
Now they would be samurai no more, but would bear the despised title of ronin. They would be lonely men, without station or prestige, still privileged to wear their two long swords, but without any just cause to serve.
—47 Ronin (John Allyn)
Judul: 47 Ronin
Penulis: John Allyn
Bahasa: Inggris
Format: ebook, 255 hal.
Penerbit: Tuttle Publishing (2012)
Genre: Asian literature, Japanese literature, historical, folklore
Cerita
47 Ronin Story is the classic Japanese story of Lord Asano of Ako and one of the bloodiest vendettas in Japan’s feudal history. In a shocking clash between the warriors and the merchant class of seventeenth century Japan, there emerged the most unlikely set of heroes-the forty-seven ronin, or ex-samurai, of Ako.
Tahun 1701, suatu peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Insiden Ako terjadi di Istana Shogun di Edo. Sebuah perselisihan membuat harga diri seorang daimyo muda, Lord Asano Naganori dari Ako terhina. Asano pun menyerang Kira Yoshinaka, pejabat Istana yang korup. Luka yang diderita Kira tak seberapa serius. Namun, mengangkat senjata di dalam batas wilayah istana keshogunan dianggap sebagai kejahatan besar, sehingga Asano dipaksa melakukan seppuku.
Para pengikut Asano yang dipimpin oleh Ōishi Kuranosuke Yoshio merencanakan pembalasan dendam terhadap Kira. Selama setahun lebih mereka mematangkan strategi demi mempersembahkan kepala Kira di atas pusara majikan mereka.
1 Point for:

The story

The characterization

The writing style

The moral/interesting trivia
Level of Interest

Review
Jadi, ini adalah retelling peristiwa sejarah yang dikenal sebagai Insiden Ako atau Pembalasan 47 Ronin. Kejadiannya berlangsung di tahun 1701 (era Genroku: 1688—1704), periode keempat dalam pemerintahan Tokugawa Tsunayoshi. Para ronin (samurai tak bertuan) yang dipimpin Oishi mengeksekusi Kira Yoshinaka untuk memulihkan nama baik tuan mereka.
Bagi siapa saja yang berminar membaca novel ini, jangan berekspektasi bakal menemukan cerita kolosal seperti novel-novel Yoshikawa Eiji. Soalnya buku ini memang tipis banget. Isinya fokus pada insiden yang membuat Asano Naganori dieksekusi sampai kejadian sesudah pembalasan para ronin.
Meskipun disebut Pembalasan 47 Ronin, pembalasan dendamnya sendiri baru dilangsungkan hampir dua tahun kemudian. Oishi dan para pengikutnya mengumpulkan informasi dan merencanakan penyerangan selama setahun lebih.
Novel 47 Ronin ini ditulis oleh John Allyn, seorang filmmaker Amerika Serikat yang punya pengalaman bertahun-tahun di lembaga sensor film Jepang. Gelar PhD yang dimilikinya pun di bidang Sejarah Teater Jepang. Nggak heran kalau risetnya untuk novel ini juga bagus.
Kalau menilik gaya berceritanya, 47 Ronin versi John Allyn ini memang tidak terasa seperti sastra Jepang. Tapi, detail sejarah dan budayanya bagus banget. Banyak trivia menarik yang bisa diketahui dari novel ini. Termasuk kondisi masyarakat di masa kepemimpinan Tokugawa Tsunayoshi.
Kisah Nyata tentang Kerhormatan dan Kesetiaan menurut Perspektif Jepang

Pada dasarnya, novel 47 Ronin adalah kisah sederhana tentang kehormatan dan loyalitas dari perspektif orang Jepang. Kenapa saya sebut orang Jepang secara spesifik? Karena banyak kebudayaan lain yang punya konsep berbeda soal kehormatan. Saya rasa, zaman sekarang pun mulai banyak anak muda Jepang yang sulit memahami tindakan para ronin di kisah ini. Apalagi, Oishi mengizinkan anak sulungnya yang masih berusia 15 tahun untuk ikut dalam pembalasan. Padahal, aksi ini sudah pasti berbuah kematian bagi para ronin.
