[Review Buku] The Madness of Lord Ian Mackenzie (Mackenzies & McBrides #1), HisRom Terbaik dengan MC Penyandang Autisme

Novel ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada 2013 lalu. Jadi, silakan cek harga dan ketersediaannya di marketplace. Ada yang masih bersegel, ada juga yang sudah berstatus preloved. Bahkan ada yang dijual satu bundle bareng buku-buku MacKenzies & McBrides lainnya.

Judul: The Madness of Lord Ian Mackenzie (Mackenzies & McBrides #1)
Penulis: Jennifer Ashley
Bahasa: Inggris
Format: ebook, 320 hal.
Penerbit: Leisure Books (2009)
First published: 2009
Genre: dewasa, historical romance, misteri
Sekuel: Lady Isabella’s Scandalous Marriage (Mackenzies & McBrides #2)

Cerita

Meet the Mackenzie family
rich, powerful, dangerous, eccentric.
A lady couldn’t be seen with them without ruin.
Rumors surround them
of tragic violence, of their mistresses, of their dark appetites,
of scandals that set England and Scotland abuzz.

Ian, si bungsu dalam keluarga Mackenzie, menghabiskan masa mudanya di pengasingan. Semua orang setuju kalau Ian adalah pria yang berbeda dari orang kebanyakan. Ia jenius, terkenal sulit bergaul, penilai kerajinan yang andal, dan penakluk wanita dengan caranya sendiri.

Beth Ackerley adalah seorang janda yang karena keberuntungan mewarisi kekayaan berjumlah cukup besar. Beth memutuskan mulai saat ini tak akan ada drama dalam hidupnya. Ia ingin menghabiskan hidupnya dengan tenang dan ia pikir menikah akan menjadi jalan pembuka untuk itu.

Lalu suatu hari Lord Ian MacKenzie datang kepadanya, memperingatkannya akan kebejatan sang calon suami,mencuri sebuah ciuman darinya, dan meminta Beth untuk menikahinya dengan caranya yang lain dari yang lain.

Beth tak mungkin berkata ‘iya’, meskipun hatinya sudah terlanjur tertawan Ian. Tapi Ian memutuskan ia menginginkan Beth dan akan mendapatkannya.

Karakter

Lord Ian MacKenzie

Pria muda tampan yang dikenal sebagai ‘the mad one‘ oleh kalangan bangsawan karena keganjilan perilakunya. Ian memiliki hubungan buruk dengan kakak tertuanya, Hart.

Mrs. Beth Ackerley

Janda muda dan lugu yang mewarisi kekayaan dari nyonya bangsawan yang dulu didampinginya. Beth yang juga sulit bergaul berusaha memahami ‘keistimewaan’ Ian dan perlahan-lahan berhasil merebut hatinya.

3 points for:

Good story

Good writing style

Well-developed characters

Additional information/message

Interest level

Review

Sebenarnya, The Madness of Lord Ian Mackenzie ini sudah saya baca dari tahun 2013. Dulu maupun sekarang, kesan saya tetap sama. Historical romance yang satu ini memang sebagus itu.

Saya cinta hisrom bernuansa komedi romantis seperti karya-karya Lisa Kleypas, Julia Quinn, atau Eloisa James. Tapi, roman era Victoria dengan sentuhan misteri begini juga bagus. Apalagi, karakter utamanya memang lain dari yang lain.

Ian Mackenzie dan Spektrum Autisme

Kalau sudah pernah nonton drama Korea Selatan, Extraordinary Attorney Woo, pembaca The Madness of Lord Ian Mackenzie pasti sudah tidak asing dengan karakter seperti Ian. Waktu pertama kali membaca buku ini, saya menyadari kesamaan karakternya dengan tokoh utama The Curious Incident of the Dog in the Night-Time yang saya baca sebelumnya. Menurut beberapa review yang saya baca, Christopher dan Ian sama-sama ditengarai sebagai penyandang autisme. Lebih tepatnya, penyandang asperger’ s syndrome. Istilah ini ternyata sudah tidak digunakan lagi dalam dunia medis. Nanti akan saya bahas sedikit biar kita bisa sama-sama belajar.

The Curious Incident of the Dog in the Night-Time oleh Mark Haddon © KPG
The Curious Incident of the Dog in the Night-Time oleh Mark Haddon © KPG

Sama seperti Christopher, Ian memiliki ingatan luar biasa, kecerdasan di atas rata-rata, namun kesulitan untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak dan bernilai relatif seperti norma, seni, dan social skills. Ian memang memiliki obsesi terhadap mangkuk porselen antik, tapi penilaiannya terhadap benda-benda tersebut didasarkan pada kualitas bendanya, bukan pada nilai emosional karya tersebut.

