[Listopia] 10 Novel Fiksi Sejarah Indonesia tentang Perempuan

Historical fiction atau fiksi sejarah selalu punya tempat tersendiri di hati saya. Genre ini bisa menawarkan cerita yang sepenuhnya fiktif dengan latar sejarah yang riil.

Ada juga historical fiction yang menceritakan ulang riwayat seorang tokoh riil dari imajinasi si penulis. Jadi, dia masukknya bukan ke biografi. Lebih tepat kalau disebut fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata.

Kalau ditanya soal historical fiction yang bagus, saya lebih sering merekomendasikan karya penulis dalam negeri. Kebanyakan memang lebih “nyastra” daripada historical romance Inggris model Bridgerton yang enteng. Walaupun begitu, isinya benar-benar bagus dan tetap nggak sulit buat dinikmati, kok! Kaya informasi sejarah pula.

Kebanyakan fiksi sejarah lokal yang sudah saya baca fokus pada sosok perempuan. Saya rasa, perempuan memang simbol yang sempurna untuk menggambarkan kondisi masyarakat di masa lalu maupun masa kini.

Perempuan adalah sosok kontradiktif, dianggap lemah, tapi tak jarang menjadi wajah pergolakan. Katanya tak berdaya di hadapan lelaki, tapi juga bisa membuat pria paling hebat dalam sejarah bertekuk lutut di kakinya. Lihat saja Cleopatra, Theodora, atau Mishil.

Berikut ini beberapa novel berlatar sejarah dengan tokoh utama perempuan yang banyak direkomendasikan. Separuhnya masih belum saya baca, tapi saya rasa memang layak masuk ke dalam daftar antrean baca.

1. Gadis Kretek (2012) – Ratih Kumala

sampul novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala © dok. Tantri S.

Pertama, ada Gadis Kretek yang sempat ramai dibicarakan gara-gara diadaptasi menjadi limited series oleh Netflix.

Ceritanya menyoroti kiprah perempuan—diwakili sosok Jeng Yah—dalam perkembangan industri kretek Tanah Air.

Novel Gadis Kretek dimulai dengan wasiat Soeraja, seorang pengusaha rokok kretek terkemuka yang sudah di ambang kematian. Raja meminta anak-anaknya untuk menemukan seorang wanita dari masa lalunya.

Si bungsu, Lebas menelusuri detail sejarah perusahaan keluarganya hingga ke Kota M. Bersama Arum Cengkeh, ia mengungkap kisah cinta dan pengkhianatan yang melibatkan Raja dan Dasiyah atau Jeng Yah.

Jeng Yah adalah putri seorang pemilik pabrik rokok yang keluarganya porak-poranda setelah kisruh politik pada tahun 1965.

Jeng Yah memiliki keahlian untuk meracik rokok kretek ternikmat, tapi ia tak diizinkan mengurus pabrik rokok ayahnya karena bukan lelaki.

Novel ini menggunakan alur maju-mundur secara bergantian. Jeng Yah menceritakan kisahnya dengan Soeraja melalui rangkaian surat yang di kemudian hari dibaca Lebas dan Arum.

Novel ini tak hanya menceritakan asmara Jeng Yah dan hidupnya yang berakhir pahit. Gadis Kretek juga menceritakan seluk-beluk pembuatan rokok tradisional hingga sejarah industri rokok di Indonesia. Menurut saya, tema ini unik banget karena jarang dibahas di fiksi.

2. Rara Mendut: Sebuah Trilogi (1983—1994) – Y.B. Mangunwijaya

sampul novel Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya © dok. Tantri S.

Selanjutnya, ada trilogi novel Rara Mendut yang diterbitkan jadi satu buku oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007.

Melalui novel ini, Romo Mangun menceritakan ulang legenda Rara Mendut dan Pranacitra.

Kisah Romeo dan Juliet dari Tanah Jawa itu dibumbuinya dengan kondisi politik pada masa kepemimpinan Sultan Agung hingga Hamangkurat I yang penuh pergolakan.

Buku pertama menceritakan kisah Rara Mendut hingga kematiannya. Ia adalah gadis pantai tomboi dan jelita yang dihadiahkan Sultan Agung kepada Tumenggung Wiraguna.

Mendut menolak dijadikan selir. Ia memilih mati bersama pemuda sederhana yang dicintainya.