Seppuku Asano Naganori—disusul 47 ronin setelah melakukan pembalasan—menggarisbawahi pandangan orang Jepang di masa lalu tentang harga diri. Masyarakat dengan pandangan religius Islam seperti di Indonesia, misalnya—akan sulit menerima konsep ‘bunuh diri untuk mati dengan terhormat’. Pasalnya, mencabut nyawa sendiri dianggap sebagai tindakan pengecut atau penentangan terhadap firman Tuhan.
Everyone knows that a samurai cannot live under the same sky as the slayer of his lord.
—47 Ronin (John Allyn)
Sebaliknya, aksi bunuh diri di cerita-cerita sejarah Jepang dianggap sebagai aksi heroik. Karena, mati adalah jalan yang lebih terhormat daripada hidup menanggung malu. Pada beberapa kasus, seppuku (ritual bunuh diri samurai) dilaksanakan sebagai bentuk protes terhadap individu atau institusi yang posisinya lebih tinggi dari para pelaku seppuku. Seppuku dengan tujuan ini juga sempat dibahas oleh Oishi dan rekan-rekannya di novel. Walaupun begitu, mereka urung melakukannya, karena rencana ini dianggap kurang berdampak.
Asano Naganori, Oishi Yoshio, dan 46 Ronin
Insiden Ako atau pembalasan 47 ronin merupakan salah satu peristiwa sejarah yang paling populer di Jepang. Bukan hanya karena kisahnya dianggap heroik oleh warga Negeri Sakura, peristiwa ini juga terdokumentasikan dengan baik. Katanya, penyerahan kepala Kira dari para ronin Asano buat klan Yoshinaka saja ada tanda terimanya. Nama 47 ronin yang terlibat juga terdokumentasi dengan baik. Bagaimana tidak, wong makamnya saja berjejer di kuil Sengakuji, Tokyo.
Ada 47 ronin yang melakukan aksi balas dendam berdarah kepada Kira Yoshinaka. Namun, sosok yang paling banyak dibicarakan di cerita ini adalah Oishi seorang.
Oishi adalah sosok samurai dan pimpinan yang karismatik. Bagi saya, dia adalah pimpinan yang lebih cakap, bijak, dan bertanggung jawab jika dibandingkan dengan Asano Naganori.
Oshi lebih berkepala dingin. Berbeda dengan Asano yang kurang pikir panjang dan mendahulukan emosi. Sederhananya, tidak perlu ada 47+ aksi seppuku dan ratusan samurai beserta keluarga mereka yang kehilangan mata pencaharian kalau Asano mau sedikit saja menelan harga dirinya.
Kira Yoshinaka memang benar-benar villain yang pantas mati. Menuntut samurai yang menjunjung tinggi harga diri dan moralitas untuk membayar suap adalah tindakan fatal. Tapi dari sudut pandang praktis saya sebagai manusia modern, tindak kekerasan Asano terhadap Kira tak sepadan dengan aftermath effects dari Insiden Ako itu sendiri.
Tapi, memang seperti itulah riwayatnya. Asano Naganori dikenal sebagai daimyo muda dengan temperamen berapi-api seperti Oda Nobunaga. Pengaruhnya di istana juga tidak besar, karena daerah kekuasaannya juga kecil.
Lebih jauh, insiden ini terjadi pada masa di mana warga Jepang mengalami kesulitan ekonomi parah gara-gara sederet peraturan gaje yang ditetapkan shogun. Nanti bakal saya bahas sedikit di kolom trivia.
Saat itu, era kejayaan samura mulai surut. Pada novel ini, Oishi dan rekan-rekannya diceritakan memendam kekecewaan terhadap shogunate (pemerintahan militer pada masa feodal) yang dinodai korupsi. Bisa jadi, hunusan pisau Asano ke leher Kira merepresentasikan puncak kekecewaannya kepada pemerintah.
Berkebalikan dengan Asano, Oishi selalu bertindak dengan memikirkan kepentingan semua orang. Sebagai samurai, harga dirinya juga tinggi. Dia tak ragu mengorbankan nyawa untuk memulihkan nama baik majikannya. Namun, motivasi di balik tindakan Oishi sebenarnya jauh lebih dalam.
Tradisi waktu itu adalah melakukan balas dendam sesegera mungkin untuk memulihkan nama baik klan di mata publik. Namun, Oishi justru menghabiskan hampir dua tahun untuk menyusun siasat. Lebih dari sekadar tindakan heroik demi kredibilitas klan, tujuan lain Oishi adalah mengembalikan mata pencaharian semua orang yang sempat menggantungkan hidup pada klan Asano.
