
Karena habis nonton Watchmen the series, saya jadi kepikiran dystopian fiction. Genre yang satu ini memang terfavorit buat saya. Baik untuk dibaca ataupun ditonton.
Saya selalu kesengsem film-film ber-genre dystopia. Sejelek apa pun filmnya. The Purge, The Postman, Mortal Engines, sampai Darkest Minds yang review-nya negatif pun saya suka.
Kalau bicara soal dystopian fiction, seharusnya saya baca lebih banyak buku dari genre ini. Tapi nyatanya nggak banyak yang sudah saya lahap.
Genre dystopia memang agak berat. Butuh mental yang sedang oke untuk membacanya. Jadi nggak bisa langsung lahap banyak judul. Sama seperti saya yang nggak mampu kalau harus nonton Black Mirror secara maraton.
Tapi ada beberapa novel dystopia yang kepingin saya rekomendasikan ke pembaca lain. Barangkali ada penikmat fiksi yang kepingin kenalan sama genre ini.
Dan sebelum ke list, mari kita bahas soal definisi dystopia dulu.
Dystopia dan Anti-Utopia
Menurut Oxford Dictionary, dystopia adalah negara atau masyarakat imajiner yang ditandai ketidakadilan dan penderitaan, terutama setelah terjadinya bencana besar-besaran atau masyarakat yang dipimpin pemerintah totaliter.
Meminjam dari Wikipedia, dystopia adalah kondisi masyarakat yang menakutkan dan tidak diinginkan.
Dystopia sendiri berasal dari istilah Yunani yang secara harfiah bisa diartikan sebagai ‘tempat yang buruk’.
Singkatnya, dystopia adalah antonim dari utopia. Anti-utopia. Fiksi dari genre ini biasanya punya beberapa ciri khas, antara lain:
- Pasca-perang atau bencana besar
- Tatanan masyarakat yang kacau
- Perekonomian ambruk
- Kerusakan lingkungan
- Dehumanisasi dan opresi besar-besaran
- Pemerintah totaliter atau megakorporasi yang memonopoli kehidupan masyarakat
Dystopia kerap diramu bareng unsur post-apocalytic dan sci-fi. Jadi kadang sulit mengidentifikasi ketiganya secara terpisah.
Novel-Novel Dystopia Terbaik Versi Saya
Nah, kalau baca pengertiannya saja pasti masih belum nyantol beneran. Saya dulu begitu. Jadi, sekarang langsung coba baca buku-bukunya saja. Ini beberapa novel dystopia recommended versi saya.
1. 1984 – George Orwell
Nothing beats the excellence of 1984. Menurut saya ini adalah mahakarya di genre dystopia. Benar-benar detail, bikin miris, dan nakutin. Satir yang benar-benar mengena.

Dystopia di 1984 ditandai pemerintahan totaliter yang dikendalikan partai tunggal Ingsoc. Partai ini menguasai setiap aspek kehidupan masyarakat Oceania sampai ke tingkat pikiran. Bahkan bahasa sehari-hari pun harus menggunakan Newspeak yang kosakatanya terbatas, demi mencegah berkembangnya gagasan ‘radikal’.
Konsep double think yang jadi bagian doktrin Ingsoc ini benar-benar sakit. Kalau pemerintah bilang 2+2=5, meskipun yang bener 4, warga Oceania harus yakin 100 persen jawabannya 5. Dan ini berlaku untuk setiap statement yang dikeluarkan negara.
Pokoknya kalau dibandingkan Big Brother dan antek-anteknya, Kim Jong-un serasa santo.
2. The Handmaid’s Tale – Margaret Atwood
Nah, dystopia yang satu ini mengangkat radikalisme agama dan isu opresi terhadap kaum wanita, dalam kondisi terburuk yang bisa dibayangkan.
Berbekal ayat yang diinterpretasikan seenak jidat, kelompok politik yang berhasil merebut kekuasaan di Amerika Serikat mengubah negara itu menjadi Gilead, sebuah negara totaliter dengan falsafah hidup ultra-konservatif.

