

Penulis: Izzeldin Abuelaish
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 370 hal.
Penerbit: Qanita (2011)
First Published: 2010
Genre: non fiksi
Cerita
Ini sinopsis yang aku ambil dari Goodreads.
Kisah Seorang Dokter Palestina Memperjuangkan Perdamaian Tanpa Dendam dan Kebencian
“Seperti orang-orang lainnya, kami semua tidur bersama di satu ruangan. Kami mengatur sebagian anak tidur di sisi sebuah dinding, dan anak-anak lain di sisi dinding yang lainnya, supaya seandainya terkena serangan, kami tidak mati seluruhnya.”
Januari 2009, saat Hamas dan Israel tak kunjung mencapai kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri konflik Gaza, roket menghantam rumah Izzeldin Abuelaish. Menewaskan tiga putri dan satu keponakannya. Peristiwa itu tak hanya mengguncang keluarga Izzeldin, tetapi juga seluruh dunia.
Lahir dan tumbuh sebagai orang Palestina yang terjajah Israel, Izzeldin tak pernah menaruh dendam. Dokter ahli kandungan ini bahkan bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Israel, dihormati para koleganya, baik orang Israel mau pun Palestina. Dengan tulus dia merawat semua pasien, baik orang Palestina mau pun Israel. Banyak wanita Israel memercayakan kelahiran bayi mereka padanya.
Namun kemudian, pihak Israel mengebom rumahnya. Izzeldin yang baru saja berduka akibat kematian sang istri, harus kehilangan tiga putrinya. Mampukan Izzeldin tetap percaya pada kemungkinan perdamaian kedua bangsa yang selama ini dia perjuangkan? Setelah putri-putrinya sendiri menjadi korban perang, mampukah dia mengalahkan duka, amarah dan dendam untuk terus menapak di jalan perdamaian?
Level of Interest
My Review
Buku ini membeberkan kisah hidup Izzeldin Abuelaish, dokter Palestina yang sangat memilukan namun inspiratif. Meskipun diceritakan dari sudut pandang seorang Palestina yang jadi korban dalam konflik Israel-Palestina, Abuelaish sama sekali tidak mencoba memprovokasi pembaca untuk benci Israel. Dengan pemikiran yang arif dia justru mengajak kita untuk lebih dulu mengedepankan ‘kemanusiaan’ daripada konflik antar golongan, etnis, atau bahkan agama.

Penuturan Abuelaish justru memberikan cara pandang yang sama sekali berbeda tentang orang-orang Israel yang dia kenal sejak kecil. Banyak kolega dan teman-temannya yang orang Israel tapi tidak menyetujui pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap warga Palestina. Salah satu mendiang putrinya pun biasa pergi ke kamp musim panas bersama anak-anak Israel. Mereka berteman dengan baik dan kebanyakan dari mereka tidak diajarkan untuk memerangi orang Palestina. Namun konflik antara kedua negara itu memang membuat hubungan mereka jadi sedikit canggung.
Intinya buku ini memberitahu kita, kalau tidak semua orang Israel itu kejam. Mereka yang kita lihat di televisi adalah sekelompok manusia (yang tidak mewakili keseluruhan warga Israel) yang melakukan kekejaman terhadap manusia lainnya.
Aku merekomendasikan buku ini untuk semua orang. Sepertinya kita perlu lebih banyak orang dengan hati dan pemikiran seperti Abuelaish di muka bumi. Tapi siap-siap tisu yang banyak selagi baca. 🙂
Aku berharap misi kemanusiaan pak dokter selalu mendapat jalan dan anak-anaknya yang masih hidup selalu dilindungi Allah SWT.