Ian nggak bisa bohong. Dia juga nggak bisa memahami reasoning di balik tata krama atau lelucon. Baginya, hal-hal seperti itu sangat rumit karena nggak bisa diukur dengan rasio. Tapi justru karena dia nggak mampu memahami hal-hal tersebut, persepsinya terhadap fakta juga jadi lebih jernih.

Tentunya, buku ini tidak menyebut ‘kegilaan’ Ian Mackenzie sebagai asperger syndrome atau autisme. Dugaan saya, zaman segitu autisme masih belum ditelaah secara khusus.

“We all have our madness. Mine is just the most obvious.”

—Ian Mackenzie tentang saudara-saudaranya di The Madness of Lord Ian Mackenzie (Jennifer Ashley)

Mungkin perlakuan yang diterima penyandang autisme waktu itu sama seperti perlakuan yang diterima Ian. Kebutuhan khususnya dianggap sama dengan schizophrenia dan dia ditempatkan di rumah sakit jiwa.

Ian Mackenzie, Karakter Utama Pria yang Problematis?

Pada awal pertemuan Ian dan Beth, ada satu pernyataan Ian yang kurang saya sukai. Saat Beth bertanya kenapa Ian nggak ada angin nggak ada hujan memutuskan untuk menikahi Beth secara sepihak, Ian menjawab, “Because I want to bed you”. Mau tak mau, kalimat ini mengingatkan saya kepada Gideon Cross, Christian Grey, dan setengah lusin tokoh utama pria di novel-novel erotica. Kesannya mannerless sekali.

Ian bahkan cuma memberi waktu yang sangat singkat bagi Beth untuk mempertimbangkan lamaran mendadaknya. Dia mengaku ‘incapable of loving’ dan setelah menikah pun meminta Beth untuk tetap di sisinya karena ia butuh Beth untuk membuatnya merasa baik-baik saja. Hal-hal tersebut membuat beberapa pembaca melabeli Ian sebagai karakter problematis dengan red flags di sana-sini.

“Your being with me makes it stop. It’s like the Ming bowls-when I touch them and feel them, everything stops. Nothing matters. You are the same. That is why I brought you here, to keep you with me.”

—Ian Mackenzie tentang ingatan fotografis dan pengalaman traumatisnya di The Madness of Lord Ian Mackenzie (Jennifer Ashley)

“Terus bagaimana dengan keinginan dan kebutuhan Beth? Kenapa karakter yang jelas-jelas emotionally unavailable begini dipuja-puja?” protes para reviewer yang rupanya cukup woke. Sayangnya, saya nggak cukup woke ^^ Saya menerima Ian Mackenzie sebagai karakter dengan proses berpikir yang berbeda dengan manusia pada umumnya—terlepas dari penggambarkan karakteristik penyandang autisme Jennifer Ashley yang tidak bisa saya pastikan akurasinya.

Saya memandang Ian seperti keinginan penulis. Seorang pria yang mencintai perempuannya dengan tulus, walaupun dia memiliki keterbatasan dalam memahami manusia. Saya melihat seorang pria yang mencintai dengan sederhana dan jujur. I like you and I need you, that’s why I want to be with you. Therefore, I do what I can to be with you and protect you in the best way I know. Nothing else is matter.

Lagipula, karakter Ian Mackenzie memang mengalami banyak perkembangan seiring berjalannya cerita. Ia mulai belajar cara berempati terhadap manusia lain sejak bersama manusia lain. Ia belajar untuk menamai dan mengelola emosi-emosi baru yang dia rasakan sejak bertemu Beth. Dan yang lebih penting, pada akhirnya dia mengerti apa itu cinta—walaupun dengan cara yang menyakitkan.

Is this what love feels like? I don’t like it, my Beth. It hurts too much.

—Ian Mackenzie di The Madness of Lord Ian Mackenzie (Jennifer Ashley)

Saya akui, sulit menemukan pria yang bucin maksimal seperti Ian Mackenzie di dunia nyata. Apalagi kalau dialog-dialog Ian Mackenzie diucapkan mas-mas biasa yang ndak autis. Mending kabur sejak pertemuan pertama kayaknya. Tapi, ini, kan, cuma fiksi. Fiksi tentang orang berkebutuhan khusus pula.

