Review: Canting, potret kemunafikan dari budaya yang mulai luntur

Canting

Judul:  Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Bahasa: Indonesia
Format: Paperback, 408 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2007)
Genre: drama keluarga, kultural

Sinopsis

Cerita tentang batik canting  mewakili budaya yang terkalahkan.

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni—sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean—yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.

Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. “Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera.”

4 Points for:

Story

Characterization

 Writing style

 Moral/interesting trivia

Level of Interest

My Review

Saya akan meminjam beberapa kalimat dari sinopsis di halaman Goodreads Canting.

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan.

Saya rasa itulah esensi cerita Canting. Falsafah tradisional yang dulu dianggap luhur, tetapi kini terasa kolot dan salah kaprah di hadapan pemikiran modern. Dikemas dalam drama keluarga yang kental, kisah Canting berfokus pada keluarga kaum bangsawan yang hidup makmur berkat usaha batik.

Semua anggota keluarga jadi tokoh sentral dan menunjukkan sisi humanis masing-masing. Pak Bei yang setengah modern-setengah kolot, Bu Bei yang tipikal ibu-ibu teladan Jawa tapi juga bisa goyah imannya. Ni yang berpikiran modern, merasa terkungkung dalam tradisi kolot keluarga.

Cukup menarik untuk diperhatikan mungkin pandangan Pak Bei dan teman-teman ningratnya yang merasa nasionalis dan benci kapitalisme penjajah tapi dengan munafiknya menjalani hidup ala kaum borjuis. Begitu juga fanatisme buta mereka terhadap Soekarno (tipikal orang-orang Jawa jaman dulu).

Sepertinya Arswendo mencoba menyindir kemunafikan kaum konservatif Jawa melalui Canting, bisa dilihat dari pemikiran dan gaya hidup Pak Bei dkk. yang bertolak belakang tadi. Kesusilaan cuma jadi topeng, bukan idealisme yang dijunjung tinggi sampai ke hati. Seorang priyayi yang dihormati karena keluhurannya pun bisa ‘bercinta’ (you know what I mean: have a quickie sex) di pojokan dinding dengan buruh pasar. Seorang istri yang jadi teladan bagi anak-anak dan para pekerja pun doyan ‘menyambangi’ buruh celup biasa yang hidup dari belas kasihan semua orang.

Narasi tentang para wanita yang jadi pedagang batik di pasar juga bagus. Di rumah mereka adalah pelayan suami, tapi di pasar merekalah rajanya. Saya rasa tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini (kecuali Ni) merupakan cerminan dari wanita-wanita Jawa zaman dulu. Mereka merasa superior dan pongah di balik sikap nriman kepada kemauan kaum lelaki. Saya menganggap ini sebagai penghiburan diri saja. Meyakinkan diri sendiri kalau mereka perempuan hebat, karena hanya yang hebat yang wani ditata. Padahal mereka juga tahu kalau wani ditata di sini cuma istilah yang lebih halus dari ‘pasrah seperti kerbau bego’.

Inilah bagian yang tidak saya banggakan dari budaya Jawa konservatif. Perempuan disebut wanita, kependekan dari wani ditata. Seolah-olah eksistensi perempuan hanya bergantung pada kehendak lelaki dan kungkungan adat yang menjunjung tinggi kelelakian. Kalau sekarang makna wanita mungkin sudah bergeser jadi wani nata ya.

2 thoughts on “Review: Canting, potret kemunafikan dari budaya yang mulai luntur

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.