

Judul: Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Bahasa: Indonesia
Tahun rilis: 2018
Produksi: LifeLike Pictures, Fox International Pictures
Genre: Laga, martial arts (silat)
Sinopsis
Seorang bocah kehilangan orang tuanya dalam semalam, ketika sekelompok bandit menyerang desanya. Bocah itu hampir terbunuh, tetapi berhasil diselamatkan oleh seorang pendekar wanita misterius. Bocah itu, Wiro kemudian dirawat oleh si pendekar, Sinto Gendeng. Darinya Wiro belajar ilmu silat dan kebijakan hidup.
17 tahun kemudian, Wiro sudah cukup dewasa untuk menjelajahi dunia. Sinto Gendeng memberinya senjata rahasia, kapak naga geni dan batu 212. Dia juga meminta Wiro untuk menemukan mantan muridnya yang memilih jalan gelap, Mahesa Birawa. Ternyata, Mahesa Birawa juga orang yang membunuh orang tua Wiro.
Wiro pun turun gunung. Dalam perjalanannya, ia menghadapi beberapa perkelahian dan bertemu sekutu baru, Anggini dan Bujang Gila Tapak Sakti. Ketiga pendekar muda itu lantas bertemu Empat Brewok dari Goa Sanggreng, Rara Murni, dan putra mahkota. Mereka pun terjebak di dalam gejolak kudeta untuk merebut tahta dari Prabu Kamandaka. Sebuah kudeta yang didalangi oleh Werku Alit dan sekutunya, kelompok penjahat dan pengkhianat negara yang dipimpin oleh Mahesa Birawa.
Level of interest
Review
Saya cukup menggemari Wiro Sableng sejak zaman anak-anak, meskipun cerita dari buku-bukunya cuma saya nikmati dari penuturan Bapak dan kakak-kakak saya. Sinetronnya saya tonton sampai katek. Waktu itu, mana ada anak-anak yang nggak nonton Wiro? Saya memang sudah menanti-nanti film ini dan sangat bersemangat ketika jadwal tayangnya dimajukan ke akhir bulan Agustus.
Mungkin saya satu-satunya penonton yang menulis review buruk buat film ini. Tapi ini ulasan jujur dari seorang fans, kok.
Jalan cerita
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 menyuguhkan jalan cerita yang sederhana dan menurut saya oke-oke saja. Masalah saya dengan film ini adalah jalan cerita yang sepertinya terburu-buru. Bahkan bagi seseorang yang tidak pernah membaca seluruh bukunya seperti saya, ada pertanyaan besar yang tidak terjawab hingga adegan terakhir.
Sama seperti Avengers, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Naga Geni 212 sepertinya meminjam banyak elemen dari beberapa buku, menyatukan banyak karakter utama dalam satu linimasa. Tentunya ini adalah angin segar dan mampu memberi unsur kejutan bagi penonton. Tetapi kelemahan dari strategi ini adalah semua tokoh yang ada jadi tidak tereksplorasi dengan baik.
Dari segi humor, kadang lelucon-lelucon Wiro Sableng cukup mengena. Walaupun begitu, kebanyakan malah gagal membuat saya tertawa. Tapi selera humor saya memang ganjil dari sananya. Jadi mungkin tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai lucu atau tidaknya segala sesuatu.
Akting
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 punya banyak aktor hebat. Plus aktor-aktris baru yang cukup menjanjikan seperti pemeran Raramurni (Aghniny Haque) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi). Ada juga Herning Sukendro alias Ken Ken, pemeran Wiro Sableng versi sinetron yang mampir sebagai cameo. Pokoknya film ini bertabur bintang. Tapi sangat disayangkan, mereka tidak bisa menyuguhkan penampilan maksimal gara-gara screen time yang terbatas.
Menurut saya Vino G. Bastian memerankan tokoh Wiro dengan cukup baik. Mengambil tongkat estafet dari Ken Ken yang sudah kadung melekat dengan karakter Wiro Sableng itu sulit. Saya hargai Vino karena menginterpretasikan tokoh tersebut dengan cara yang berbeda. Tapi kalau boleh jujur, dari 4 pemeran Wiro Sableng yang pernah saya tonton, Vino masih nomor 3. Nomor 1 bagi saya tetap Ken Ken (meskipun dari segi fisik paling jauh perbedaannya dengan deskripsi tokoh), disusul Tony Hidayat yang memerankan beberapa filmnya.

Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, Sherina adalah aktor laga yang baik. Bahkan lebih baik daripada beberapa tokoh pendekar lain di film ini. Sementara yang paling impresif dari deretan pendekar silat putih adalah Prabu Kamandaka yang diperankan oleh Dwi Sasono. Mas-mas konyol di Tetangga Masa Gitu ini ternyata berwibawa sekali sebagai seorang raja.

Tetapi yang aktingnya paling mengesankan ternyata justru dari golongan pendekar hitam, terutama Yayan Ruhiyan. Akting laga orang ini memang tak perlu diragukan lagi. Tapi saya nggak menyangka ternyata dia bisa memberikan kesan yang begitu kuat hanya dengan menggeram dan menggerakkan otot punggung. Ketika Mahesa Birawa melepaskan perisai untuk bertarung, saya pikir otot-ototnya bakal meledak dan dia akan berubah jadi raksasa hijau. Sampai segitu, lho hebatnya Om Yayan.

Kalasrenggi yang diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana pantas mendapatkan porsi kemunculan yang lebih besar. Karakter villain ini memiliki potensi yang besar. Begitu juga dengan Werku Alit (Lukman Sardi), Kala Hijau (Gita Arifin) yang mengingatkan saya pada Kagerou di Shinobi: Heart Under Blade, Iblis Pencabut Sukma (Trisna Irawan) yang mirip dementor Harpot, Bajak Laut Bagaspati (Cecep Arif Rahman), dan Pendekar Pemetik Bunga. Mereka semua adalah karakter villain yang kuat.

Secara pribadi saya berharap Pendekar Pemetik Bunga muncul lebih sering, karena dia adalah penjahat favorit saya di serial Wiro Sableng. Tapi di film ini dia bahkan nggak kebagian dialog. Padahal pemerannya, Hanata Rue sudah pas sekali.

Menurut pendapat saya, semua tokoh di film ini perlu screen time yang lebih banyak. Termasuk Wiro Sablengnya sendiri. Terlalu banyak tokoh yang muncul dalam satu film, akibatnya latar belakang dan karakter mereka jadi kurang tergali.
Sinematografi
Waktu trailer pertama Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 rilis, banyak yang mencibir CGI-nya. Katanya katrok dan nggak niat.
Tenang, kalau sudah lihat filmnya ternyata jauh lebih bagus, kok. CGI-nya cukup halus dan menyatu. Tapi jangan dikomparasi sama blockbuster Hollywood, dong. Dari ukuran film Indonesia, ini sudah paling canggih untuk saat ini.

Setting lanskap-nya sangat cantik, benar-benar menonjolkan sisi fotogenik alam Indonesia. Untuk adegan laga, saya lebih suka scene-scene yang dilakukan outdoor. Pertarungan di dalam istana itu menurut saya space-nya terlalu sempit. Jadi kurang lega lihatnya.
Aksi laga
Adegan-adegan pertarungannya termasuk artistik. Dalam beberapa bagian bahkan terkesan indah sekali. Aktor-aktor yang nggak punya latar belakang bela diri seperti Vino pun bisa melakukan aksi laganya dengan baik.
Om Yayan melakukan tugasnya sebagai koreografer laga dengan baik. Tapi sebenarnya saya berharap dia akan membawa aksi laga dengan tempo cepat seperti di The Raid. Soalnya lebih seru, bikin penonton menahan napas sepanjang adegan pertarungan.
Kostum & makeup
Kostum-kostum yang ditampilkan di film ini memadukan unsur tradisional dan modern. Cocok dengan filmnya yang memadukan unsur fantasi.
Secara pribadi saya suka kostum Iblis Pencabut Sukma dan Kalingundil (Dian Sidik). Topeng yang dipakai para penjahatnya juga keren sekali.