Saya rasa, nggak ada salahnya sesekali menikmati kisah cinta fiktif dengan sederhana, tanpa ada keharusan untuk bersikap woke atau sedikit-sedikit menuding red flag, toxic, problematis, abusive, dan sebagainya.

Selain Ian Mackenzie, karakter-karakter lain di buku ini juga patut disoroti. Terutama Beth yang menurut saya adalah perempuan istimewa. Saya selalu berpikir kalau orangtua, pasangan, atau caretaker orang-orang berkebutuhan khusus adalah manusia-manusia hebat. Mereka pasti punya empati yang sangat besar dan ketabahan luar biasa. Soalnya, mendobrak tembok bernama perbedaan cara berkomunikasi itu pasti susah bukan main. Apalagi kalau sampai bisa terkoneksi secara emosional. Saya nggak yakin mampu menjalani peran seperti itu.

“We don’t fit in, you and me. We’re both oddities no one knows what to do with. But we fit together. We fit.”

—Ian Mackenzie kepada Beth Ackerley di The Madness of Lord Ian Mackenzie (Jennifer Ashley)

Beth bukan tokoh wanita hisrom yang paling sophisticated, cerdas, cerkas, atau bahkan memikat dalam riwayat bacaan saya. Tapi, ketulusannya dalam mencintai Ian sangat menyentuh hati. Kesetiaannya untuk speak up buat Ian juga membuat saya kagum kepadanya.

Oiya, selain romance antara Ian dan Beth, buku ini juga diwarnai misteri pembunuhan yang melibatkan Ian dan Hart, kakaknya. Cukup seru karena ini juga bikin kita tertarik sama sisi gelap Hart Mackenzie. terus jadi pingin baca ceritanya Hart, deh.

***

Trivia

Asal-Usul Ungkapan “Mad as a Hatter”

Johnny Depp sebagai Mad Hatter di Alice in Wonderland © Disney
Johnny Depp sebagai Mad Hatter di Alice in Wonderland © Disney

Pada salah satu adegan di novel ini, Ian Mackenzie digambarkan dengan ungkapan “mad as a hatter” oleh salah satu tokoh. Mungkin frasa ini mengingatkan sebagian pembaca kepada karakter Mad Hatter di dongeng Alice Adventures in Wonderland.

“Mad as a hatter. Poor chap lived in a private asylum most of his life, and he runs free now only because his brother the duke let him out again.”

—Sir Lyndon Mather tentang Ian Mackenzie di The Madness of Lord Ian Mackenzie (Jennifer Ashley)

Sebenarnya, kenapa kegilaan dikaitkan dengan topi segala? Bagaimana awal ceritanya?

Istilah “mad as a hatter” digunakan untuk menyebut seseorang yang gila atau menunjukkan perilaku tak terduga. Menurut Dictionary.com, ungkapan ini mulai digunakan pada awal tahun 1800-an dan berkaitan dengan kondisi kesehatan para pekerja di pabrik topi yang mirip dengan pasien gangguan kejiwaan.

Menurut keterangan di History, ungkapan “mad as a hatter” berhubungan dengan keracunan merkuri yang diderita para pekerja di industri pembuatan topi pada abad 18—19. Saat itu, merkuri digunakan untuk mengolah kulit binatang menjadi felt.

Standar keamanan yang rendah dan paparan merkuri dalam jangka panjang membuat kesehatan para pekerja terganggu. Gejala umum yang tampak adalah gangguan bicara, ketidakstabilan emosi, hingga halusinasi. Mereka juga menunjukkan gejala tremor yang saat itu disebut “hatter’s shakes”.

Asperger’s Syndrome

Park Eun Bin sebagai Woo Young Woo, pengacara dengan asperger's syndrome di Extraordinary Attorney Woo
Park Eun Bin sebagai Woo Young Woo, pengacara dengan asperger’s syndrome di Extraordinary Attorney Woo

Menurut artikel PsychCentral, Asperger’s syndrome atau kadang disebut asperger saja adalah bagian dari spektrum autisme. Diagnosis ini diakui American Psychiatric Association’s Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) sampai 2013. Sesudahnya, semua spektrum autisme digolongkan sebagai autism spectrum disorder (ASD) saja.

Pada dasarnya, asperger’s syndrome adalah gangguan neurobiologis atau perkembangan saraf yang berpengaruh pada kemampuan bersosialisasi seseorang. Asperger sering dianggap sebagai bentuk autisme ringan yang memungkinkan para penyandangnya untuk memiliki kemampuan fungsional lebih tinggi daripada penyandang autisme lainnya. Mereka bisa jadi memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan kemampuan verbal yang lebih baik.