Buku kedua menyoroti kehidupan Genduk Duku, sahabat Mendut yang berhasil melarikan diri dari Wiraguna. Ia menjadi saksi hidup “perang dingin” sang tumenggung dan Pangeran Aria Mataram (kelak bergelar Hamangkurat I).

Sementara itu, tokoh utama buku ketiga adalah Lusi Lindri. Ia adalah anak Genduk Duku yang terpilih sebagai anggota pasukan elit pengawal Hamangkurat I.

Lusi kemudian menjadi bagian dari pemberontakan yang mengantarkan si raja lalim pada titik kejatuhannya.

Meskipun diawali dengan legenda, trilogi Rara Mendut pada akhirnya lebih banyak membahas intrik politik di Kerajaan Mataram.

Saya yang cuma familiar dengan cerita Sultan Agung di buku sejarah sekolah jadi tahu soal anaknya, Hamangkurat I dan genosida ribuan alim ulama pada masa kepemimpinannya.

[Review Buku] Rara Mendut: Sebuah Trilogi (Trilogi Roro Mendut #1-3)

3. Entrok (2010) – Okky Madasari

sampul novel Entrok karya Okky Madasari © dok. Tantri S.

Novel ini banyak direkomendasikan kepada saya. Walaupun begitu, saya sendiri masih belum sempat baca sampai sekarang.

Saya tidak bisa berkomentar banyak tentang isinya, jadi saya cantumkan sinopsisnya saja, ya! Satu hal yang pasti, latar novel ini adalah tahun 1965 sampai era Orde Baru.

disadur dari laman Goodreads:

Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?

Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri.

Adakah yang salah jika mereka berbeda?

Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.

Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.

Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.

4. Ronggeng Dukuh Paruk (1982—1986) – Ahmad Tohari

sampul novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari © dok. Tantri S.

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan trilogi novel karya Ahmad Tohari yang pertama kali terbit pada tahun 1982. Sama seperti Rara Mendut, saya juga baca versi keseluruhan trilogi yang diterbitkan jadi satu buku.

Judul novelnya secara berurutan adalah Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang Srintil, penari ronggeng belia dan kisah cintanya yang penuh rintangan dengan seorang pemuda miskin bernama Rasus.

Srintil dan Rasus sudah dekat sejak kecil. Namun sejak Srintil terpilih menjadi ronggeng, status mereka mendadak berbeda. Hanya pria-pria berduit yang diizinkan untuk menyentuh Srintil.

Rasus yang kecewa hengkang dari Dukuh Paruk. Ia memilih untuk mengadu nasib di Desa Dawuan. Ia sempat menjadi pesuruh di markas militer sebelum akhirnya diangkat jadi tentara.

Lagi-lagi, latar yang dipilih untuk novel ini adalah kisruh politik tahun 1965. Ketika terjadi penangkapan besar-besaran pasca 30 September 1965, Rasus dan Srintil dipertemukan kembali oleh takdir. Kali ini, kondisi hidup mereka terbalik. Rasus adalah bagian dari rezim yang baru bertahta, sementara Srintil adalah satu dari sekian banyak warga yang “ditumbalkan” demi legitimasi kekuasaan yang baru.

Nasib Srintil dan warga Dukuh Paruk menggambarkan banyak wong cilik pada periode tersebut. Banyak di antara mereka yang kehilangan masa depan hingga nyawa karena terseret arus politik, padahal sebenarnya tak tahu apa-apa. Wong cuma diajakin manggung sama LEKRA, tahu-tahu ikut diciduk dan sampai dibantai.

Novel ini juga banyak membahas tradisi ronggeng yang ternyata tak kalah menarik dari geisha di Jepang. Ritual-ritual yang dijabarkan di dalamnya membuat buku ini makin memikat.

[Review Buku & Film] Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Potret Tradisi yang Tergerus di Tengah Kemelut Sosial Politik 1965

5. Rasina (2023) – Iksaka Banu

sampul novel Rasina karya Iksaka Banu © dok. Tantri S.

Sebagian novel yang saya masukkan ke daftar ini berlatar tahun 1965. Sementara itu, Rasina berlatar tahun 1755. Ini adalah periode ketika VOC berada di ambang kebangkrutan akibat korupsi yang mengakar.