Oishi memberikan kesempatan bagi rekan-rekannya untuk memilih ikut balas dendam atau melanjutkan hidup sebagai warga sipil. Ini adalah hal yang tidak diberikan Asano kepada para pengikutnya. Oishi juga menceraikan istrinya agar keluarganya tetap selamat jika rencana balas dendam gagal.
Selipan Kisah Asmara Oishi dan Okaru
Selagi mengatur siasat pembalasan dendam, Oishi dan rekan-rekannya melakukan pengintaian selama belasan bulan di Kyoto. Oishi sengaja mabuk-mabukan di distrik geisha setiap hari agar pihak musuh tak curiga. Sementara itu, anak buahnya menyamar jadi pedagang untuk mengumpulkan informasi intelijen.
Kisah penyamaran Oishi ini dibumbui John Allyn dengan romansa. Diperkenalkanlah Okaru, geisha (atau oiran, ya? Saya lupa) jelita yang jatuh hati kepadanya. Okaru menjadi simpanan Oishi secara sukarela dan merelakan profesinya sebagai penghibur, karena ia menolak menjadi mata-mata untuk musuh Oishi.
[REVIEW BUKU] GEISHA: A LIFE, OTOBIOGRAFI SOSOK YANG JADI INSPIRASI MEMOIRS OF A GEISHA
Percakapan terakhir Okaru dan Oishi cukup menyedihkan, meskipun adegan paling bikin patah hati bagi saya adalah saat Chikara—anak tertua Oishi yang ikut dalam penyerangan—mengucapkan selamat tinggal kepada Okaru dan kamuro-nya.
Saya tidak pernah menemukan tokoh wanita penghibur bernama Okaru di sumber-sumber tentang Insiden Ako yang pernah saya baca. Jadi, saya berkesimpulan kalau tokoh ini memang cuma rekaan John Allyn. Tapi, bisa jadi tokoh ini memang ada di versi teater Kabuki atau bentuk kesenian lainnya.
Trivias
Sekilas tentang Tokugawa Tsunayoshi, sang ‘Shogun Anjing’
Pada awal novel 47 Ronin, John Allyn menceritakan karut marut pemerintahan Tokugawa dan dampaknya bagi masyarakat melalui pandangan Oishi Yoshio. Saat itu, Jepang dipimpin oleh Tokugawa Tsunayoshi, shogun kelima di era Tokugawa shogunate.
Pada sebagian besar masa kepemimpinannya, Tsunayoshi dianggap sebagai shogun yang berhasil. Dia berhasil mempertahankan kemakmuran Jepang dan memajukan aspek kesenian dan budaya. Ajaran Neokonfusianisme berkembang pesat pada masa ini.
Pada tahun-tahun akhir kepemimpinannya, Tsunayoshi bukan lagi penguasa yang memikirkan rakyat. Dia lebih suka berfoya-foya dan makin eksentrik.
Kemunduran pemerintahan Tokugawa Tsunayoshi mencapai puncaknya ketika sang shogun menetapkan Shōruiawareminorei (Laws of Compassion for Living Things). Disebut sebagai undang-undang terburuk dalam sejarah feodal dan era Tokugawa, undang-undang ini melarang pembunuhan atau penyembelihan binatang. Terutama anjing, hewan yang paling disayang shogun.
Pembunuhan terhadap anjing berbuah hukuman mati. Biaya perawatan anjing di seluruh negeri dibebankan kepada negara. Masyarakat harus memperlakukan anjing dengan hormat. Gara-gara itu, Tsunayoshi mendapat julukan inukubo (shogun anjing).
Sementara itu, masyarakat menderita akibat gagal panen. Soalnya, hama tikus pun dilarang dibunuh. Hewan konsumsi seperti ayam juga dianggap barang ilegal.
Sekilas tentang Hierarki Sosial di Era Tokugawa
Masyarakat pada era Tokugawa terbagi menjadi empat kelas sosial; yaitu samurai, petani, seniman, dan pedagang. Samurai dianggap sebagai ‘kasta’ tertinggi dan suri teladan bagi kelas sosial yang lain. Mereka menjalankan hidup dengan kode etik khusus yang disebut bushido.