Menurut artikel Healthline, penyandang asperger’s syndrome bisa menunjukkan ciri-ciri berikut.

  • Gerak-gerik yang canggung. Koordinasi anggota tubuh adalah ‘PR’ bagi para penyandang asperger. Mereka bisa jadi punya kemampuan motorik yang tidak terlalu bagus, sehingga kesulitan dalam menjalankan aktivitas sederhana seperti mengikat tali sepatu, berdiri dengan tegak, atau melipat baju dengan rapi.
  • Kesulitan dalam berbicara. Biasanya, penyandang asperger bicara dengan kaku atau mengulang-ulang kata yang sama.
  • Kesulitan dalam interaksi sosial. Biasanya sepaket dengan kecenderungan untuk menghindari kontak mata atau melakukan percakapan dalam waktu yang lama.
  • Kemampuan verbal di atas rata-rata. Meskipun kesulitan dalam berbicara dengan cara ‘normal’, penyandang asperger juga tak jarang memiliki kosakata yang luas, terutama saat diminta menjelaskan hal-hal yang mereka sukai secara detail.
  • Kemampuan nonverbal yang cenderung rendah. Mereka umumnya kesulitan memahami isyarat atau pesan tersirat dari mimik atau bahasa tubuh seseorang.
  • Pola perilaku repetitif. Misalnya harus memakai pakaian dengan warna tertentu, keluar rumah di waktu yang spesifik hingga ke menit dan detiknya, atau cuma mau makan kimbap saja seperti Woo Young Woo.
  • Kesulitan dalam memahami hal-hal abstrak. Memahami hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan mata membuat mereka merasa kesulitan, karena tidak sesuai dengan pemikiran logis.
  • Kesulitan dalam memahami emosi, termasuk emosi diri sendiri.
  • Respons emosional yang cenderung ekstrem. Karena kesulitan dalam memahami emosi, penyandang asperger jadi sering kesulitan dalam menghadapi situasi emosional dan cenderung bereaksi secara berlebihan.
  • Fokus terhadap diri sendiri yang berujung pada kesulitan untuk berempati. Perhatian penyandang asperger terpusat pada diri sendiri, sehingga mereka sulit memandang suatu hal dari sudut pandang manusia lain.
  • Hiperfokus terhadap suatu topik. Mereka cenderung terobsesi terhadap suatu topik yang disukai, hingga memiliki pengetahuan mendalam tentang hal tersebut dan sulit menahan diri untuk tidak menceritakan topik tersebut saat berinteraksi dengan orang lain.
  • Respons abnormal terhadap stimulus sensorik. Respons abnormal ini bisa berbentuk hipersensitivitas atau hiposensitivitas. Mereka bisa saja benci suara bising atau menolak bersentuhan dengan manusia lain.

Sampai saat ini, penyebab utama asperger’s syndrome belum diketahui. Para peneliti percaya kalau kombinasi berbagai faktor berperan dalam munculnya kondisi ini. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah genetis dan lingkungan.

Sejumlah hasil penelitian menyebutkan mutasi genetis, sehingga kondisi ini cenderung diturunkan dalam keluarga. Namun, penelitian lebih jauh masih diperlukan untuk memastikannya.

Sumber bacaan:

Where Did the Phrase “Mad as a Hatter” Come from? History.
Understanding Asperger’s Symptoms in Adults. Healthline.
Asperger’s Syndrome Is No Longer an Official Diagnosis. Verywell Health.
What Is Asperger Syndrome? Autism Speaks.
Behavioral, Cognitive and Neural Markers of Asperger Syndrome. National Center for Biotechnology Information.
Brain anatomy and sensorimotor gating in Asperger’s syndrome. Oxford Academic.
What Causes Asperger’s Syndrome? PsychCentral.

5 thoughts on “[Review Buku] The Madness of Lord Ian Mackenzie (Mackenzies & McBrides #1), HisRom Terbaik dengan MC Penyandang Autisme

  1. Hoo. keren! komplit banget review-nya 😀
    btw, kok tau Ian mengalami asperger syndrom? dijelasin banget kah di bukunya?
    makasih telah memberikan informasi baru! ahahaa

    Like

    1. Soalnya gejala-gejala yang ditunjukkin Ian tuh kayak Asperger banget. Kebanyakan yg baca buku ini juga nyimpulin Asperger sih. Meskipun ada juga yg nyimpulin disorder lain lagi. Aku lupa apa. Kalo g salah ADHD. Aku juga g tau itu apaan. hehehhe

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.