Cerita Rasina bergulir mengikuti Aldemaar Staalhart dan Joost Borstveld, duo penegak hukum di Batavia-Ommelanden. Mereka menyaksikan kasus korupsi gila-gilaan para pejabat VOC, kongkalikong mereka dengan petinggi setempat untuk menginjak-injak warga pribumi, kejamnya praktik perdagangan budak, dan penyelundupan candu.

Rasina adalah seorang budak bisu yang ditemui Staalhart dan Borstveld setelah kabur dari majikannya. Perempuan itu sudah menanggung begitu banyak luka. Namun, ia juga sudah melihat banyak hal di kediaman sang majikan. Karena itulah, ia bisa menjadi saksi kunci atas berbagai kebobrokan para pejabat.

Jika sampai terbongkar, rahasia yang diketahui Rasina bisa membuat jiwanya terancam. Namun, rahasia itu juga bisa membawa secercah harapan baru bagi dirinya dan orang-orang pribumi yang lain.

6. Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999) – Remy Sylado

sampul novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa karya Remy Sylado © dok. Tantri S.

Bagi saya, Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa merupakan salah satu karya terbaik mendiang Remy Sylado. Novel ini juga menghadirkan fakta-fakta menarik tentang sejarah Indonesia pada masa kolonial hingga tradisi Tionghoa peranakan.

Seperti kebiasaan Remy Sylado, novel ini juga dilengkapi foot notes (catatan kaki) yang kadang bisa sampai separagraf tebal. Saya jadi tahu sejarah penamaan toko kelontong sampai nilai mata uang pada zaman Belanda gara-gara buku ini.

Cerita novelnya sendiri berpusat pada Tinung, penari cokek di Kalijodo yang sempat menjalin hubungan dengan dua pria bernama Tan Peng Liang. Salah satunya adalah pengusaha Tionghoa-Jawa yang ikut mendanai pergerakan para pejuang kemerdekaan. Sementara seorang lainnya adalah lintah darat yang tak segan menghabisi nyawa manusia.

Puluhan tahun kemudian, Giok Lan, putri Tinung bertekad untuk menemukan kebenaran atas silsilahnya. Tinung punya dua anak perempuan dari masing-masingTan Peng Liang. Kedua anak itu diberi nama Giok Lan. Jadi, Giok Lan yang manakah dirinya? Apakah ia adalah putri seorang pejuang atau pria tamak nan keji?

Setelah itu, pembaca dibawa mundur ke riwayat Tinung saat diperistri juragan perahu pada usia 14, lalu kemalangan yang membuatnya terpaksa menjual suara sekaligus tubuhnya dalam kondisi hamil besar, pertemuannya dengan kedua Tan Peng Liang, hingga pengalaman pahitnya menjadi jugun ianfu saat pendudukan Jepang.

[Review Buku dan Film] Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa Karya Remy Sylado

7. Gadis Pantai (1962)

sampul novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer © dok. Tantri S.

Ini adalah karya Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis terbaik Indonesia yang karya-karyanya langganan dilarang pada masa Orde Baru.

Gadis Pantai sebenarnya merupakan sebuah trilogi. Sayangnya, naskah buku kedua dan ketiga sudah dimusnahkan rezim. Seingat saya, isi buku ini bahkan tidak sebegitu kontroversial kalau dibandingkan buku-buku zaman sekarang yang terang-terangan memojokkan rezim Orde Baru.

Namun, kritik sosial Pram di buku ini memang tajam. Ia menyindir tingkah para bangsawan Jawa yang seringnya lebih feodal daripada penjajah. Isu tentang ketimpangan kelas sosial disampaikannya lewat pandangan Gadis Pantai terhadap dunia di sekitarnya.

Jadi, Gadis Pantai adalah remaja dari kampung nelayan yang dijadikan selir seorang bangsawan dari Rembang. Setelah melahirkan seorang anak perempuan untuk Bendoro, suaminya, Gadis Pantai justru dipulangkan ke rumah orang tuanya. Ia juga tak diperbolehkan membawa anaknya.

Ternyata, Gadis Pantai hanya satu dari beberapa perempuan yang dijadikan “istri percobaan” oleh Bendoro sebelum resmi menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya.

Konon, cerita novel Gadis Pantai ini terinspirasi dari pengalaman hidup nenek Pram sendiri. Setelah membaca buku ini, saya kesel banget karena nggak bakal tahu kelanjutan ceritanya.