Kostum paling menghebohkan tentu saja gaun biru melambai yang dikenakan Bidadari Angin Timur. Sekali pandang langsung ketahuan kalau gaun ini bikinan Tex Saverio. Desainnya nggak kalah dari gaun mockingjay yang dia buat untuk Jennifer Lawrence di The Hunger Games: Catching Fire. Saya dengar beratnya mencapai 10 kilogram. Nggak heran kalau Marsha Timothy terlihat kurang leluasa bergerak saat memakainya.

Dari segi makeup, saya agak terganggu dengan riasan Sinto Gendeng yang terlihat kurang natural. Tapi makeup seperti ini memang susah dibuat. Apalagi peralatan dan teknologi yang digunakan makeup artist kita juga mungkin tidak semaju Prosthetic Renaissance yang kliennya sekelas Columbia Pictures dan Paramount.
Properti yang digunakan di film patut diacungi jempol. Terutama kapak naga geninya. Dibuat dengan detail yang sangat artistik dan otentik, sangat Indonesia. Dan saya salut karena mereka menunjukkan aneka fungsi yang dimiliki kapak itu.

Terlepas dari semua kekurangan yang saya sebutkan di atas, saya tetap senang karena film ini sudah rilis. Seluruh kekecewaan yang saya rasakan terhadap film ini mungkin berakar dari ekspektasi yang terlalu tinggi. Tetapi masih mending kecewa daripada bermimpi suatu saat karakter Wiro Sableng akan hidup kembali.
Saya menaruh respek kepada tim yang berani membawa seni bela diri ke layar lebar. Film seperti ini membutuhkan sumber daya yang besar. Meskipun mungkin tak bakal sesukses The Raid, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah mencetak level kualitas yang baru dalam genre laga silat di Indonesia. Untuk itu, bisa saya katakan kalau film ini adalah sebuah kesuksesan.
Saya harap sekuelnya bakal lebih baik lagi. Pasalnya Wiro masih punya banyak cerita untuk disampaikan.
Saya belum nonton, pingin nonton belum kesampaian….
LikeLike
Mumpung masih tayang, lho
LikeLike
Aku juga udah nonton…👉https://rumahpintar256.wordpress.com/2018/09/04/akhirnya-nonton-juga-film-yang-ku-tunggu/
LikeLike
Meluncurrr
LikeLike
sudah disiapkan sekuelnya dengan kemunculan Pangeran Matahari di akhir film
LikeLike
Wah keren. Makasi lho infonya.
LikeLike
Keren reviewnya. Senang banget sama film ini. Tp rebootnya kurang menuhi ekspektasi pribadiku aja. Gpplah yg penting bs nostalgia. Salam kenal ya Mba
LikeLike
Yg penting bisa nonton wiro lah ya. Nanti moga2 sekuelnya lebih oke. Salam kenal juga.
LikeLiked by 1 person
baru baca ada yg komen gini…q seorg penggemar (berat bahkan) wiro sableng….dari novelnya terutama. sinetron dl agak males nonton krn tidak seperti imajinasi q yg memang pemimpi.
mau dibikin film bioskop , eneng dengernya. berharap lebih baik. tapi ternyata, parah….alur cerita yg rapi dan detil , mengalir bagus dari bastian tito, sama sekali tidak terasa….
efek, oke, lumayan. terutama pencabut sukma. mirip imajinasi q.
ya, sama seperti km, menurut q , terlalu banyaknya tokoh yg ingin dihadirkan justru membuat durasi yg pendek membuatnya jadi bumerang. kesannya jd tergesa….
LikeLike
😁🤝
LikeLike