Klasifikasi sosial dihidupkan kembali. Nyaris seluruh hak kaum wanita dicabut. Wanita dilarang membaca, menulis, dan memiliki properti. Offred, sang tokoh utama dan para wanita di negaranya terkungkung di bawah ketidakadilan patriarki. Sounds familiar, ladies?
Peran mereka sudah ditentukan sejak awal. Istri komandan harus berbaju biru. Para matron berbaju coklat. The Marthas berperan sebagai pembantu rumah tangga. Sementara wanita fertile seperti Offred harus patuh dijadikan mesin pencetak bayi dan budak seks. Pakai nama lahir pun dilarang.
Jiwa feminis Anda semua bakal berontak membaca Handmaid’s Tale ini. Kapan-kapan saya tulis review lengkapnya lah. Oh, ada TV series-nya juga yang sudah sampai season 3. Recommended juga itu.
3. Battle Royale – Koushun Takami
Singkatnya, Battle Royale ini seperti The Hunger Games dikawinkan dengan The Purge dan dikasih rating R. Baik buku, film, maupun manga-nya recommended semua.
Kalau 1984 seolah menyindir fasisme dan oligarki di masa Perang Dunia, Koushun Takami seperti menyinyiri keputusan Jepang terjun ke Perang Dunia.

Bagi saya, anak-anak yang dipaksa saling bunuh di Program ini seperti alegori para pemuda Jepang yang dikirim ke medan perang demi ambisi politik para petinggi yang sebenarnya tidak mereka pahami. Sama seperti tujuan Program yang tidak pernah dipahami Republic of Greater East Asia.
Nuansa satir, gore, sinisme dan ironinya benar-benar dapet. Terutama karena masing-masing karakter di dalam cerita disorot bergantian. Most memorable character, Mitsuko Souma, Kazuo Kiriyama, dan Takako Chigusa. Nggak memorable gimana, wong Quentin Tarantino sampai khusus bikinin karakter Gogo Yubari buat si Chigusa (Chiaki Kuriyama).
3. The Hunger Games – Suzanne Collins
Harus saya akui, sekilas The Hunger Games memang seperti versi PG 13 dari Battle Royale. Rilisnya duluan Battle Royale pula. Tapi kalau dibaca dan diresapi, keduanya menggarisbawahi topik yang berbeda. Moral cerita yang coba disampaikan pun berbeda.
The Hunger Games menceritakan kondisi masyarakat Panem, sebuah negara di wilayah Amerika Utara yang ditopang 12 distrik dengan Capitol sebagai pusat pemerintahannya.
Capitol punya sebuah program yang disebut The Hunger Games. Setiap tahun, 12 pasang anak lelaki dan perempuan dari tiap distrik diisolasi dalam sebuah arena raksasa untuk saling bunuh. Program ini diadakan sebagai peringatan atas pemberontakan distrik-distrik di masa lalu. Yah, kurang lebih seperti film G 30 S/PKI yang wajib diputar setiap tahun.

The Hunger Games ini adalah fiksi dystopia pertama saya. Dibacanya waktu zaman kuliah. Buku ini memang pas buat berkenalan dengan dystopia.
Meskipun kelompok umur yang disasar adalah young adults, tapi pembaca dewasa pun saya rasa tak bakal kesulitan menikmati The Hunger Games.
Bukan tanpa alasan kalau The Hunger Games jadi salah satu novel terlaris dunia. Judul ini punya semua faktor yang bikin sebuah buku fiksi nagihin. Unsur sci-fi, dystopia, tokoh utama bad ass, aksi seru, dan cinta segitiga yang cukup greget.
4. Unwind – Neal Shusterman
Unwind yang merupakan buku pertama dari series Unwind Dystology juga Young Adults. Tapi ceritanya intriguing sekali. Menyoroti kontroversi aborsi dan donor organ di zaman modern dalam bentuk alegori.

Jadi ceritanya, jagat dystopia Unwind mengenal program unwinding atau pemisahan raga. Anak-anak yang tidak diinginkan boleh dikirim sebagai donatur organ oleh pemerintah atau orangtuanya, terlepas si anak bersedia atau tidak. Masalahnya unwinding ini bukan cuma mendonorkan satu atau dua organ. Setiap bagian tubuh si anak bakal dipisah-pisah dan nantinya diberikan kepada recipient yang berbeda-beda.
Ceritanya sedikit mirip film The Island yang dibintangi Scarlett Johansson dan Ewan McGregor. Sama Never Let Me Go-nya Kazuo Ishiguro juga mirip, sih. Tapi yang ini lebih kental aksi. Dan jelas ada pemberontakannya macam The Hunger Games, The Maze Runner, dan Divergent. Khas dystopia ala Young Adults pokoknya.
5. The Maze Runner – James Dashner
Nah, setelah saya sebut di atas, sekarang saya masukkan juga The Maze Runner ke dalam daftar. Intinya ini adalah cerita tentang sekelompok pemuda yang lari-larian di dalam labirin. Nggak lah, ceritanya lebih kompleks daripada itu, kok.
Setiap bulan, sebuah otoritas misterius mengirim seorang anak lelaki ke dalam Glade, desa kecil yang terisolasi tebing karang dan tembok menjulang. Mereka semua tak punya ingatan apa pun selain nama masing-masing. Jadi mereka memutuskan untuk hidup bersama, membentuk sistem sosial mini sambil mencari jalan keluar dari Glade.