Selaras dengan tanggung jawab mereka untuk melindungi negara, samurai juga mendapatkan banyak hak istimewa. Beberapa di antaranya adalah gaji besar, hak untuk membawa pedang dan izin membunuh warga sipil jika tidak bersikap hormat kepada samurai.
Samurai tunduk kepada daimyo (kepala klan dan tuan tanah) masing-masing. Daimyo tunduk kepada shogun, sementara shogun mendapat mandat untuk menjalankan pemerintahan militer dari kaisar. Pada kisah Insiden Ako yang digambarkan di novel ini, tampak jelas kalau kaum bangsawan istana yang bertanggung jawab langsung pada kaisar mendapatkan kekuasaan lebih besar dari para daimyo.
Karena tidak ada perang besar pada era Tokugawa, para samurai mulai kehilangan peran sebagai prajurit militer. Keberadaan mereka pun mulai dianggap sebagai beban secara finansial. Akibatnya, shogunate mengharuskan para daimyo untuk memperkecil kekuatan militer mereka. Akibatnya, banyak samurai yang menjadi ronin.
Sejumlah ronin beralih ke bidang pertanian atau niaga, meskipun profesi ini dianggap merendahkan status. Tak sedikit pula samurai tak bertuan yang beralih ke dunia kriminal, karena norma sosial pada masa itu tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengabdi pada klan lain tanpa seizin daimyo. Akibatnya, fenomena ronin tumbuh menjadi masalah sosial pada masa itu.
Harakiri vs Seppuku, Mana Istilah yang Lebih Tepat?
Setelah berhasil membawa kepala Kira ke makam Asano, para ronin di novel 47 Ronin melaporkan perbuatan mereka kepada pemerintah dan mendapat vonis hukuman mati. Vonis ini mereka sambut dengan penuh syukur. Kok bisa? Karena mereka diperkenankan melakukan seppuku.
Disuruh bunuh diri kok malah bersyukur? Soalnya seppuku itu dianggap sebagai kematian yang terhormat. Jauh lebih terhormat daripada dihukum mati sebagai kriminal. Ritual ini juga cuma boleh dilakukan oleh samurai. Jadi, Oishi dan kawan-kawan menganggap perintah seppuku sebagai pemulihan harga diri mereka sebagai prajurit.
Orang-orang dari luar Jepang menyebut ritual bunuh diri untuk mempertahankan kehormatan ala samurai sebagai harakiri. Padahal kalau sering baca literatur Jepang, istilah ini justru hampir tak pernah digunakan. Seringnya disebut seppuku doang. Memang apa bedannya?
Secara etimologis, harakiri dan seppuku sama-sama berarti ‘potong perut’. Soalnya, aksi bunuh diri ini dilakukan dengan menyobek perut secara horizontal menggunakan pisau (saya lupa namanya apa). Terus, diakhiri dengan pemenggalan oleh samurai lain yang bertugas sebagai ‘asisten’ dalam ritual bunuh diri.
Orang Jepang lebih sering menggunakan istilah seppuku, soalnya kata ini mewakili keseluruhan ritual dan tradisi bunuh diri itu sendiri. Sementara harakiri merujuk pada tindakannya saja.
Sumber bacaan:
John Allyn. Goodreads.
47 Ronin, Japanese History. Britannica
Tokugawa Tsunayoshi, Shogun of Japan. Britannica
The Dog Shogun: The Personality and Policies of Tokugawa Tsunayoshi. JSTOR
Samurai. Wikipedia: The Free Encyclopedia
Rōnin. Wikipedia: The Free Encyclopedia
Seppuku and Harakiri Explained: Facts and Differences. Maikoya: Kimono Tea Ceremony
Well, aku kagum sama kemampuan bacamu… Kuat banget yah… :O
LikeLike
Wah, makasih 😀
LikeLike
aku suka bgt sama makhluk mitologi yg digambarkan di film ini..
LikeLike
Ini maksudnya 47 ronin yg keanu reeves-kah? Belum nonton si
LikeLike
Beberapa kali lihat di pos jualan buku, sempat ragu, tapi sepertinya akan masuk daftar buru.
LikeLike
Untuk novel tipis dgn harga mayan murah (terjemahan) gini, menurutku cukup worthed, kok 😀
LikeLike