerton dan kasih sayang sang lady terhadap anak-anaknya yang nyaris tanpa batas.
Violet sigap menyelamatkan Sophie dan menerimanya sebagai calon menantu tanpa mempedulikan latar belakang gadis itu. Nggak seperti anaknya yang sempat plin-plan karena mikirin omongan orang segala.
Bahkan sebelum bertemu Sophie pun dia sudah menyatakan kalau ia tidak peduli dengan status sosial perempuan yang akan dipilih Benedict sebagai istrinya nanti.
“I would allow my children to marry paupers if it would bring them happiness.”
—Violet Bridgerton, Dowager Viscountess of Bridgerton kepada Benedict Bridgerton di An Offer from a Gentleman (Julia Quinn)
Violet pun tak ragu untuk menjadikan Posy anak walinya saat Araminta tidak menganggapnya sebagai anak lagi.
Saya juga kepincut Colin Bridgerton gara-gara buku ini. Sudah ganteng, murah senyum, easygoing, open minded pula. Dia terang-terangan menyarankan Benedict untuk menikahi Sophie dan mengabaikan gosip kaum bangsawan.
“A Maid? Who cares? What is going to happen to you if your marry her?
…
People you couldn’t care less about will ostracize you? Hell, I wouldn’t mind being ostracized by some of the people with whom I’m forced to socialize.”
—Colin Bridgerton kepada Benedict Bridgerton di An Offer from a Gentleman (Julia Quinn)

[REVIEW BUKU] ROMANCING MR. BRIDGERTON (BRIDGERTON #4)
Sesuka itu saya sama Colin Bridgerton versi buku. Kalau punya anak lelaki nanti, bisa jadi saya kasih nama Colin juga.
Sayang Luke Thompson kebagian peran Benedict di Netflix series-nya. Padahal fisik dan tindak-tanduknya cocok banget buat memerankan Colin. Crooked smile-nya itu, lho! Book Colin banget!

Pada buku The Bridgertons: Happily Ever After, Benedict dan Sophie diceritakan mundur dari pergaulan kaum bangsawan London dan tinggal di desa untuk menghindari gosip soal latar belakang keluarga Sophie.
Akhir cerita seperti ini agak bittersweet buat saya. Tapi, toh, mereka masih hidup happily ever after, masih disayang seluruh keluarga Bridgerton, dan tetap kaya raya. Sepertinya, itulah poin paling penting bagi para pembaca.
Trivia
Asal-Usul Sepatu Kaca Cinderella
Cinderella termasuk salah satu dongeng paling terkenal di dunia. Hampir setiap kebudayaan di berbagai belahan dunia punya dongeng yang ceritanya sejenis. Versi tertua yang tercatat adalah Rhodopis dari Mesir kuno.
Sementara itu, versi Cinderella yang paling populer saat ini adalah karya Charles Perrault yang diterbitkan pada tahun 1697. Judul aslinya adalah Cendrillon. Artinya kurang lebih sama dengan Cinderella.
Kisah Cinderella dari pendongeng Prancis ini begitu populer karena menampilkan penambahan elemen dari cerita aslinya. Misalnya kereta labu, tikus-tikus yang menjelma menjadi kusir, dan sepatu kaca.
Iya, sepatu kaca merupakan elemen paling penting dalam dongeng Cinderella-nya Perrault. Objek ini kerap menjadi topik perdebatan di antara pembaca hingga pakar.
Menurut teori yang beredar, Cinderella versi Perrault aslinya tidak mengenakan sepatu kaca. Dia mengenakan sepatu bulu yang disebut “pantoufle de vair” dalam bahasa Prancis. Kesalahan penerjemahan membuatnya berubah menjadi “pantoufle de verre” yang diartikan sepatu kaca.
Bagi banyak orang, teori tersebut lebih masuk akal karena keberadaan sepatu kaca memang tidak pernah tercatat dalam sejarah mode. Sepatu seperti ini juga dianggap tidak memungkinkan diproduksi, apalagi sampai digunakan sebagai alas kaki.
Walaupun begitu, sejumlah pakar meyakini Perrault benar-benar menuliskan sepatu kaca, bukan sepatu bulu. Genevieve Warwick, profesor sejarah seni di University of Edinburgh mengatakan kalau sepatu kaca adalah bentuk sindiran Perrault terhadap fashion berlebihan kaum bangsawan Prancis pada era Raja Louis XIV.
“Sepatu kaca adalah guyonan cerkas,” kata Warwick kepada Observer. “Tidak ada yang benar-benar bisa berjalan—apalagi berdansa—dengan sepatu yang terbuat dari kaca.”
Warwick juga menyebutkan sepatu kaca sebagai ejekan terhadap Louis XIV yang sangat menyukai alas kaki mewah dan Aula Cermin (Galerie des Glaces) di Istana Versailles yang dibangun atas perintahnya.
Menurut kalian, teori mana yang lebih masuk akal? Sepatu kaca atau sepatu bulu?
Sumber bacaan:
Cinderella’s Slippers: Glass or Squirrel Fur? Language Log
Glass Slippers Mistranslations. Snopes
Think Cinderella’s a Fairytale? Fabled Glass Slipper is Revealed as a Joke on Royalty. The Guardian