Satu-satunya harapan mereka untuk keluar dari Glade adalah The Maze, labirin raksasa yang selalu bergerak. Masalahnya, The Maze dihuni monster-monster Griever yang suka menyantap manusia.
Saya sangat menikmati The Maze Runner dan membayangkan cerita ini sebagai metafora Tuhan yang melemparkan Adam dan Hawa ke bumi dalam keadaan telanjang. Membiarkan mereka bergerak dengan cipta, rasa, dan karsa. Apakah mereka akan pasrah menerima nasib atau berusaha mencari tahu rencana besar Sang Pencipta?
6. The Long Walk – Stephen King
Dan rekomendasi dystopian fictions selanjutnya berasal dari King of Horror, Stephen King. The Long Walk yang mengusung konsep survival challenge seperti The Hunger Games dan Battle Royale, tapi dalam bentuk kompetisi jalan kaki…sampai mati.

100 Remaja mendaftar secara sukarela demi kesempatan untuk mendapatkan satu keinginan dari pemerintah, apa pun itu. Mereka paham betul kalau program ini hanya bisa dimenangkan oleh satu orang. Sementara sisanya bakal mati karena kelelahan atau roboh dengan tembakan di kepala. Mereka tahu pasti Long Walk tidak bisa diinterupsi oleh apa pun. Tak ada cara lain untuk keluar hidup-hidup selain menjadi pemenang.
Ini adalah novel yang perlu dibaca dengan kesabaran, karena tergolong slow paced. Bikin ngeri, miris, sekaligus ikut capek. Saya rasa memang tepat kalau Stephen King dijuluki raja horor, meskipun cerita-cerita buatannya nggak pakai hantu.
7. Legend – Marie Lu
Boleh percaya atau tidak, tapi novel ini terinspirasi dari Les Miserables-nya Victor Hugo. Tepatnya dari karakter Jean Valjean dan Javert.
Legend diceritakan lewat sudut pandang ganda dari June Iparis, seorang prodigy yang tumbuh di antara privilege kaum Republik dan Day yang besar di tengah kemiskinan Koloni. Pergerakan dua karakter ini akan mengantarkan pembaca ke balik layar pemerintahan militer yang bobrok.

Ini adalah novel dystopia yang cukup seru, cocok buat penggemar Young Adults dan aksi heroik. Tidak sekuat The Hunger Games memang, tapi bolehlah buat dibaca.
Dan sampai di sini saja ulasan singkat dan rekomendasi fiksi dystopia dari saya. Sebenarnya masih banyak judul yang lebih populer daripada novel-novel di daftar ini. Misalnya Uglies, Shatter Me, Matched, Cinder, Do Androids Dream of Electrical Sheep?
Atau yang sudah ada filmnya seperti Ender’s Game, Divergent, dan Fahrenheit 451. Dan jangan lupakan dystopia klasik macam A Clockwork Orange dan Lord of The Flies. Tapi semuanya belum saya baca sampai tuntas, jadi nggak bisa masuk rekomendasi dulu. Mungkin suatu saat daftar ini bakal direvisi, ditambahi judul-judul baru.
1984, indeed !! Dan gegara baca itu aku jadi susah tidur.. Apalagi pas baca bagian penyiksaan.. Uff.. Big Brother is watching me 😂
LikeLike
Efek habis baca 1984 emang ga enak di ati ga sih
LikeLiked by 1 person
Aku cuma tahu The Maze Runner, itu pun filmnya. setuju, ceritanya menarik banget. Aku pernah baca The Darkest Mind, aku agak bosan bacanya.
Trims Kak buat artikelnya. Bisa ditambah ke reading list nih…😊
LikeLike
Eh darkest mind ga seru ya? Pingin nyoba baca padal
LikeLike
Featured image pake font montserrat. Apik kan.
LikeLike
Bagus. Les lg dong, pak
LikeLike