8. Amba (2012) – Laksmi Pamuntjak

sampul novel Amba karya Laksmi Pamuntjak © dok. Tantri S.

Saya belum pernah baca buku ini, jadi tidak bisa berkomentar lebih jauh mengenai ceritanya atau kepenulisan Laksmi Pamuntjak. Namun, saya rasa buku ini layak masuk daftar bacaan kalau melihat daftar penghargaan yang sudah diraihnya.

Katanya, ini adalah modern retelling dari kisah Amba dan Bhisma dari Mahabharata, tapi latarnya Indonesia pada masa pergolakan tahun 1965.

Novel ini menggunakan alur maju dan mundur dan bercerita tentang Amba yang pergi ke Pulau Buru untuk menemukan ayah dari anaknya.

Puluhan tahun lalu, Amba bertemu Bhisma, seorang dokter lulusan Leipzig, Jerman yang sudah membuatnya jatuh cinta. Kisah cinta mereka putus begitu saja, karena Bhisma diciduk pemerintah dalam penangkapan besar-besaran terkait peristiwa G30S.

Bhisma menjadi tahanan politik dan dibuang ke Pulau Buru. Setelah rezim Orde Baru berakhir, sejumlah tapol dibebaskan. Namun, Bhisma tetap tak kembali. Rupanya ia sudah meninggal di pulau itu.

Melalui surat-surat yang ditinggalkan Bhisma untuknya, Amba mengungkap kisah-kisah sedih hingga mengharukan yang dialami para tahanan di Pulau Buru.

9. Rahasia Salinem (2018) – Brilliant Yotenaga dan Wisnu Suryaning Adji

sampul novel Rahasia Salinem karya Brilliant Yotenaga dan Wisnu Suryaning Adji © dok. Tantri S.

Ini juga belum sempat saya baca, ya! Jadi, saya sertakan sinopsisnya saja buat pertimbangan.

disadur dari laman Goodreads:

Salinem adalah seorang abdi dalem, perempuan yang mengabdikan hidupnya untuk mengurusi kebutuhan keluarga keraton.

Sepanjang hidup Salinem yang merentang hampir satu abad lamanya, sejak 1923 hingga 2013, latar ketika cerita sebenarnya dimulai, ia bergelut dengan serangkaian peristiwa kelam.

Menjelang kematiannya, misteri hidup Salinem yang sesungguhnya terkuak. Misteri yang tidak hanya menggoyahkan keutuhan sebuah keluarga keturunan bangsawan, tapi juga mengungkap peran penting seorang jelata sebagai baut kecil yang mempertahankan keutuhannya selama hampir 100 tahun.

10. Mirah dari Banda (1986) – Hanna Rambe

sampul novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe © dok. Tantri S.

Terakhir, ada Mirah dari Banda yang ditulis oleh Hanna Rambe. Dia ini adalah novelis sekaligus jurnalis senior Indonesia. Beliau ini pernah menjadi penulis di Intisari pada tahun 1970-an. Karena saya suka banget sama artikel-artikel in-depth khas Intisari, saya rasa karya penulis yang satu ini wajib saya masukkan daftar baca.

Menurut saya, latar Mirah dari Banda termasuk lain dari yang lain. Kali ini bukan di Jawa, tapi Banda. Ini adalah pulau yang jadi rebutan bangsa Eropa selama ratusan tahun. Soalnya, Banda adalah penghasil pala yang dianggap sebagai salah satu rempah paling berharga di masa lalu.

disadur dari laman Goodreads:

Novel ini mengungkapkan sisi paling gelap tragedi kemanusiaan akibat perang dan perbudakan oleh penjajah Belanda dan Jepang terhadap bangsa Indonesia.

Perang dan penjajahan telah menginjak-injak harkat kemanusiaan serta menorehkan luka dan trauma bagi perempuan korban perang, seperti Mirah.

Kuli kontrak, jugun ianfu, romusha, nyai (perempuan piaraan), buruh anak adalah pengalaman yang menjadi sisi dan warna kelam kehidupan bagi Mirah dari Banda dan semua perempuan yang mengalaminya.

Yak, sekian tulisan agak panjang saya tentang buku-buku fiksi sejarah Indonesia yang bicara tentang sosok perempuan. Judul mana saja yang sudah kamu baca?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.